Dua hari berlalu, keadaan sang mama belum membaik sehingga masih tetap harus di rawat di sana, setiap hari selalu bergantian jaga, ketika pagi sampai sore Ima yang akan menjaga, dan malamnya di ganti oleh sang Kakak, sebenarnya ia ingin terus berada di sana, namun mamanya tidak mengizinkannya dikarenakan ia punya suami."Dimakan, jangan cuma di lihat!" Entah sudah ke sekian kalinya Ilham mencoba membujuk Ima, yang hanya di balas dengan gelengan kepala.
"Kamu harus makan Ima!" Kali ini suara Ilham terdengar sedikit frustasi.
"Kalau kamu seperti ini, nanti kamu juga bisa sakit." Dengan cekatan ia menggenggam tangan Ima lalu membimbingnya untuk memegang garpu dan sendok, Ima sedikit terkejut dengan perlakuan Ilham yang tidak pernah di lakukan sebelumnya.
"Ayo makanlah!" Ilham menatap dengan memohon, entah dengan perlakuan itu membuatnya seketika luluh, Ima menurut lalu menyantap makanannya.
Ilham yang melihatnya langsung lega, ia pun kembali duduk di tempatnya, menatap Ima yang kini sudah mau makan.
"Oh ya, minggu depan pernikahan Mita akan di laksanakan, apa kamu mau menemaniku datang kesana?" Tanya Ilham membuat Ima yang kini tengah menyantap makanannya terdiam.
"Apa Kakak yakin ingin datang ke acara pernikahannya?" Kali ini ia berani bertanya.
Ilham terdiam sesaat. "Ya, tentu saja kenapa tidak?" Jawab Ilham dengan wajah datar.
Kenapa wajah Kakak muram? Apa dua hari ini kakak lebih banyak diam? Apa itu karena memikirkan pernikahan Mita? Apa memang Kakak masih mencintainya?
"Bagaimana? Apa kamu mau ikut?"
"Baiklah, aku ikut." Jawab Ima.
"Oke, terimakasih." Ilham kembali menyantap makanannya, sementara Ima, dia menatap Ilham dengan sendu. Dia berpikir pasti di dalam hati Ilham saat ini begitu terluka, dikarenakan orang yang di cintainya akan menikah dengan pria lain.
***
Siang ini setelah makan siang berlalu, Ima diam-diam menemui Mita, untungnya di dalam kertas undangan tertera alamat rumahnya sehingga ia nekat untuk mendatangi rumahnya.
"Ima? Tumben kamu ke sini, ada apa?" tanya Mita dengan terkejut.
"Hanya ingin bersilaturahmi, Kak." Jawab Ima bersamaan dengan senyum yang sedikit di paksa. Keduanya masih saling bertatapan, raut wajah kebingungan Mita terlihat begitu jelas.
"Oh begitu, ya sudah, ayo masuk!" Ajaknya dengan sedikit canggung.
"Terimakasih, Kak." Ima mengikuti Mita untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Silahkan di minum!" Tawarnya setelah memberikannya minuman.
Ima mulai degdegan apalagi, berhadapan langsung dan hanya berdua sekarang."Langsung saja, Kak. Sebenarnya ada yang ingin aku obrolkan."
"Apa itu, Ima?" Dengan penasaran.
"Aku dengar Kakak akan menikah."
"Ya, itu benar, lalu?"
"Kakak yakin ingin tetap menikah dengan pria yang sekarang?"
"Maksud kamu apa, Ima?" Mita masih tidak paham arah pembicaraannya.
"Kakak... tidak berniat memulai kisah kembali dengan Kak, Ilham."
Deg!
Mita langsung terkejut mendengar itu, entah apa yang terjadi sehingga Ima berkata seperti itu.
"Aku sudah mengetahui sesuatu, langsung dari mulutnya, bahwa dia pernah menyukai, Kakak. Apa Kakak tau kalau Kak Ilham menyukai Kakak selama ini?" Mita terdiam sejenak, pertanyaan ini cukup mendadak untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Marriage (Akan Diterbitkan)
RomanceCinta masa kecilnya kepada lelaki seusia Kakaknya, yang kini berlanjut saat Ima sudah beranjak dewasa. Ima menagih janji Ilham untuk menikahinya. Sementara usia Ima terbilang masih cukup muda. Namun tidak membuat Ima menyesal akan keputusanya untuk...