Ima berhasil bertahan satu minggu ini, dan kabar baiknya lagi ia sudah di tugaskan sebagai pelayan tidak lagi mencuci piring kotor, Ima pun masih belum percaya dengan ini setelah kedatangan Rian hari itu, besoknya ia malah diminta untuk jadi pelayan, tentu saja itu membuatnya senang, walau pun ia tidak tau alasan mengapa tiba-tiba dipindahkan posisinya.
Semenjak Ima kerja, Ilham juga selalu sibuk dengan pekerjaannya selalu pulang malam membuat Ima merasa tenang karena sebelum Ilham pulang Ima sudah bisa berada di rumah, sehingga membuatnya bisa tenang untuk bekerja dan tidak perlu menghadapi kemarahan Ilham yang sempat ia bayangkan jika tau dirinya bekerja.
Ima menatap ponselnya tidak ada apa pun di sana, membuat Ima menghembuskan nafasnya pelan.
"Ternyata Kak Ilham memang selalu saja sibuk, kenapa aku merasa kesepian seperti ini, ya?"
Ima mencoba tidak memikirkan itu, hingga tak lama sebuah mobil menghampirinya, Ima menatap mobil yang kini berada di hadapannya, Ima tersenyum melihat siapa yang ada di dalam mobil itu, dia lelaki yang selalu ada dalam seminggu ini.
"Mau pulang bersama nyonya!" Tawarnya seraya tersenyum lembut, secara tidak sadar Ima menarik sudut bibirnya sehingga senyumnya mengembang.
"Iya nih."
"Mari masuk ke dalam mobil saya!" Rian membuka pintu mobilnya.
"Baiklah." Tanpa pikir panjang Ima segera naik ke dalam mobil Rian.
Semenjak mengenal Rian, Ima merasa berbeda, sering di buat tertawa apalagi makin hari ia semakin akrab dengannya. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya jika ia akan punya seorang teman laki-laki.
Sementara, beberapa karyawan lain kini tengah menatap Ima dengan tatapan kesal, kebetulan mobilnya belum maju jadi Ima masih bisa melihat mereka, tentu ini membuat Ima sedikit kebingungan dengan tatapan itu, hingga walau mobilnya sudah melaju pandangan Ima masih ke belakang.
"Kenapa Ima? Apa ada yang ketinggalan?" Suara Rian membuat Ima segera mengarahkan pandangannya.
"Kenapa mereka kaya yang iri ya kalau Ima naik mobil kamu? Kalau lagi kerja mereka juga nggak ada yang mau jadi temanku."
"Abaikan saja, tidak penting, mereka memang selalu seperti itu," ucap Rian.
"Heummm." Ima memutar pandangannya ke depan, sebenarnya ada yang mencurigakan dari Rian, dia punya mobil tetapi lelaki itu malah bekerja paruh waktu di restoran yang sama dengannya. Di awal Rian membantu cuci piring padahal pakaiannya rapi, tetapi besoknya mendadak jadi karyawan juga. Tentu ini membuat Ima bertanya-tanya.
"Ilham nggak curiga kan kalau kamu bekerja."
"Kayanya Kak Ilham benar-benar nggak tau, kita juga jarang ketemu soalnya saat dia pulang aku malah sudah tidur, saat pagi tiba kami hanya bertemu sesaat di meja makan dan terus seperti itu, setiap harinya." Jelas Ima wajahnya seperti terlihat sedih.
"Kamu cinta banget ya sama Ilham?"
"Kalau nggak cinta mana mungkin Ima mau nikah sama Kak Ilham. "
"Iya juga si, Ilham benar-benar beruntung mendapatkan gadis secantik dirimu."
"Eh apa?" Ima terkejut dia bertanya kembali, namun Rian menjadi salah tingkah saat Ima malah bertanya untuk Rian mengulangi perkataannya.
"Hm... ah maksudku itu... dia beruntung punya istri yang pekerja keras seperti kamu, oh ya mau ikut mampir nggak?" Ima mengerutkan keningnya, apa yang dikatakan Rian sekarang berbeda dengan tadi.
"Kemana?" Ima pun malas untuk membahasnya lagi.
"Ke tempat yang akan membuatmu senang." Tentu Ima merasa penasaran sekarang. Mungkin tidak apa jalan-jalan dulu toh ia dan Rian kan hanya teman.
***
Ima tengah duduk di warung tepi jalan bersama Rian, ini pertama kalinya bagi Ima makan di emperan seperti ini, dulu Ima sering mengatakan jika warung semacam ini pasti murahan dan hidangannya juga tidak enak, tapi setelah merasakannya Ima malah merasa begitu senang.
"Gimana enak nggak?" tanya Rian. Ima mengangguk saat memakan baksonya.
"Ini itu tempat favoritku loh, dari dulu sampai sekarang, dan rasanya tidak pernah berubah."
"Aku baru merasakan makan bakso di tempatnya, ternyata enak juga." Ima terlihat menikmatinya.
"Syukurlah kalau kamu suka."
"Aku bingung sama kamu, kamu kan terlihat seperti orang kaya, kenapa juga kerja paruh waktu? terus makannya juga di warung tepi jalan."
"Lalu apa bedanya denganmu? Kamu juga punya suami seorang Ceo tapi mau saja bekerja dan makan di tepi jalan." Tanya Rian balik.
"Lah kalau aku kan mau mandiri."
"Ya, jawabanku juga sama."
Keduanya saling terdiam, Ima berpacu dalam pikirannya untuk pertama kalinya ia menemukan seseorang yang sejalan dengannya.
Bahkan Ilham tidak seperti itu, mengingat Ilham, Ima malah merasa rindu, rindu saat dimana Ia bertingkah manja tetapi sejauh ini rumah tangganya masih terasa hambar, tidak ada perasa apa pun yang membuat mereka bahagia Ima merasa dia masih sendiri padahal sudah bersuami.
***
Ima mengendap-endap masuk ke dalam rumah, ia menutup pintu dengan perlahan sedari tadi ia terus gemetar apalagi melihat mobil Ilham yang sudah berada di depan rumahnya. Ima yakin Ilham pasti akan marah jika tau Ima pulang malam. Seketika ia sedikit menyesal karena tadi malah makan bakso dengan Rian, alhasil sekarang pulangnya terlambat.
"Dari mana Kamu?" Deg, Ima menghentikan langkah kakinya ia segera berbalik di lihatnya Ilham yang sudah berada di depannya, suaminya terlihat berbeda, berbeda dari cara menatapnya.
"Anu... itu... Ima habis... oh iya habis beli bakso, tadi ngantri jadi lama deh, ini aku belikan buat Kakak."
Seraya menunjukkan plastik berisi bakso kepada suaminya, Ima memang sengaja membelinya untuk Ilham, sebisa mungkin Ima tersenyum walau suasana sedang mencengkam.
Sepertinya jawaban Ima tidak membuat Ilham percaya, Ilham dengan tega membanting plastik berisikan bakso itu yang kini sudah berhamburan, sehingga membuat Ima terkejut.
"Kenapa di lempar? Itu Ima beliin buat Kakak." Suara Ima sedikit bergetar, dia merasa sangat sedih sekarang.
"Sejak kapan kalian pacaran?" Ilham malah bertanya seperti itu, membuat Ima tidak mengerti.
"Apa maksudnya, Kak?" Ima malah bingung dengan pertanyaan yang di lontarkan suaminya, Ilham menunjukkan foto yang ada di ponselnya.
"Siapa dia?" Tanya Ilham dengan tatapan tak suka.
"Apa karena lelaki ini kamu selalu tidak ada di rumah?" Ima menelan salivanya dengan paksa terlihat foto Ima dan Rian yang tengah asyik memakan bakso di tepi jalan, bahkan ia tidak percaya jika Ilham bisa tau jika Ima selalu tidak ada di rumah.
"Jawab Ima!" Bentaknya seraya mencengkeram kedua bahu Ima, membuat Ima sampai terperanjat.
"Itu, itu Rian, teman Ima," jawab Ima terbata.
"Bohong." Suara Ilham begitu dingin.
"Ima nggak bohong, sumpah." Ima mulai resah saat Ilham malah menjauh darinya.
"Dan satu lagi selain lelaki itu, kenapa kamu bekerja? Apa kamu meragukanku, aku bisa menafkahimu Ima." Ima lebih terkejut saat Ilham mengetahui jika Ima bekerja paruh waktu.
"Anu Ima..." Ima sudah kehabisan kata-kata.
"Kamu sengaja mau merendahkanku di depan Mamamu, begitu? Kenapa harus seperti ini?" Suara Ilham semakin keras membuat Ima menunduk, tidak terasa matanya sudah berkaca-kaca. Ia masih syok dengan Ilham yang ternyata mengetahui kegiatannya selama ini.
"Maaf, Ima tidak bermaksud begitu, Kak."
"Kakakmu sendiri yang sudah mengatakan jika kamu kesal karena aku tidak memberimu kartu ATM lagi, apa itu benar?" Sekarang Ima tau siapa yang sudah memberitahu Ilham, ternyata adalah Kakaknya sendiri.
"Astaga, aku itu hanya ingin membuatmu berubah Ima, kenapa kamu malah mengadu pada mereka?" Ilham sampai mengusap wajahnya.
"Kak, Ima bukan bermaksud mengadu atau apa pun itu, Ima cuma..."
"Cukup! Jangan bicara lagi padaku kamu benar-benar sudah mengecewakanku Ima, menyembunyikan tentang lelaki itu dan kerja paruh waktumu." Ilham memilih melangkahkan kakinya.
"Kak please dengerin penjelasan Ima dulu, ini tidak seperti yang Kakak pikirkan." Ilham menepis lengan Ima dengan kasar, membuat Ima sedikit terdorong, untuk pertama kalinya Ilham terlihat begitu menakutkan.
"Harus kah aku mendengarkan penjelasan dari anak bau kencur sepertimu. Aku tidak peduli mau kamu ada hubungan atau tidak, syukurlah kalau kamu bisa berpaling dariku." Suaranya begitu tajam.Hati Ima tak suka dia tidak ingin di katakan seperti itu, kenapa Ilham mengatakan jika Ima anak bau kencur? Di tambah dengan perkataan terakhirnya yang sungguh membuatnya sakit, tidak terasa air matanya mengalir begitu saja bahkan sudah tidak terhitung berapa bulir air mata yang dia keluarkan.
Ilham membuatnya merindu, tapi apa? setelah bertemu Ilham malah memfitnahnya yang tidak-tidak andai saja Ilham tau jika alasan Ima bekerja karena, ia ingin mandiri bukan karena selingkuh yang bahkan tidak pernah terlintas di dalam pikirannya, Ima merasa begitu sakit sesakit tangisannya.
Setelah Ilham memarahinya kini Lelaki itu sudah berbaring membelakanginya, Ima naik ke atas ranjang dengan hati-hati ia sengaja menyusul setelah Ilham tidur, karena ia tidak sanggup jika malah melihat Ilham kembali mamarahinya.
Ia menghapus air mata dengan kasar, tetapi masih sesenggukan. Ada perasaan kecewa pada diri sendiri karena sudah melunturkan kepercayaan suaminya, tetapi apakah harus Ilham berkata seperti itu, seolah memang ingin sekali ia berpaling supaya Ilham tidak lagi dibebani olehnya.
***
Ima membuka pintu kamar dengan pelan, ia menatap punggung itu, seketika hatinya kembali terasa sakit Ima tidak menyangka akan seperti ini, apa dimata Ilham Ima memang masih seperti bocah? Padahal selama ini ia berusaha untuk menjadi dewasa.
Ilham membuka matanya, merasakan ranjangnya sedikit bergoyang ia yakin jika itu Ima, sejenak Ia memejamkan mata lalu membuang nafas dengan kasar, kemarahannya pada Ima sudah di luar batas saking marahnya Ilham bahkan tidak melihat siapa yang sedang ia hadapi.
Bagaimanapun Ima hanyalah gadis yang lugu di depanya, tidak seharusnya Ia memarahinya seperti tadi, entah Ilham hanya kesal begitu Revan memberitahunya bahwa selama ini Ima diam-diam kerja, ia sengaja pulang lebih cepat untuk membicarakannya, dan tidak di sangka ternyata di saat bersamaan ia dikejutkan lagi dengan foto Ima bersama orang lain, dan foto itu ia dapatkan dari Mita, tentu ini membuat emosinya semakin bertambah.
Kenapa aku sampai semarah itu? Bukan masalah dia yang diam-diam bekerja, tetapi melihat foto kebersamaannya dengan lelaki itu, batin Ilham.
Namun mendengar perkataan dari Ima tadi membuatnya sedikit percaya jika Ima memang tidak mungkin berselingkuh. Tetapi, mungkin untuk sementara ia akan membiarkan situasi menjadi seperti ini dahulu, supaya Ima bisa introspeksi diri, dan menyadari akan kesalahannya agar tak terulang lagi.***
TBC
Gimana nih? Sejauh ini ceritanya boring gak, hahaha maaf deh ya kalau kurang puas dengan ceritaku ya cari saja cerita yang lain gapapa kok, wong cerita aku mah da te sempurna hehe
Di tunggu banget vomentnya :)
09-03-2018 revisi 14-02-23
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Marriage (Akan Diterbitkan)
RomanceCinta masa kecilnya kepada lelaki seusia Kakaknya, yang kini berlanjut saat Ima sudah beranjak dewasa. Ima menagih janji Ilham untuk menikahinya. Sementara usia Ima terbilang masih cukup muda. Namun tidak membuat Ima menyesal akan keputusanya untuk...