15. Aku Ini Istrinya

4.7K 234 14
                                    

Badan Ima sudah mendingan di banding malam kemarin, saat terbangun Ilham sudah tidak ada di sampingnya Ima menatap jam dindingnya padahal ini masih pagi, dan hal tidak mungkin jika Ilham berangkat kerja sepagi ini, lalu dimana suaminya?

Ima memaksakan kakinya untuk turun, hingga baru saja ia hendak berdiri pintu terbuka membuatnya mengurungkan niatnya, dan kembali duduk. Ilham masuk dengan membawa nampan berisikan sarapan untuknya.

"Sudah mendingan?" Tanya Ilham dengan lembut.

"Sudah Kak." Ilham mengangguk merasa tenang, sebenarnya tanpa Ima ketahui ia menjaga semalaman, mengompres keningnya di karenakan panasnya yang tinggi, bahkan sampai mengigau.

"Makanlah dulu, nanti langsung minum obatnya!" Ilham memberinya semangkuk bubur. Ima menerimanya dengan rasa tak percaya bahwa suaminya seperhatian ini, padahal semalam terlihat dingin.

Ima menatap bubur itu, tetapi ia merasa bahwa perhatian yang diberikan suaminya ini hanya bentuk rasa kasihan saja, bukan karena cinta.

"Apa kamu hanya akan menatapnya saja?" Tanya Ilham. Ima kembali menatap Ilham, bahkan ia tidak merasakan lapar sekarang. Sibuk memikirkan apa maksud di balik perhatian suaminya ini.

Ilham geram dengan Ima yang tetap saja diam, dengan segera ia merebut mangkuk itu, hal yang lagi-lagi membuat Ima terpaku saat Ilham menyuapinya.

"Makanlah!" Sambil mendekatkan ke mulutnya.

Ima tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, ia pun segera menerima satu suapan dari suaminya.

"Terimakasih, Kak," ucapnya kembali bersuara.

"Maafkan aku sudah membuatmu seperti ini, cepatlah sembuh!"
Perkataan lembut itu mampu menggoyahkan hatinya, ia sangat terharu walau pun mungkin ini adalah bentuk perhatian terhadap seorang Adik, namun ia sangat senang.

Apa aku harus terus sakit, supaya bisa mendapatkan perhatian darimu, Kak?

"Ini salah Ima, Kak. Andai Ima tidak meminumnya mungkin Kakak tidak akan menceburkanku." Ilham langsung teringat dengan momen itu, dimana itu adalah awal mula sampai membuat Ima sakit. Andai saat itu ia melakukan yang sebaliknya mungkin akan berbeda ceritanya.

"Sudah, tidak usah di pikirkan lagi, ayo makan lagi!"

Ilham merasakan sesuatu yang aneh begitu mengingat momen itu, ekspresi Ima seakan sedang menggodanya, dan ia merasa begitu tergoda.

"Kak, Ima boleh jenguk mama hari ini?"

"Kamu masih sakit?"

"Ima sudah baikkan, Kak. Ima harus melihat keadaan mama."

"Ya sudah, tapi jangan pergi sendiri, nanti aku akan mengantarmu sekalian berangkat ke kantor."

"Baiklah, terimakasih Kak." Ima kembali merasa tenang sekarang. Walau pun ia juga sedang sakit, tetapi ia juga ingin menjenguk mamanya, dan memastikan bahwa beliau baik-baik saja.

***

"Senang kerja sama denganmu, sungguh ini sangat di luar ekspetasiku," ucap Mita dengan senangnya, gadis itu terlihat senang karena bisnisnya bersama Ilham berjalan dengan lancar. Sudah di duga keduanya memang pintar dalam hal berbisnis, dan jika di pasangkan memanglah cocok.

"Ya, aku juga sangat senang, oh ya, bagaimana kabar Ayahmu?"

"Ayahku sudah membaik, dan dia senang mendengar bisnis ini lancar."

