"Ilham, Ima?" Panggil mamanya dengan suara lemah. Ima segera mendekat begitu juga Ilham.
"Iya, ma."
"Akhirnya kita bisa berkumpul seperti ini, setelah hari lalu mama tahan," ucap mamanya menatap ke arah Ilham. Pria itu masih merasa bersalah.
"Maaf, sudah membuat semuanya kacau," ucap Ilham.
"Ini bukan salahmu, Nak. Ini salahku, alasan mama Ingin bertemu kalian berdua untuk membahas soal rumah tangga kalian."
"Sudahlah, ma. Mama tidak usah memikirkan masalah rumah tangga kami, nanti kami akan selesaikan sendiri, mama fokus dengan kesehatan mama saja."
"Nak, ini harus segera di selesaikan, sebelum nanti mama pergi." Perasaan Ima langsung sedih. Entah, rasanya takut kalau orang sakit bicaranya sudah kemana-mana.
"Memangnya mama mau kemana? Jangan nakut-nakutin, Ima!" Matanya sudah berkaca, digenggamnya dengan erat tangan itu. Sedangkan mamanya hanya bisa melempar senyuman.
"Ilham, mama tau ini sebenarnya berat untuk kamu. Bahkan, kamu rela menghabiskan waktu untuk berada di pernikahan tanpa cinta, mama pikir kamu perlahan akan menyukai Ima juga, tetapi ternyata kamu memang tidak akan pernah bisa."
Ilham semakin merasa bersalah sekarang, seharusnya soal ini tidak boleh diketahui mertuanya.
"Dan, kamu, Ima. Mama tau, kamu memang sangat mencintai Ilham. Tetapi, kalau memang dia tidak menyukaimu, kamu harus terima, tidak semua apa yang kita inginkan harus didapatkan."
Ima sudah meneteskan air matanya, andai saja mamanya bicara ini di awal mungkin ia tidak akan menikah dengan Ilham.
"Sekarang, mama tidak akan ikut campur lagi, mama serahkan kepada Ilham juga Ima. Kalau memang pernikahan ini tidak akan ada perubahan, maka silahkan ambil keputusan untuk lanjut atau tidak, mama cuma ingin pergi dengan tenang tanpa merasa bersalah dengan kalian berdua." Air mata beliau sudah menetes, sebenarnya sedih mendengar keretakan rumah tangga putri tercintanya, tetapi ini juga memang salahnya, ia yang selama ini seolah menjadi dalang dari kisah mereka.
"Saya tidak akan menceraikan Ima, walau mungkin saya sudah sangat mengecewakan Ima. Tetapi, saya akan berubah, saya akan memulai dari awal lagi, saya akan mencintai Ima, menyayanginya tanpa desakan dari siapa pun, saya akan dengan tulus melakukannya." Jelas Ilham dengan lantang. Senyum di bibir mamanya tertampang, begitu senang mendengar ini.
Sedangkan Ima, dia seakan ragu. Selama ini Ilham selalu tidak konsisten dengan ucapannya, apa harus dipercaya kali ini.
"Syukurlah, kalau memang begitu, mama sangat bahagia. Karena, sejujurnya mama memang tidak menginginkan kalian berpisah, mama sudah begitu percaya kamu, Ilham. Semoga saja dengan kalian memulai dari awal akan mengubah segalanya." Karena begitu terharu sampai-sampai mamanya menangis, dengan ini dia bisa pergi dengan tenang.
Ima tidak mengeluarkan sepatah kata pun, dia hanya diam sambil menggenggam tangan mamanya, entah apakah ini cara Ilham untuk menyenangkan mamanya atau memang serius.
***
Setelah pembicaraan selesai, Ilham dan Ima kembali memutuskan untuk pulang. Ima sendiri masih diam saja tengah berperang dengan pikirannya
"Ima?" Panggilnya.
Ima menoleh ke arah Ilham."Kita sudah sampai, ayo turun!"
Ima melihat kesekitar, karena begitu asyik dengan pikirannya sampai dia tidak sadar kalau sudah sampai rumah."Baiklah." Ima menjawab dengan singkat lalu segera turun dari mobil, tak lama di susul oleh Ilham.
Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, tetapi keduanya belum ada yang tertidur, Ima sedang duduk di tepi jendela menatap ke arah luar, membiarkan angin malam menghembus ke tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Marriage (Akan Diterbitkan)
RomansaCinta masa kecilnya kepada lelaki seusia Kakaknya, yang kini berlanjut saat Ima sudah beranjak dewasa. Ima menagih janji Ilham untuk menikahinya. Sementara usia Ima terbilang masih cukup muda. Namun tidak membuat Ima menyesal akan keputusanya untuk...