Semenjak malam itu, hubungan Ima dan Ilham tidak lagi sama, semua berubah begitu saja seolah mereka berdua hidup masing-masing.
Rencana Ima beberapa hari ini masih belum berhasil seolah Ilham mengetahui rencananya dan selalu saja tidak berada di rumah, suaminya akan pulang jika sudah larut malam lalu masuk kamar setelahnya tidur tanpa menyapanya.
Bayangkan saja, tinggal satu rumah, tetapi bicara hanya bila ada penting saja. Hening, sepi begitulah suasananya, pernikahan yang hampa dan tidak bernyawa.
"Hari ini aku akan pulang terlambat," ujar Ilham yang kini tengah memakai dasinya, sementara itu, Ima tengah merias dirinya di depan cermin.
"Oh, aku juga." Ima bicara dengan dingin.
"Memangnya kamu mau kemana?" Tanya Ilham menatap Ima, pandangan keduanya bertemu lewat pantulan cermin.
"Tidak tau!" Ima berkata dengan dingin.
"Jangan pergi, jika kamu tidak punya tujuan!"
"Yang penting aku senang, tidak perlu mengatur." Ima berkata dengan nada yang sinis lalu hendak pergi.
"Ima?" Geram Ilham menahan tangannya.
Ima menatap sejenak lalu menatap tangannya yang kini di genggam oleh suaminya, segera ia lepaskan.
"Aku butuh hiburan, aku capek kalau terus menelan kesedihan. Lagi pula, Kakak juga sibuk terus 'kan? Ya sudah, aku juga ingin menyibukkan diri." Setelah berkata itu, Ima berlalu pergi.
Ilham sampai mematung mendengarnya, Ima mendadak berubah bukan seperti Ima yang ia kenal lagi, gadis itu menjadi sangat dingin.
***
Hanya diam duduk tanpa melakukan apa pun itulah Ima sekarang, sedari tadi dia masih setia untuk duduk menatap beberapa orang yang sedikit demi sedikit mulai pergi.
Ima membuang nafasnya sejenak, begitu jenuh dan frustasi untuk hari ini, Ilham benar-benar telah menghancurkan perasaannya, membuatnya harus seperti sekarang berlalu tanpa tujuan, mencari entah apa yang di cari.
"Kamu masih belum baikkan?" Ima mengarahkan pandangannya kepada Rian yang kini duduk di depannya.
"Siapa yang bertengkar?" Ima mengerutkan keningnya.
"Kamu, dengan suamimu."
"Kami tidak bertengkar." Selah Ima.
"Lalu apa namanya? Jika kalian tak saling menyapa, menjauh begitu saja, apa kamu masih mau mengatakan tidak bertengkar? Ima, walau aku tidak tau permasalahannya saranku, jangan seperti itu kalau tidak mau rumah tangga kalian hancur." Perkataan Rian membuat Ima yang tadi sempat bersandar di bangkunya kini tidak lagi, ia menegakkan tubuhnya.
"Sudahlah, kamu tidak tau apa-apa masalah rumah tangga, tidak perlu menyarankan sesuatu padaku." Ima berkata dengan kesal.
"Aku memang tidak terlalu tau, tapi menurutku ada baiknya juga kamu mendengarkan perkataanku." Kali ini perkataan Rian lebih keras, membuat Ima terbangun dari duduknya, mata keduanya saling menatap entah hari ini sangat menyebalkan dia tak mau mendengar nasihat siapa pun.
"Mau kemana?" Rian menahan lengan Ima saat Ima hendak pergi.
"Mau cari tempat yang sepi." ucapnya dengan dingin.
"Buat apa?" Rian bertanya dengan penasaran.
"Bunuh diri."
"Ya Tuhan, Ima apa yang sudah kamu katakan, jangan bodoh! Berpikirlah sebelum berkata kalau seperti ini aku tidak bisa membiarkanmu pergi." Rian berkata dengan khawatir.
"Aku sangat jenuh, walau setiap hari aku mengabaikannya tetapi, cintaku masih tetap untuknya, sebenarnya apa yang sedang kami pertahankan? Rumah tangga ini sudah hancur." Ima berkata dengan nada yang sendu.
Rian menarik Ima untuk duduk kembali raut wajahnya terlihat lelah, Rian yang mendengar semua curhatannya ikut sedih.
"Apa suamimu sedang berada di kantornya hari ini?" Tanya Rian.
Ima mengangguk.
"Kalau begitu, aku akan menemuinya sekarang, biar ku hajar dia." Suaranya berubah dingin.
Ima mengikuti Rian yang kini hendak melangkah ke mobilnya. " Tunggu! Kenapa kamu ingin menghajar suamiku?" Rian menghentikan langkahnya.
"Ima, dari hari yang lalu aku berusaha diam dan bersabar, tetapi melihat ke tidak pedulian Ilham padamu, dan melihatmu yang terus menangis di depanku, aku tidak bisa tinggal diam, orang seperti Ilham harus di beri pelajaran." Tiba-tiba emosinya memuncak, terlihat dari nada bicara serta ekspresi wajahnya, Ima segera menahan tangan Rian dengan begitu erat.
"Jangan, ku mohon! " Ima menatap sendu.
"Kenapa Ima? Aku sedang berada di pihakmu aku seperti ini karena aku peduli padamu, kamu tidak perlu khawatir, toh aku tidak akan membunuhnya, hanya saja aku akan sedikit memberinya pelajaran."
"Jangan sakiti suamiku, aku tidak pernah membencinya jadi aku tidak rela kamu melukai suamiku, walau niatmu karena aku," ujar Ima, Rian melepas tangan Ima.
"Aku tidak mengerti lagi denganmu Ima, segitu cintanya sama lelaki yang bahkan tidak pernah melirikmu, aku rasa kamu itu sangat bodoh!" Nafas Rian naik turun menandakan sedang emosi.
"Apa selamanya kamu akan mengemis cintanya? Tidak kah kamu memikirkan perasaanmu sendiri? Kamu benar-benar di butakan oleh cinta, sekarang terserah dirimu saja teruslah mengemis jangan mengharapkan bantuanku." Lanjut Rian berkata dengan kesal.
"Rian, tunggu!" Rian sudah menjauh membuat Ima membuang nafasnya dengan kasar, tidak pernah sebelumnya ia mendengar nada bicara seperti itu dari mulut Rian, selama ini Rian selalu berkata lembut mendengarkan setiap ia curhat, dan entah kenapa sekarang menjadi sedikit dingin.
"Kenapa malah jadi semakin menyedihkan? Seolah semua orang menjauhiku." Tak terasa air matanya mengalir begitu saja.
***
Mobil Rian sudah sampai di halaman rumah Ima, namun sedari tadi Ima masih tidak bicara padanya. Namun, Rian memaklumi mungkin Ima kesal karena dirinya telah berkata seperti tadi pada Ima, tapi sekarang Rian benar-benar merasa bersalah, dan ujungnya ia tetap akan membantu Ima.
"Ima?" Tahan Rian setelah keluar dari mobil.
"Aku tidak apa, jangan merasa bersalah, yang kamu ucapkan benar kok, tidak ada salah sedikit pun, aku selama ini memang terlalu bodoh. " Lanjut Ima seraya tersenyum.
Tanpa dia duga Rian malah memeluknya membuatnya mematung sesaat, pelukan ini sangat mendadak dan tidak pernah ia duga sebelumnya.
"Aku benar-benar menyesal mengatakan itu padamu, seharusnya aku menghiburmu bukan malah membuatmu semakin bersedih, aku minta maaf." Terdengar sangat penuh penyesalan, Ima segera mendorong tubuh Rian sehingga pelukannya terlepas.
"Tapi kamu tidak seharusnya memelukku, bagaimana kalau suamiku melihat nanti?"
"Ekhmmm." Suara deheman itu membuat Ima dan Rian langsung menoleh.
"Kak Ilham?" Wajah Ima pucat pasi, bagaimana tidak? di sampingnya ini ada suaminya yang tengah menatapnya. "Ini... salah paham," lanjutnya dengan suara gemetar.