"Syukurlah, semoga aku bisa menemuinya lagi."

"Justru malam ini Ayahku mengundangmu untuk makan malam."

"Benarkah?"

"Iya, bagaimana kamu mau datang ‘kan?"

"Tentu, aku akan datang." Ilham menyanggupi ajakan makan malam yang di tawarkan Mita.

"Oke aku tunggu nanti malam."
Keduanya kembali membahas tentang pekerjaan, dan seasyik ini mengobrol dengan Mita sampai membuat Ilham tak bisa berhenti menatap wajahnya, setiap kata yang keluar dari mulut Mita mampu membuatnya terpana.
Namun, Ilham segera menarik senyumnya, ia teringat dengan statusnya saat ini yang sudah beristri, ia harus bisa menjaga pandangannya dari wanita lain, walau pun wanita di depannya ini terus menarik perhatiannya.

***

Ima beserta Kakak lelakinya keluar dari mobil, dengan perlahan Ima membimbing sang Ibu menuju kediamannya, Ima merasa senang karena hari ini Ibunya di izinkan untuk pulang. Ia tampak bersemangat menuntun sang mama.

"Oh ya, bagaimana kamu ada mual nggak"

Dibahas lagi dong, batin Ima sedikit kesal.

"Nggak ada, ma. Mungkin memang Ima beneran sakit, bukan karena hamil." Ima menjawab setenang mungkin.

"Hm begitu ya, padahal mama udah berekspektasi bahwa kamu hamil."

"Do’akan saja, ma. Secepatnya Ima bisa hamil." Sambil melempar senyum palsunya.

"Kalau itu mah sudah pasti, Nak."
Ima segera membawa mamanya untuk kembali jalan, apa pun ia bisa usahakan, namun soal keturunan ia tidak bisa.

Setelah mengantar mamanya ke kamar, Ima menemui Kakaknya yang kini sedang terbaring di sofa. Kakaknya pasti lelah mengingat semalaman katanya ia tidak tidur demi menjaga mamanya. Ima tersenyum senang di balik sifat kekanakan Kakaknya tapi ia mempunyai sisi dewasa juga, membuat Ima merasa tenang setidaknya selama ia tak ada, ada Kakaknya yang akan menjaga mamanya.

"Kopinya, Kak." Ima menyuguhkan Kopi.

Revan langsung membuka mata. "Lah tumben banget nih Adikku nyuguhin kopi, curiga nih pasti ada maunya."

"Ye gimana sih, Adiknya acuh di omongin Adiknya baik di omongin juga, mau nggak nih kopinya? Kalau nggak Ima simpan lagi." Dengan ketua.

"Eh, jangan dong, pamali kalau sesuatu yang udah di berikan di ambil lagi."

Revan segera mengambilnya lalu meneguknya, Ima beranjak untuk duduk di samping Kakaknya.

"Kakak belum jawab pertanyaan Ima yang kemarin loh." Revan yang sedang menyeruput kopi langsung terhenti.

Revan tidak langsung menjawab, ia masih bingung, jika soal yang lainnya ia bisa ceritakan, tetapi soal ini sepertinya tak bisa.

"Kak, jangan bilang Kakak nggak mau jawab lagi." Ima memasang raut wajah kesalnya.

"Aduh! perut Kakak sakit banget nih, Kakak mau ke kamar mandi dulu ya, udah di ujung soalnya." Revan beranjak dari duduknya.

"Eh Kak tunggu dulu, jawab dulu Kak Revan, ih dasar nyebelin." Gerutu Ima dengan kesal.

"Kenapa Kakak tidak mau menjawabnya, ya? atau selama ini dugaanku memang benar, ada campur tangan Kak Revan di balik pernikahanku. Aku harus mencari tahu sendiri."

***

Mobil mereka telah sampai rumah,  Ilham telah menjemput Ima dari rumah mamanya, dan Ilham langsung menjemput sepulang dari kantor, karena memang ada hal penting juga yang ingin ia bicarakan.

"Kamu udah mendingan ‘kan, malam ini bisa kita makan di luar?"

"Eh gimana maksudnya, makan malam?"

"Iya, soalnya aku harus ajak kamu juga."

Hati Ima langsung bersorak ria, ini pertama kalinya Ilham mengajaknya makan di luar. Tentu saja ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, siapa tau suaminya punya kejutan untuknya seperti yang ia lihat di sinetron.

"Ya sudah, Ima mau ganti pakaian dulu."

Ima langsung berlari menuju kamarnya, Ilham hanya bisa menggeleng.

"Tiba-tiba sekali dia jadi ceria," gumamnya sambil menyusul Ima.
Beberapa menit berlalu, Ima sudah dandan dengan cantik dengan  memakai dress berwarna maron, membuat warna kulitnya semakin terlihat cerah.

"Ayo Kak, Ima sudah siap," ucapnya sambil menunjukkan penampilannya, Ilham yang sedari tadi sudah selesai lebih dulu dan memutuskan menunggu di ruang tamu langsung terpana. Bahkan wajah pucatnya sudah tidak terlihat lagi, Ima benar-benar sangat cantik. Ilham menelan ludah dengan paksa, ia merasa gugup sekarang, dadanya terasa berdesir sekarang.

"Kak, ayo! Kenapa diam?"

"Baiklah, ayo berangkat!"

Ima sudah lebih dulu melangkah sedangkan Ilham berada di belakangnya. Mendadak jadi tak bisa berkata-kata.

Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan, hanya musik yang menemani perjalanannya. Ima tidak mempedulikan itu, yang jelas sekarang hatinya kian berbunga, membayangkan ia akan makan malam berdua dengan suaminya, sungguh ini akan menjadi momen yang sangat romantis.

Restoran itu terlihat mewah, jelas jika ini tempat mahal, Ima hanya tak menyangka jika Ilham mengajaknya ke restoran semewah ini, makin terharu ia. Ternyaya di balik sakitnya ini, ada hikmahnya juga. Suaminya jadi makin perhatian, bahkan romantis.

"Selamat Malam Om, Tante." Ilham mencium tangan kepada kedua orang tua itu, senyum Ima yang sejak tadi tertampang langsung menghilang. Ternyata bukan cuma berdua tetapi, ada orang lain juga, dan yang mengejutkan untuknya di sini juga ada Mita. Seketika Ima merasa begitu kecewa, bahkan untuk bernafas saja rasanya begitu berat.

"Ima ayo salam dulu!" Perintah Ilham. Ima pun mengikuti perintah suaminya, dan mereka tersenyum ke arahnya.

"Senangnya kita bisa bertemu lagi, Ilham. Ayo duduk, kami sudah siapkan hidangan terenak untukmu," ucap lelaki itu.

"Terimakasih, Om, Tante sudah mengundang saya untuk ikut makan malam ini," jawabnya dengan sopan.

"Saya tidak salah bekerja sama dengan perusahaanmu, terimakasih Ilham."

"Berterima kasihlah pada putrimu, karena dia juga yang sudah membuat bisnis ini menjadi sukses."

"Kalian ini dari dulu memang cocok, sama-sama pintar." Timpal Ibunya Mita.

Ima sedikit terganggu dengan ucapan wanita ini, namun ia berusaha tetap biasa saja karena tidak mau mengacaukannya.

"Oh yah, Nak Ilham sudah menikah?" Ima diam, kemudian menoleh ke arah suaminya, ia berharap jika Ilham mengatakan sudah.

Ayo jawab iya Kak, aku ini istrimu aku mohon katakan.

"Saya..."

"Wah pastinya belum dong, kalau begitu ini pas banget, ma. Mita dan Ilham sama-sama sendiri, kita nikahkan saja mereka." Potong lelaki itu.

Ima langsung gerah mendengar ini, apakah mereka tidak melihat dirinya sekarang. Mengapa bertanya seperti itu, seharusnya mereka sudah bisa menyimpulkan bahwa wanita yang duduk di samping Ilham ini adalah pasangannya.

