Ima tengah menonton siaran televisi, jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sementara Ilham belum juga pulang membuat Ima merasa begitu kesepian, bahkan camilan yang ia beli tadi setengahnya sudah habis, duduk berbaring lalu berdiri duduk lagi dan berdiri terus seperti itu, bahkan acara TV sudah tidak menarik lagi baginya.
Hingga matanya malah terasa begitu berat seakan ada benda yang tengah menimpa matanya saat ini, hingga Ima memilih berbaring di atas sofa perlahan Ima memejamkan matanya hingga tidak ada lagi pergerakan di sana sudah di pastikan Ima telah pergi ke alam mimpinya.
Beberapa menit kemudian Ilham pulang, Dia tampak terkejut dengan pemandangan di depannya. Meja tamu sangat berantakan dan kotor, Ilham sempat menggelengkan kepalanya, ada sampah plastik makanan ringan tak lupa juga beberapa bubuk kripik yang sudah berserakan di lantai, ini pasti tikus besar yang sudah membuat ruang tamunya berantakan.
Di lihatnya Ima yang tengah terlelap di atas sofa, meringkuk seperti janin yang berada di dalam kandungan, gadis itu sama sekali tidak merasa keberatan dengan posisi tidurnya terlihat begitu nyaman untuknya.
"Dasar tikus nakal, dia bilang akan berubah tapi masih saja kekanakkan." Ilham menggerutu kesal, Ia mengambil satu persatu plastik dan camilan yang tergeletak, membersihkannya sampai bersih.
Setelah dilihatnya bersih, Ilham segera menuju Ima gadis itu bahkan masih lelap dengan tidurnya.S
ejenak ia menatap wajah Ima, wajah yang kenyataannya tidak pernah berubah dari kecil wajah cantik dengan kulit putih, bibir yang tipis membuat Ima terlihat begitu manisnya yang selalu membuat Ilham remaja merasa tenang.
Tetapi ternyata sekarang ia bahkan tidak merasakan itu, Ilham tidak merasakan getaran apa pun jika di dekat Ima ini memang aneh, dan Ilham juga tidak mengerti dengan perasaannya.
Dengan penuh hati-hati karena ia tidak mau Ima sampai terbangun, Ilham mendekat menyelipkan salah satu tangannya ke punggung Ima.
"Hem nyam-nyam." Ima tampak sedang mengunyah dalam tidurnya, Ilham hanya diam sambil menatap Ima dari jarak dekat. Ilham kembali mencoba untuk mengangkat tubuh Ima tentunya dengan hati-hati.
"Kakak?" Ima malah terbangun saat Ilham sudah mengangkat tubuhnya, membuat Ilham malah terjebak dalam posisinya yang begitu dekat dengan Ima, Ilham mematung jantungnya berdetak cepat mulutnya tidak bisa berkata apa-apa seolah tatapan Ima membuat seluruh sarafnya lumpuh.
Dengan sengaja Ima malah mengalungkan kedua tangannya.
"Kakak mau apa?" tanya Ima dengan suara lembutnya. Ilham segera menurunkan Ima, membuat Ima terkejut.
"Aku pikir, kamu tidak akan bangun." Ilham sedikit terbata.
"Ya, padahal Ima senang banget di angkat sama Kakak tadi." Ima mengerucutkan bibirnya.
"Suruh siapa kamu bangun, jadinya aku turunkan lagi." Ilham berkata dengan ketus.
Ima kembali mengerucutkan bibirnya, lalu tatapannya tertuju kepada kantong plastik putih berukuran sedang di atas meja.
"Itu apa?" tanya Ima.
"Itu Pecel, entah saat pulang aku malah ke pikiran beli itu buat makan, karena aku yakin kamu pasti belum makan." Ilham segera membuka tali plastik itu lalu memperlihatkan kepada Ima.
"Wah Kakak ini baik banget deh, tau aja Ima lagi lapar bahkan camilan pun udah habis tapi perut Ima tetap saja lapar." Ima berkata dengan mudahnya tanpa memikirkan atas ulahnya memakan itu semua dengan sampah yang di biarkan berserakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Marriage (Akan Diterbitkan)
RomanceCinta masa kecilnya kepada lelaki seusia Kakaknya, yang kini berlanjut saat Ima sudah beranjak dewasa. Ima menagih janji Ilham untuk menikahinya. Sementara usia Ima terbilang masih cukup muda. Namun tidak membuat Ima menyesal akan keputusanya untuk...