Bodoh, kenapa aku berkata seperti itu? Bukankah ini bagus dengan ini aku bisa mengetahui apa Kak Ilham cemburu atau tidak.
"Sudah berapa lama kalian pacaran?" tanya Ilham. Wajah Ima semakin pucat pasi.
"Kamu bisa menebaknya sendiri sejak kapan Ima pacaran denganku?" ujar Rian sambil merangkul Ima, Ima sempat menatap Rian tetapi ia pun mengerti dengan maksud rangkulan ini, wajah Ilham masih dingin tidak ada tanda-tanda jika dirinya sedang cemburu.
"Aku pikir perkataanmu itu serius, hanya aku yang kamu cintai, tetapi sekarang kamu malah mencintai lelaki lain."
Mendengar itu, Ima malah panik sendiri takut kalau Ilham justru tidak akan mempercayainya lagi.
"Bukan begitu, Rian ini hanya temanku, Kak."
"Teman tapi mesra, begitu? Dasar gadis murahan, berani sekali selingkuh di depan suamimu sendiri, kamu masih istri sahku, apa pantas setiap malam pulang bersama lelaki lain lalu berpelukan?" Perkataan Ilham cukup pedas. Mata Ima mulai memanas, perkataan itu sangat tidak enak di dengarnya.
"Silahkan lanjutkan hubungan kalian, aku tidak peduli." Air matanya terjatuh begitu saja, entah kali ini Ima merasakan sakit hati atas ucapan Ilham padanya, namun ia juga berpikir, apakah ini tandanya Ilham cemburu padanya?
"Sialan!" Umpat Rian.
Buk! Rian memukul wajah Ilham.
"Ya Tuhan!" Jerit Ima melihat suaminya yang tiba-tiba di pukul begitu saja.
"Aku tidak tau, di dalam sini (menunjuk dada Ilham) ada hati atau tidak, tapi dari caramu berkata seperti tadi aku sudah bisa menyimpulkan kamu memang tidak punya hati." Ilham hanya diam menahan emosi.
"Aku tidak mengerti, kenapa Ima bisa mencintai lelaki tidak berperasaan sepertimu?"
"Rian hentikan!" Ima menarik Rian dari atas tubuh suaminya. "Jangan memukulnya lagi, aku mohon." Ima menangis di depannya.
"Sadarlah Ima! Lelaki di hadapanmu ini tidak pantas untukmu, dia tidak pernah mencintaimu tinggalkan dia, kamu bisa bahagia bahkan aku sendiri yang akan membahagiakanmu." Rian semakin emosi sementara Ilham berdiri dengan sedikit menghapus darah yang ada di sudut bibirnya lalu menatap Rian dengan tajam.
"Jadi, kamu memang menyukai Ima?" tanya Ilham.
"Ya, aku menyukainya aku bisa membahagiakannya, tidak sepertimu yang hanya bisa menyakiti hatinya." Ima menatap terkejut, sulit di percaya.
"Apa yang kamu katakan Rian, aku tidak berharap kamu menyukaiku aku hanya sekedar meminta bantuanmu untuk membuat suamiku cemburu."
"Tapi aku tidak ingin ini pura-pura, aku benar-benar menyukaimu Ima." Rian hendak meraih tangannya dengan segera Ima menepisnya.
"Pergi kamu!" usirnya.
"Tapi Ima."
"Aku mohon, kita selesai, terimakasih telah membantuku."
"Baiklah, aku tidak berharap kamu menyukaiku, yang jelas jika lelaki di sampingmu itu tidak bisa membahagiakanmu maka aku siap untuk membahagiakanmu." Setelah berkata itu, Rian segera pergi dengan mobilnya, sehingga hanya menyisakan Ilham dan Ima saat ini.
"Apa itu benar?" Ilham menahan lengan Ima yang hendak pergi membuatnya akhirnya berdiam diri.
"Jika kamu memang ingin membuat aku cemburu." Lanjut Ilham.
"Iya itu benar," jawabnya dengan dingin.
"Tapi maaf, sepertinya aku tidak cemburu," ujar Ilham terdengar sangat menyakitkan, Ima menghempaskan tangan Ilham.
"Ima sudah bisa menebaknya, Kak." Setelah berkata itu dengan hati yang perih ia berlalu mendahului Ilham yang kini masih berdiri.
Dia menatap Ima yang berlalu begitu saja, raut wajahnya masih datar tidak ada rasa bersalah sedikit pun atas apa yang sudah di katakannya.
***
Ilham menyentuh sudut bibirnya yang sedikit terluka, untuk pertama kalinya ia terluka akibat pukulan, Ilham bukan orang yang jago berkelahi, ada alasan kenapa ia diam saja saat Rian memukulnya tadi.
Ceklek (pintu terbuka)
Ima menatap Ilham yang juga tengah menatapnya, Ilham menatap dengan lekat membuat Ima malah menunduk, Ilham masih menatap semua pergerakan Ima yang kini mulai berjalan menuju lemari kecil yang ada di kamarnya.
"Kenapa Kakak diam saja saat Rian memukul Kakak?" Tanya Ima yang kini sedang meneteskan obat merah.
"Aku tidak suka perkelahian"
Ima masih bungkam lalu dengan cekatan tangannya menyentuh wajah Ilham membuatnya kini menghadapnya.
"Tidak perlu, aku bisa sendiri." Tolak Ilham menjauhkan tangan Ima saat Ima hendak mengobati bibirnya.
Sepertinya Ima tidak peduli, dengan gerakan cepat tangannya yang memegang kapas menyentuh sudut bibir suaminya, membuat Ilham akhirnya diam.
Kenapa aku gugup, batin Ilham.
Ima tidak peduli dengan tatapan suaminya, tangannya masih tetap mengobati lukanya, tidak ada ringisan seolah Ilham memang tidak merasakan sakit.
"Ima?" Suara Ilham mampu membuat Ima menghentikan aksinya lalu kembali menatap suaminya.
"Kenapa kamu bisa bertahan dengan lelaki sepertiku? aku jahat tidak pernah menganggapmu sebagai istriku, tetapi kenapa kamu bertahan? untuk apa?"
Pertanyaan itu sukses membuatnya bungkam, entah kenapa suaminya bertanya seperti itu, dan jujur membuat Ima malah tidak tau harus berkata apa, hingga ia membuang nafasnya sejenak.
"Karena aku mencintaimu, Kak." Lega, itulah yang di rasakan Ima hanya itu yang bisa ia katakan, membuat Ilham diam di tempat dengan mata masih menatap Ima, dari jarak sedekat ini entah membuat jantungnya berdetak tidak seperti biasanya dan rasanya sangat aneh.
"Dengan aku yang tidak pernah mencintaimu."
"Aku akan tetap mencintaimu Kak, sebesar apa pun kakak membenciku, aku tidak peduli." Perih, entah Ilham merasa hatinya perih seolah dirinyalah yang sedang di sakiti padahal disini Imalah yang tersakiti. Karena tidak bisa menahan akhirnya Ima memutuskan kontak mata.
Kenapa harus mencintaiku? Sungguh jawabanmu membuatku semakin merasa bersalah.
"Kalau kamu memang mencintaiku, jangan pernah berdekatan dengan lelaki itu lagi." Ima kembali menatap suaminya.
"Kenapa? Kenapa aku tidak boleh berdekatan dengannya? Hanya dia satu-satunya temanku."
"Karena dia menyukaimu, dan aku... cemburu."Deg...
Tangan Ima yang masih berada di bibir Ilham menjauh, namun Ilham segera mencekal pergelangan tangannya sehingga membuat Ima terpaku di tempat dengan wajah keduanya yang begitu dekat.
"Aku menarik perkataanku saat di luar tadi, yang sebenarnya aku sangat merasa cemburu."
Deg!
Deg!
Deg!
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Marriage (Akan Diterbitkan)
RomanceCinta masa kecilnya kepada lelaki seusia Kakaknya, yang kini berlanjut saat Ima sudah beranjak dewasa. Ima menagih janji Ilham untuk menikahinya. Sementara usia Ima terbilang masih cukup muda. Namun tidak membuat Ima menyesal akan keputusanya untuk...