17. Menyentuhmu

6.6K 258 14
                                    

Siang ini sedikit cerah, tetapi tidak secerah hatinya, setelah berpikir untuk tetap diam di rumah mamanya ternyata itu malah membosankan baginya.

Ima memutuskan untuk pergi ke Kafe tempat biasanya mencoba melupakan malam itu, ia juga butuh ketenangan, butuh waktu untuk menerima segala kenyataan ini, soal ke depannya biar Tuhan yang atur saja.

"Hai, Ima!" Ima menoleh ke arah suara itu.

"Rian?"

"Bagaimana kabarmu? Senang bisa bertemu lagi denganmu di sini." Rian tersenyum. Ina tidak mengerti mengapa di setiap ia sedang sedih pasti lelaki ini selalu tiba-tiba muncul.

"Alhamdulillah, baik, kamu sendiri?" ucap Ima.

"Beberapa hari ini aku tidak baik-baik saja." Raut wajah Rian terlihat berubah.

"Kenapa?" tanya Ima dengan penasaran.

"Karena aku tidak bertemu denganmu, tetapi sekarang aku sudah baik-baik saja karena bisa bertemu denganmu lagi." Sambil tersenyum.
Ima sedikit terkejut dengan perkataan Rian, tetapi ia juga tidak ingin terlalu menanggapi dengan serius.

"Maaf ya, aku belakangan ini lagi fokus memperbaiki rumah tanggaku."

"Tidak apa, aku malah kepikiran soal itu, dan merasa ini salahku, apa kamu dan suamimu sudah baikkan?"

"Sudah aku bilang ini bukan salahmu, kami sudah baikkan kok." Dustanya.

"Syukurlah, jadi aku tidak perlu datang ke rumahmu untuk menjelaskannya."

"Oh ya, boleh ‘kan aku duduk di sini?"

"Boleh dong, toh ini ‘kan bukan tempat milikku, masa aku larang kamu duduk di sini."

"Ya, maksudku, aku cuma takut aja nanti ada orang yang diam-diam foto in kita lagi."

"Sudah, tenang saja."

Karena suamiku juga tidak mungkin cemburu, toh dia ‘kan punya Mita.
Rian dengan setia menemaninya membahas apa pun yang membuat Ima menjadi senang, sungguh Ima merasa begitu beruntung mendapat teman seperti Rian yang baik hatinya, andai saja Ilham yang seperti ini mungkin hidupnya akan selalu berwarna.

***

Setelah berbincang dengan Rian, Ima memutuskan untuk kembali pulang, tetapi bukan ke rumahnya, melainkan ke rumah mamanya lagi, karena ia sudah bilang bahwa hari ini akan menginap di sini.

"Sudah me timenya?" Ima terpelonjok kaget begitu melihat sang mama yang tengah duduk di ruang tamu.

"Ih mama, bikin kaget aja." Seraya mendekati sang mama.

"Oh ya, jadi untuk menginap di sini?"

"Jadi dong ma, ini buktinya Ima pulangnya ke sini."

"Baiklah, suamimu mau menginap juga nanti?"

"Nggak tau ma, lihat aja nanti Kak Ilham menyusul apa nggak."

"Ya sudah kalau begitu, jujur mama juga senang banget kamu di sini, dulu mama pikir setelah menikah kamu dan Ilham akan memilih tinggal di sini eh ternyata langsung pindah." Terlihat raut wajah sedih. Ima juga berat sebenarnya berjauhan dengan sang mama, bahkan kalau bisa ia ingin terus tinggal satu rumah.

"Ima minta maaf ya, ma. Jika saja Ima tidak memaksa mama untuk menikahkan Ima dengan Kak Ilham saat itu, mungkin sekarang Ima masih tinggal di sini sama mama, jujur Ima menyesal, ma." Ima berubah menjadi sendu ia menunduk.

"Eh kok gitu? Mama memang merasa kehilangan kamu, tapi ya mau bagaimana lagi, 'kan sudah seharusnya begitu kalau anak perempuan sudah menikah ya di bawa suaminya, kamu menyesal karena apa, Nak?"

"Menikah dengan Kak Ilham."

"Kamu ini kenapa sih, Nak? Bukannya kamu cinta sama dia dan kamu juga yang menggebu ingin menikah dengannya. Kenapa malah menyesal?"

Ya aku mencintainya, dan aku juga yang paling menggebu selama ini, karena itulah aku merasa menyesal. Sebab, tak ada balasan yang ku terima.

"Ya, Ima cuma menyesal aja nikahnya cepat ma, kenapa nggak nunggu nanti aja kalau sudah dewasa, Ima tuh pengen bahagiain mama dulu." Ima sengaja mengalihkan supaya sang mama tidak berujung curiga.

"Nggak ada yang perlu di sesali, Nak. Kalau keputusan itu mengarah kepada sesuatu yang baik, ya harusnya kamu syukuri, pokoknya melihat kamu bahagia dengan suamimu sudah membuat mama bahagia." Seraya menggenggam tangan anaknya.

Perkataan mamanya memang ada benarnya juga, ia harus bersyukur karena keinginannya selama bertahun-tahun terkabulkan. Tetapi, apa arti semuanya ketika keinginannya terkabul namun tidak sesuai ekspetasinya.

"Ima?"

"Iya, ma." Ima menatap mamanya.

"Bisakah kamu kabulkan keinginan mama?"

"Apa pun yang mama inginkan Ima pasti akan kabulkan." Seraya tersenyum.

"Mama ingin cucu." Ima terbelalak dengan permintaan Ibunya.

"Nggak ada keinginan mama selain itu?"

"Kenapa? Katanya apa pun akan kamu kabulkan, ya mama cuma mau kamu segera berikan mama cucu, mama itu ingin melihat rumah tanggamu semakin bahagia dengan adanya buah hati, lagi pula usia suamimu itu sudah pantas untuk menjadi Ayah."

Ima terdiam sejenak, ia perlu berpikir untuk hal ini, karena ini tidak mudah perlu ada kesepakatan antara dua pihak. Sementara selama ini Ilham bahkan tidak pernah menyentuhnya, jangankan menyentuh mencium saja tak pernah.

***

Setelah pembicaraan bersama mamanya, Ima merasa semakin sedih, niat hati pergi ke rumah mama untuk menenangkan pikiran, tetapi malah menambah pikirkan, di tambah tidak ada kabar dari sang suami.

Unconditional Marriage  (Akan Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang