Ima tengah berada di dapur, wajahnya frustasi karena telur ceplok buatannya untuk ke sekian kalinya harus terbuang karena gagal dan gagal lagi, Ima sudah berusaha bersabar yang ada malah telur itu mementalkan sesuatu ke pipi mulusnya sontak membuat Ima malah meringis dan menjerit sekaligus kesakitan."Huah panas!" Ima mengusap pipinya.
"Kenapa Ima?" Ilham yang baru saja datang menghampiri Ima, menatapnya dengan khawatir.
"Pipi Ima panas," ucapnya seraya memegang pipinya yang sudah kemerahan, Ilham segera mematikan kompor.
Lalu membawa Ima agar segera duduk, kemudian Ilham berlalu meninggalkannya. Ima sendiri tidak tau mengapa Ilham malah pergi, ia masih meringis karena panas.
Setelah itu, Ilham sudah kembali lagi dengan membawa benda di tangannya."Mana coba aku lihat!" Pinta Ilham seraya menarik tangan Ima yang sedari tadi menutupi pipinya.
"Ima nggak mau di obati." Wajah Ima pucat dia ketakutan.
"Ima, kalau tidak di obati nanti malah jadi parah."
"Tapi ... " Ilham berhasil melepas tangan Ima yang sedari tadi terus menutupi pipinya, sejenak Ilham membuang nafasnya dengan kasar sementara Ima tidak berani menatap Ia masih menunduk, membiarkan Ilham mengobati lukanya, tidak menunggu lama Ilham sudah mengoleskan gel di pipi Ima, gegara belajar memasak Ima malah jadi terluka.
"Lain kali kalau mau masak telur, apinya jangan terlalu besar." Ima menunduk.
Tuh kan di kritik lagi jadi semakin tidak meyakinkan di mata Kak Ilham. Ima merutuki kebodohannya.
"Tadi juga nggak besar kok, dasar telurnya aja yang nakal."
Ilham malah tersenyum mendengar ucapan Ima, entah kenapa Ilham merasa ada kelucuan saat mendengar perkataan yang di lontarkan oleh Ima, Ima terdiam menatap suaminya yang tersenyum begitu indahnya.
"Kakak senyum?"
"Hm. Oh ya biar aku saja yang memasak." Ilham mengalihkan pembicaraan, sepertinya lelaki itu memang tak suka jika Ima bertanya seperti itu, Ima mengerucutkan bibirnya sementara Ilham kembali menyalakan kompor dan mengubah lagi masakkan dengan yang baru, Ima hanya diam di kursi seraya melihat suaminya yang tengah memasak.
Ima merasa kalah dengan laki-laki, seharusnya ia sebagai perempuan bisa memasak, mungkin gara-gara selama ini ia selalu di manjakan makannya Ima jadi serba tidak bisa, andai saja waktu bisa di putar kembali Ima pasti tidak akan seperti ini mungkin ia akan jadi gadis yang hebat dalam berbagai hal.
"Jangan mencoba memasak telur lagi! Masaklah makanan yang lain." Ilham menyimpan hidangan yang tanpa Ima sadari sudah jadi, dan kini berada di depannya, hidangan omlete makanan kesukaannya.
Ima tersenyum manis. "Wah Kak Ilham hebat juga, Ini kan makanan kesukaan Ima!"
"Kalau kamu suka cepat makan!" Perintah Ilham dengan datar.
"Iya, dengan senang hati." Ima segera mengambil omlete nya lalu menyantapnya dengan lahap, Ima mengunyahnya dengan pelan seakan menikmati dengan apa yang sedang ia makan, kelembutan kini terasa di lidahnya, ini sangat enak bahkan lebih enak dari omlete buatan Mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Marriage (Akan Diterbitkan)
RomanceCinta masa kecilnya kepada lelaki seusia Kakaknya, yang kini berlanjut saat Ima sudah beranjak dewasa. Ima menagih janji Ilham untuk menikahinya. Sementara usia Ima terbilang masih cukup muda. Namun tidak membuat Ima menyesal akan keputusanya untuk...