"Kak Ima izin ke toilet sebentar!" Dirasanya sudah tak tahan Ima segera berlalu dari sana.

"Oh ya, dia itu Adikmu, ya?" tanya wanita itu.

Ilham langsung syok begitu mereka mengira Ima adalah Adiknya, pantas saja tadi menanyakan ia sudah menikah atau belum, ternyata karena mereka mengira Ima ini Adiknya.

"Sebenarnya saya sudah menikah, dan wanita tadi adalah istriku, usia kami memang terpaut jauh makannya di mata orang kami seperti Kakak beradik."

"Jadi kamu sudah menikah, kenapa nggak bilang kalau dia istrimu? Jadi nggak enak begini, maaf Ilham saya tidak bermaksud seperti itu."  Ia sangat terkejut, apa lagi dengan perkataannya tadi yang sudah keterlaluan.

"Pantas saja istrimu langsung ke toilet, mungkin terganggu dengan perkataan kami tadi, sekali lagi kami minta maaf Ilham." Timpal wanita itu.

"Tidak apa nanti saya bisa jelaskan padanya, saya juga yang salah, karena tadi tidak langsung mengenalkan dia sebagai istri saya."

Ayah Mita menatap Ilham dengan tatapan sedikit tak percaya, padahal ia sudah mengidolakan Ilham untuk menjadi pasangan hidup putrinya namun, siapa sangka Ilham malah sudah menikah, dan lebih terkejutnya Ilham menikahi gadis yang masih cukup muda.

"Sudah, ayo kita mulai saja makannya!" Timpal Mita. Tanpa menunggu Ima kembali, mereka pun segera memulai makan malam, Ilham sendiri merasa tak nyaman sekarang. Mendadak mood nya memburuk, bukan satu, atau dua orang saja yang mengira Ima adalah Adiknya, jujur ini yang membuat ia frustasi, dan selalu inseckur.

Sementara itu, Ima keluar dari toilet langkah kakinya terhenti saat menyaksikan mereka yang sedang makan, niat hati untuk menghampiri kembali tak jadi. Ima rasa tidak seharusnya berada di sana, ia justru akan merasa sakit hati di tambah sang suami tidak mengakuinya sebagai istri.

Buang jauh-jauh ekspetasi untuk makan malam berdua, kenyataannya ia di bawa hanya untuk di sakiti seperti ini.

Ima memutuskan untuk kembali ke mobil, namun mobilnya di kunci dan ia tak bisa masuk. Alhasil ia memilih duduk di luar, sambil menunggu suaminya selesai. Pandangannya menatap jalan dengan kosong, perkataan kedua orang tua Mita masih terngiang di telinganya, dan ia merasa sedih sekarang.

Untuk menghilangkan kejenuhannya, Ima mengambil ponsel untuk menemani kesepiannya.

Beberapa puluh menit berlalu, terdengar langkah menghampirinya, dan Ima yang sudah bosan langsung mendongkak.

"Ima, kamu kenapa di sini? Aku tunggu kamu dari tadi, bahkan aku cari ke toilet, orangnya malah asyik main hp." Suara Ilham terdengar sedikit emosi.

Ima beranjak dari duduknya. "Ima tidak mau mengganggu makan malam kalian."

"Ya kalau kamu nggak mau gabung, setidaknya pamit dulu gitu. Nggak sopan banget main pergi aja."

"Ya sudah, maaf, " ucap Ima dengan lirih.

"Hanya maaf." Ilham mendengus kesal dan seketika Ia malah muak melihat Ima yang kini masih setia menunduk, sudah ia duga berbicara dengan bocah memang akan  seperti ini. 

***

  TBC

Maaf ya, updatenya seminggu hampir berapa kali hahah
Ok makasih yah votenya di tunggu lagi vomentnya.

Unconditional Marriage  (Akan Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang