18. Perih

6.7K 235 11
                                    

Ima menggeser tubuhnya, bermula tidak terasa apa-apa hingga tak sengaja ia malah terdesak di depan dada bidang yang kini tepat dengan wajahnya, sejenak Ima terdiam ia sedikit mengangkat wajahnya, seukir senyuman tertampang di bibirnya, Ilham masih terlelap dan Ima menatap arah jendela, hari masih gelap namun hujan sedikit mereda hanya terlihat gerimis saja.

Ima terlalu senang karena itu ia ingin memeluk Ilham lebih erat lagi, tapi dia tidak boleh melakukannya, Ima sedikit meringis mengingat apa yang harusnya terjadi tapi semua sia-sia mungkin ada yang berpikir ciuman itu akan berujung ke hal yang lebih.
Namun, kenyataannya  tidak, Ilham hanya menciumnya lelaki itu terlihat lemas dia tidak bisa melanjutkannya, entah kenapa? sehingga membuat Ima menjadi kecewa, namun ia mengerti saat mendengar penjelasan Ilham.

"Kenapa berhenti Kak?" Ima menatap suaminya dengan tatapan bertanya-tanya, sementara Ilham terdiam dengan nafas yang masih membara.

"Aku... maaf tidak bisa melanjutkannya, hanya sampai di sini caraku menyentuhmu." Ucapan itu, membuat Ima membuang nafasnya dengan perlahan, lalu Ilham menjauhkan tubuhnya dari Ima.

"Kalau begitu tidurlah, Kakak pasti capek terimakasih untuk ciumannya selamat tidur." Setelah berkata itu Ima memilih berbaring memunggungi suaminya, degupan jantungnya semakin menggila, padahal sedikit lagi dan sayang semuanya gagal. Ima menelan kekecewaannya dalam-dalam.

Ima tidak keberataan, karena sejujurnya dia juga tidak siap, Ima cukup senang karena Ilham berani menciumnya, setelah sekian lama menikah Ilham bahkan tidak pernah menciumnya namun semalam Ima merasa jika Ilham mulai menerima jika Ima adalah istrinya dan dia pantas di anggap istri bukan Adiknya.

Ima tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini yang mungkin entah kapan lagi akan terjadi, mumpung lelaki itu masih terlelap dengan perlahan Ima semakin mendesakan tubuhnya lalu di beranikannya memeluk suaminya, tanpa di duga Ilham malah membalas pelukannya tangan lelaki itu melingkup tubuh Ima membuat Ima benar-benar bahagia, walau ia tau Ilham memeluknya secara tidak sadar namun Ima sangat bahagia dengan ini.

Peluklah aku di saat kamu terlelap, dengan itu kamu tidak akan menyesalinya.

Menit berlalu, Ima kembali terbangun ia meraba sisi ranjangnya, tubuh itu menghilang tubuh yang sempat ia peluk tadi, kemana? Mungkinkah Ilham sudah bangun. Ketika matanya sudah benar-benar terbuka Ima sendirian ia tidak melihat Ilham sama sekali, dengan segera melangkah keluar kamar dengan keadaan masih berantakan.

Tepat setelah menuruni anak tangga Ima melihat Ilham yang sudah menghabiskan sarapannya, entah kenapa lelaki itu tidak membangunkannya, dan memilih sarapan sendiri Ima merasa tidak enak hati.

"Kak, tunggu!" Ima berteriak, dengan langkah cepat ia menghampiri Ilham, Ilham terdiam menatap Ima.

"Heummm... kenapa Kakak tidak membangunkan Ima?" Ima sedikit gugup, entah kenapa mungkin akibat ciuman semalam, Ilham juga terlihat gugup suasana cukup canggung.

"Menurutmu?" Ima mengangkat kedua bahunya Entahlah dia tidak mengerti.

"Aku berangkat dulu," lanjut Ilham kembali melangkahkan kakinya, seolah tidak ingin berhadapan dengan Ima.

"Eh tunggu dulu, Kak!" Ima menarik lengan Ilham, sehingga pria itu terpaksa menghentikan langkah.

"Kenapa lagi?" Dengan sinis.

Ima terdiam sejenak, menatap wajah Ilham yang kembali berubah, berbeda dengan semalam yang menciumnya, memeluknya dengan hangat. Tetapi sekejap lelaki itu berubah kembali sangat drastis, Ima melepaskan tangan suaminya.

"Tidak ada apa-apa."

"Ya sudah, kalau begitu aku pergi, takut kesiangan." Perkataan yang dingin seperti basanya, Ima hanya diam tidak bisa berkata apalagi. Menatap sendu ke arah suaminya.

***

"Aku tidak tau akan seperti ini," ucap Mita, pagi sekali ia datang ke kantor Ilham hanya untuk memberitahu hal yang terus mengganggunya.

"Tapi aku sudah menikah, kamu tau itu."

"Ya aku sudah menjelaskannya, namun kamu tahu sendiri bagaimana Ayahku? Dia begitu mengagumimu Ilham, dia... dia ingin aku menikah denganmu." Ilham terdiam, entah ia harus senang atau tidak disisi lain ia tidak ingin mengecewakan Ima ia sudah berjanji pada Ibu Ima untuk menjaga Ima dan membahagiakannya.

Namun, ini juga membuatnya senang ia memang telah lama menginginkannya, dimana ia harus menikah dengan wanita yang di cintainya yaitu sosok Mita yang dari dulu di kaguminya tapi sekarang mana bisa, dengan hadirnya Ima yang berstatus menjadi istrinya.

"Jangan khawatir, Ilham! aku akan mencoba menjelaskan lagi pada Ayahku semoga dia mengerti."

"Ya, kamu harus menjelaskannya, ini bukan keputusan yang gampang, aku tidak bisa menjawab secepatnya."

"Ya, aku mengerti, jangan di jadikan beban kita cari jalan keluarnya, lagi pula aku juga tidak ingin membuat rumah tangga kalian hancur, percayalah ini keinginan Ayahku bukan aku." Ilham mengangguk, dia percaya sudah pasti keinginan Ayah Mita karena hal yang tidak mungkin jika Mita menyukainya apalagi menawarkan untuk menikahinya, dari dulu wanita ini hanya menganggapnya teman saja tidak lebih.

Mita berlalu setelah selesai mengatakannya, membuat Ilham terdiam bingung dengan pemikiran yang tidak menentu, Mita tentu masih jadi yang utama di hatinya, tapi ia ingat Ima mau di kemanakan jika nanti ia harus menikahi Mita, apalagi kejadian semalam yang sudah membuat perasaannya buyar, tanpa sadar tanpa akal mencium Ima begitu saja.

Sungguh aku sangat ceroboh dan bodoh, semua gara-gara alkohol, batinnya.

Sementara itu, Ima terlihat bingung karena sedari tadi belanjaannya tidak terpenuhi, Ima hanya memilihnya dan memegangnya saja. Sejak ciuman semalam membuatnya sampai tak fokus, tidak tau apa maksud ciuman itu, ada rasa sedih juga yang menggelayuti hatinya.

"Kenapa hanya melamun?" Ima terkejut mendengar suara itu, hingga refleks bahan makanan yang sedang di pegangnya terjatuh begitu saja, dengan segera lelaki itu mengambilnya membuat Ima masih terdiam.

"Lain kali jangan melamun." Lelaki itu tersenyum, entah tiba-tiba Ima menjadi lega ia pun tersenyum.

"Astaga, kenapa kamu selalu ada di sekitarku?" Ima kembali fokus mengambil belanjaannya.

"Entahlah, mungkin berjodoh."

"Hahaha yang benar saja, mana mungkin kita berjodoh aku kan sudah menikah."

"Benar juga, hmm mungkin kebetulan, kalau tidak keberatan, bisakah setelah ini kamu ikut denganku."

"Ikut kemana?" tanya Ima.
Rian tidak menjawab tetapi pria itu sudah menuju mobilnya, membuka pintu dan memberi isyarat untuk Ima segera masuk. Sejenak ia berpikir, sebenarnya takut kalau nanti terjadi kesalah pahaman lagi, tetapi mengingat bahwa Ilham sendiri mungkin di luar sana sering jalan dengan Mita, terlintas rasa ingin membalas saat ini.

***

Ima menatap tempat yang dulu menjadi tempat kerjanya, ia tersenyum ramah kepada para pegawai yang entah mereka juga sudah mulai ramah berbeda dengan waktu ia bekerja di sini.

"Tempat ini semakin ramai saja ya, kamu memang hebat."

"Ya begitulah, tetapi walau usahaku semakin ramai, tetap saja rasanya sedih."

"Sedih karena apa?"

"Kehilangan satu pegawaiku." Rian menatap dengan dalam.

"Siapa?" Ima menatap Rian dengan penasaran.

"Namanya Ima." Seketika Ima langsung gugup.

"Kenapa harus kehilangan? Toh aku juga nggak benar kerjanya."

"Tapi aku senang kalau kamu bekerja di tempatku." Tatapan Rian makin dalam, sampai membuat Ima tak tahan untuk segera berpaling muka.

Belum sempat Ima menjawab, makanan datang menghampiri, membuat keduanya akhirnya memutuskan untuk makan, Ima menyantap dengan tenang, sementara Rian terdiam menatapnya, sungguh senang hatinya melihat Ima bersamanya sekarang, setelah beberapa hari ini ia harus di landa kegalauan karena tidak bertemu Ima.

"Ayo di makan!" Ima mengangguk akhirnya pembicaraan tadi bisa teralihkan dengan makanan ini.

"Setelah ini kamu mau kemana?"

"Mungkin pulang."

"Sering-sering mampir ya, untukmu pasti selalu gratis."

"Gak enak ah, nanti Ima pasti bayar."

"Aku bilang tidak usah Ima." Rian terus menolak, dia benar-benar serius dengan ucapannya jika itu Ima dia akan menggratiskan semuanya.

"Sepertinya Ima harus segera pulang, awannya mendung Ima harus sudah berada di rumah."

"Nggak nunggu hujan saja, ya? Biar lama gitu."

"Tidak bisa, Ima ‘kan punya suami takut dia khawatir."

Walau pun itu tidak mungkin, batinnya.

"Baiklah, kalau begitu biar aku antar."

"Hmm, yakin tidak merepotkan?"

"Tidak sama sekali." Sambil melempar senyumnya.

"Ya sudah, ayo antar Ima pulang."

"Baiklah tuan putri mari ikut aku ke dalam mobil." Wajah Ima bersemu merah, setiap Rian berkata aneh Ima selalu di buat malu, entah mungkin karena ia memang baru pertama dapat kata seperti ini.

Aku harap, suatu saat Kak Ilham akan mengatakan ini padaku, sebagai Tuan putri bukanlah Adik.

***

Seperti yang sudah di duga sore ini turun hujan, Ima sudah sampai dan belum lama Rian sudah kembali pulang, dengan segera Ima menuju kamar mandi masih ada beberapa jam yang tersisa setelah membersihkan tubuhnya, Ima harus langsung bergegas untuk masak, bagaimana pun ia harus bisa memasak untuk suaminya.

Menit berlalu, Ima sudah berada di dapur dengan bahan-bahan masakan yang sudah ada di tangannya.

"Ayo Ima, semangat kamu pasti bisa!"

Ima mulai memotong bahan sayuran, terlalu bersemangat untuk belajar tetapi lagi-lagi ia begitu ceroboh.

"Argh!" Ima meringis menatap jarinya yang kini mengeluarkan darah, akibat terkikis oleh pisau segera membersihkannya, dan Ima tidak peduli walau sedikit perih ia kembali menjalankan tugasnya, ambisi untuk menjadi lebih baik supaya bisa memenangkan hati suaminya.

Beberapa menit kemudian.

"Selesai." Gumamnya bahagia, Ima sudah menjajarkan masakannya di atas meja, setelah bersusah payah akhirnya Ima bisa memasak, ia tidak sabar bagaimana reaksi suaminya jika mengetahui ia bisa memasak, apa suaminya akan mencintainya? Dan tidak menganggapnya kekanakan lagi, tinggal beberapa menit lagi suaminya pasti akan pulang.

1 jam berlalu

Ima tengah duduk seraya menatap ke luar jendela, dan hujan masih belum mereda, dengan suasana semakin gelap di sertai petir sebagai pelengkapnya.

2 jam berlalu

Ima menatap masakannya yang kini mulai dingin, ada rasa kecewa di hatinya dia sudah seefort ini belajar masak supaya membuat suaminya bangga padanya.

Ima menatap ponselnya, tidak ada kabar sedikit pun dari suaminya, biasnya jika Ilham akan pulang terlambat pasti akan menghubunginya namun sekarang tidak. Bahkan ini sudah tiga jam ia menunggu.

Sejenak menatap makan itu lagi, sebelum akhirnya ia meninggalkan meja makan itu. Berakhir dengan rasa kecewa akibat terlalu semangat sendiri.

***

Ilham membuka pintu dengan perlahan, hening pandangannya terus mengekori ruangan tetapi tidak ada tanda-tanda Ima berada di sini.
Ilham berpikir mungkin Ima sudah tidur, apalagi cuaca seperti ini semakin mendukung.

Ceklek!

Sara pintu kamarnya terbuka, Ilham menatap Ima yang kini tengah terbaring di ranjang dengan selimut yang di menutupi sampai lehernya.

Apa mungkin Ima menungguku? Lalu dia mengantuk dan akhirnya tidur, ah semoga saja tidak begitu.

Ilham bergegas untuk membersihkan tubuhnya, bahkan sampai ia selesai Ima masih tetap terlelap tidak terbangun, Ilham tidak berniat untuk mengganggu, sehingga ia memutuskan untuk ke dapur dan membuat kopi sendiri.

"Masakan? Apa Ima yang membuatnya?" Ilham terkejut mendapati rupa-rupa masakkan di meja, ada ayam goreng, sayur bayam juga gorengan. Sejenak Ilham merasa tak enak hati.

"Terus kenapa kamu membuat sarapan roti? "

"Karena aku tidak bisa memasak yang lain."

"Kalau begitu kamu harus belajar lagi dari sekarang."

"Aku pasti akan belajar lagi Kak, sesuai ucapanku aku akan menjadi istri yang baik."

Ilham terdiam mengingat percakapan itu, ternyata Ima benar-benar membuktikan perkataannya dia belajar memasak untuknya, dan memang sempat ia ingat waktu Ima membuat telur ceplok yang bahkan melukai pipinya, astaga tanpa ia sadari Ima benar-benar telah berbuat hal yang tidak ia sangka, apa Ima memang mulai dewasa?

Ilham kembali ke kamarnya, dan Ima masih dengan posisi yang sama, dengan perlahan ia mendekat duduk di tepi ranjang seraya mengamati wajah Ima. Tangan Ilham terulur hendak mengelus rambut Ima, namun ia mengurungkan niatnya.

"Tidak, aku tidak boleh seperti ini, Ima apa pun cara yang kamu lakukan untuk membuatku cinta, aku tidak akan pernah goyah, maafkan aku." Dengan berat hati Ilham kembali beranjak dari duduknya.

"Kenapa kak? Apa Ima memang nggak pantas menjadi istrinya Kakak?" Dengan sendu, bahkan di sertai isak tangis.

Deg!

Ilham berbalik dia terkejut bukan main melihat Ima yang kini sudah duduk dengan air mata membanjiri wajahnya, entah sejak kapan Ima terbangun.

"Ima." Suara Ilham bergetar.

***

TBC

Holla, maaf ya baru update hehe authornya sibuk sama sekolah jadi gak nyempetin buat nextnya, ahh semoga gak kecewa ya maaf juga kalau ceritanya semakin gaje.

Aku tunggu vote dan comentnya ya say see you next part.

Revisi 14-02-23

Unconditional Marriage  (Akan Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang