Mobil sudah terparkir di halaman rumahnya, tanpa kata lagi Ima keluar terlebih dahulu dari mobil lalu berjalan begitu saja menuju rumahnya. membuat Ilham kebingungan dengan sikap Ima yang mendadak seperti itu.
Sesampainya di kamar, Ima langsung menyimpan tasnya tak lupa menghapus riasan di wajahnya. Ia sampai berdandan secantik mungkin karena bayangannya malam ini akan ada makan malam yang sangat istimewa, ternyata itu hanyalah angannya saja. Kecewa? Ya, ini sangat mengecewakan untuknya.
Setelah berganti pakaian, ia segera menaiki ranjangnya tanpa peduli Ilham mau menyusulnya atau tidak. Ia tak terima di marahi seperti tadi, seharusnya Ilham paham mengapa ia sampai tak mau bergabung lagi, Ilham memang tidak pernah mengerti perasaannya.
"Ima?" Panggil Ilham ternyata ia menyusul Ima ke kamar.
"Ima mau tidur, capek." Ima menjawab dengan dingin, setelahnya ia segera menarik selimut bahkan tak mau melihat suaminya.
Ilham tidak menanggapi, pikirnya mungkin Ima memang masih belum sembuh total, makannya kelihatan capek seperti itu. Ilham segera mengganti pakaiannya, tetapi mengingat perkataan orang tua Mita tadi, mungkin itu yang membuat Ima jadi bad mood.
"Mereka tidak tau jika aku sudah menikah, dan mungkin Mita juga belum bercerita, jadi jangan pikirkan perkataannya tadi, karena mereka juga sudah meminta maaf begitu tau kamu istriku."
Ima yang masih membuka mata tentu mendengarkan perkataan suaminya, tetap saja ia merasa kesal dengan mereka, karena semudah itu mengatakan akan menikahkan suaminya dengan Mita. Sekaan memang sengaja ingin membuatnya panas, dan Mita juga diam saja tidak ada kata apa pun seolah memang mau jika dinikahkan dengan suaminya.
"Ima, apa kamu mendengarku?"
"Hm." Dengan malas.
Ilham hanya bisa menghela nafasnya dengan kasar.
Tanpa di duga Ilham menaiki ranjangnya, Ima pikir Ilham tidak akan tidur di kamar lagi malam ini tetapi ternyata lelaki itu akan tidur di sini.
Hening
Lama dengan keheningan, dan Ima juga masih dengan posisi membelakangi suaminya. Sampai akhirnya ia penasaran, apakah suaminya telah tidur atau tidak. Dengan gerak perlahan ia berbalik sampai akhirnya kedua matanya terbelalak, rupanya sang suami belum tidur, dan sedang bermain ponselnya sambil bersandar.
"Katanya mau tidur?" tanya Ilham. Ima kembali berbalik, dan menarik selimut sampai kepala, kembali memejamkan mata dengan detak jantung yang tak beraturan.
Ilham tak sepenuhnya fokus dengan ponsel, sesekali ia menoleh ke arah Ima, mengamati gadis itu. Sebenarnya ia juga merasa tak enak dengan Ima, wajar kalau Ima marah mendengar perkataan orang tua Mita, ia pun tidak tau kalau akan ada pertanyaan semacam itu.
***
Ima sudah sibuk di dapur untuk menghidangkan sarapan untuk suaminya, walau dia bukan istri yang bisa di andalkan dalam hal memasak, tetapi akan berusaha untuk terus belajar, akan tidaknya Ilham menghargai usahanya ini ia tak peduli.
"Siapa yang menyuruh kamu masak?"
Suara itu mengejutkannya, dan ia yang sedang memindahkan nasi goreng ke piring langsung terhenti. Walau hatinya selalu di lukai, tetap saja ia akan belajar menjadi istri yang baik.
Tetapi, dengan pertanyaan itu Ima menyimpulkan jika Ilham tidak suka dengan apa yang sedang ia kerjakan. Ima mengurungkan niatnya untuk memindahkan nasi goreng itu ke piring.
"Aku bertanya, bukan berarti aku tak suka." Ima kembali menatap suaminya.
"Pertanyaan Kakak tadi seolah melarangku memasak, aku tau masakanku pasti selalu ada minusnya, tetapi aku harap Kakak mau memakannya."
"Ya, tentu saja aku pasti akan memakannya, ayo tuangkan!" Yang kini sudah duduk sambil memegang piring, dan meminta Ima untuk menuangnya.
Kenapa kami seperti bunglon, Kak. Kadang dingin, marah-marah juga baik. Aku bahkan tidak bisa membencimu.
Ima mengikuti perintah suaminya, dituangkannya nasi goreng itu, dan dengan lahap Ilham menyantapnya. Melihat pemandangan ini sungguh menyenangkan hatinya.
"Kamu nggak sarapan?" tanya Ilham.
"Aku nanti saja, Kak."
"Kamu harus sarapan sekarang!"
Ima pun mengambil bagiannya, dan menyantap nasi goreng yang menurutnya lumayan enak, walau pun tak seenak nasi goreng buatan mamanya. Tetapi dari cara Ilham menikmati makanannya, menandakan bahwa Ilham juga merasakan enak, Ima merasa bangga pada dirinya pagi ini.
Setelah selesai sarapan, Ima mengantarkan Ilham sampai depan pintu, seperti biasa tidak ada cium kening hanya cium tangan saja kini sang suami telah pergi bersamaan dengan mobilnya.
"Sampai kapan terus begini? Aku sudah mulai lelah dengan pernikahan semacam ini," gumam Ima dengan raut wajah sendunya.
Setelah menutup pintu, Ima kembali ke meja makan untuk membereskan piring dan gelas kotornya, namun terdengar dering ponsel di meja, ternya itu ponsel milik suaminya. Keraguan tengah menghampirinya, selama ini ia tidak pernah lancang dengan barang milik suaminya itu, tetapi saat ini tiba-tiba ia penasaran dan ingin mengetahui apa saja yang ada di dalamnya.
Ima mengambil ponsel itu, dan panggilan dari nomor tak di kenal itu telah berakhir. Layar masih menyala, tetapi ada polanya, entah keberuntungan atau apa, Ima dengan asal membuat pola huruf L, dan ternyata kunci berhasil di buka. Ia tak menyangka suaminya semudah itu membuat pola di ponselnya.
Jantungnya semakin berdetak kian cepat, di sertai ras takut. Ia tau sekarang tidak ada Ilham di rumah, tetapi rasanya sedang ada yang mengawasi. Dengan berani, Ima membuka tempat pesan di sana, dan kebanyakan rekan kerjanya tidak ada yang mencurigakan sama sekali, bahkan ketika ia mencari nama Mita tidak ada di sana, entah sudah di hapus atau memang jarang mengirim pesan dengannya. Ima sedikit tenang, berarti dugaannya selama ini salah ternyata Ilham tidak pernah berencana mengkhianatinya. Mungkin memang hanya sebatas teman saja dengan Mita.
Kemudian tangannya kembali terulur membuka sebuah galeri di sana, dan ternyata hanya sedikit lelaki itu menyimpan foto bahkan fotonya sendiri pun tidak ada, kebanyakan foto-foto qoutes dan yang masuk dari grup, tetapi Ima masih belum puas dengan ini, ia terus scroll sampai akhirna muncul sebuah foto paling bawah yang mampu menusuk hatinya.
Ilham dan Mita saling berhadapan lalu tangan Mita bergelayut manja di leher suaminya, kelihatannya foto lama, tetapi mengapa masih di simpan sampai saat ini. Sejenak tubuhnya mendadak lemas melihat ini, matanya pun sudah berkaca-kaca.
Ima sudah mengingat soal Mita, jadi wanita itu dulu pernah di ceritakan Ilham pada Kakaknya, dan ia tidak sengaja mengupingnya, dan ternyata wanita itu adalah cinta pertama Ilham. Tetapi Ima tidak tau kelanjutannya apakah keduanya menjalin hubungan atau tidak.
"Ima, apa yang kamu lakukan dengan ponselku?" Suara itu mengejutkannya sampai ponsel Ilham terjatuh. Kedatangan Ilham begitu tiba-tiba sampai ia tak menyadarinya, Ilham menatap dengan garang rahangnya mengeras.
"Ma... maafkan Ima Kak, Ima tidak sengaja." Suaranya terbata serta menahan untuk tidak menangis.
Ilham mengambil ponselnya, untung saja tidak kenapa-napa.
"Sejak kapan kamu menjadi lancang seperti ini? Bukankah sudah aku tegaskan, jangan pernah menyentuh ponselku!" Bentak Ilham dengan marah.
Dia tak masalah dengan ponselnya jika pun sampai rusak, tetapi di sini ia marah karena Ima yang sudah sangat lancang. Ima menunduk ia begitu takut dengan bentakan suaminya itu.
"Ima minta maaf, Kak, tadi Ima ..."
"Dengar Ima, jangan pernah menyentuh ponselku lagi! Kita memang suami istri, tetapi kita juga harus punya privasi, ngerti kamu?"
Ima hanya bisa mengangguk, dengan tubuh yang sudah bergetar hebat, ia tak tahan lagi ingin menangis, bukan karena bentakan saja tetapi mengingat foto mesra suaminya dengan wanita itu.
Ilham tampak kesal, dengan segera ia berlalu pergi, membuat Ima langsung terisak, dadanya sesak, dan ulu hatinya terasa di tusuk-tusuk. Ia menangis dengan keras, entah ini adalah kesakitan yang kuberapa, yang jelas tangisan ini adalah tangisan dari kesakitan yang selama ini ia pendam.
"Kenapa Kak? Kenapa kamu menikahiku, kalau ternyata kamu belum selesai dengan masa lalumu? Ya Tuhan, ini terlalu sakit untukku."
Ima sampai terduduk di lantai, hanya bisa menangis untuk melampiaskan rasa sakit di hatinya. Isakkan yang keluar dari mulutnya terdengar sangat menyayat hati.
Sementara itu, Ilham menyetir dengan sedikit emosi, Ia kesal kepada Ima yang dengan lancang menyentuh ponselnya. Tadi, ia ingin menghubungi orang kantor, tetapi ternyata ponselnya tidak ada, dan untungnya belum terlalu jauh, alhasil ia segera putar balik untuk mengambil ponsel, dan tidak menyangka Ima tengah asyik membuka ponselnya.
***
Setelah sedikit tenang, Ima memutuskan untuk pergi ke rumah Ibunya, dan kini ia sudah sampai di sana. Namun, sedari tadi yang di lakukannya hanya diam seribu bahasa membuat mamanya sangat penasaran dengan tingkah putrinya yang tiba-tiba murung seperti ini.
"Kamu kenapa, Nak?" Pertanyaan itu malah membuat Ima semakin menekuk wajahnya.
"Ima mau menginap di sini boleh nggak, ma?" Ima berkata dengan nada sendu.
"Boleh dong sayang, tetapi kamu sudah izin sama suami kamu?"
"Sudah ma, dan dia mengizinkan." Dustanya.
"Tetapi, kalau boleh tau, kenapa tiba-tiba mau menginap? Kamu sedang tidak berantem ‘kan dengan Ilham?"
"Ima tuh rindu kumpul sama mama juga Kakak di sini , makannya mau menginap supaya sedikit mengobati rindunya."
"Hm begitu, ya sudah kalau sudah dapat izin mama bolehin menginap di sini."
"Terimakasih, ma." Ima sampai memeluk mamanya.
"Ya ampun sesenang itu kamu, Nak."
Mamanya hanya bisa tersenyum sambil mengelus punggung Ima, sedangkan Ima kembali menangis di pelukan mamanya.
Setelah itu, Ima berpamitan untuk melihat kamarnya dengan alasan ingin bernostalgia, dan mamanya pun membiarkan Ima ke kamarnya.
Dalam keheningan ia kembali teringat tentang foto itu, dan lagi-lagi membuatnya sangat sedih.
Apa kak Ilham selamanya akan menjadi milikku? Atau, dia akan kembali dengan masa lalunya? Tuhan, aku sudah lelah mengharapkan sesuatu yang bukan untukku, kalau memang dia bukan jodohku maka pisahkan saja Tuhan, aku ikhlas.***
TBC
Vote+coment di tunggu yaa. Karena hanya itu yang membuat author semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Marriage (Akan Diterbitkan)
RomanceCinta masa kecilnya kepada lelaki seusia Kakaknya, yang kini berlanjut saat Ima sudah beranjak dewasa. Ima menagih janji Ilham untuk menikahinya. Sementara usia Ima terbilang masih cukup muda. Namun tidak membuat Ima menyesal akan keputusanya untuk...