13. Bermain perasaan

4.3K 228 8
                                    


Pagi telah tiba dengan perasaan yang sama yaitu masih terluka. Setelah semalam Ilham berbicara di teleponnya membuat Ima sampai tidak bisa tidur, bahkan sampai menunggu sang suami kembali, namun sampai pagi lelaki itu tak lagi masuk kamar. Ima hanya bisa menunggu seorang diri dengan hati yang begitu perih.

Sekarang ia sadar, bahwa sejak awal memang hanya ia yang cinta sendiri. Sedangkan Ilham memang hanya  menganggapnya sebagai Adik tidak lebih, dan menerima balasan cinta dari seorang Ilham kini mustahil, karena lelaki itu sudah punya seseorang di hatinya. Jika terus dipikirkan tentu ini membuatnya semakin sedih, ia bahkan tak berani membahas itu, rasanya masih belum percaya tentang kenyataan pahit ini.

"Ima?" Suara itu mampu menyadarkan lamunannya, lelaki itu mendekat dengan ekspresi wajah yang seperti biasa. Ima menelan kesedihannya begitu saja, ia tidak mau Ilham mengetahui kesakitannya saat ini.

"Bagaimana keadaanmu?" Ilham duduk di tepi ranjang seraya menghadap ke arah Ima.

"Baik," jawab Ima singkat. Sejak tadi, ia memang tidak keluar kamar bukan karena berlarut dalam kesedihan saja, tetapi sedang tidak enak badan juga.
Tanpa di duga Ilham menempelkan punggung tangannya ke kening Ima, membuat gadis itu sampai terdiam seraya menatap sang suami. Seharusnya ia senang, tetapi sekarang rasanya hambar.

"Keningmu panas, wajahmu juga begitu pucat. Sebaiknya kita ke Dokter saja!"

"Tidak usah, Kak. Ima baik-baik saja."

"Apa kamu yakin tidak mau ke Dokter? Ini kamu demam, dan sepertinya gara-gara semalam."

"Nanti juga sembuh sendiri, ini bukan penyakit serius tidak perlu Dokter, Ima cuma butuh istirahat saja."

Dokter saja tidak mampu menyembuhkan sakit ini, karena kamu yang seharusnya mengobati luka dihatiku ini.

Lagi-lagi Ima hanya bisa membatin, karena tidak berani untuk mengatakannya.

"Aku tidak mau melihat kamu sakit, kita harus segera obati."

"Kakak tidak usah mengkhawatirkan aku, aku baik-baik saja kok, ini cuma demam biasa!"

"Bagaimana aku tak khawatir, ini juga atas ulahku semalam karena sudah menceburkanmu. Aku suamimu, dan apa yang terjadi padamu tentu aku yang harus bertanggung jawab."

Kamu memang suamiku, tetapi hanya ada dalam ucapanmu, kenyataannya kamu hanya menganggapku sebagai Adikmu.

Bukankah ini lucu, jika dia ingin di anggap suami sedangkan aku tidak pernah di anggap istrinya.

Ima memutar pandangannya, ia benar-benar tidak bisa jika terus menatap suaminya dan itu malah akan membuatnya terus sakit, bagaimana kalau ia tiba-tiba menangis, dan itu malah terlihat jika ia sangat lemah.

"Sebaiknya Kakak segera berangkat, nanti bisa terlambat jika terus mengurusiku,"

"Baiklah, kalau memang kamu tidak mau ke Dokter, tapi kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi aku!" Ima hanya membalas dengan anggukan.

Ilham tidak tega meninggalkan Ima dalam keadaan seperti ini, tetapi ia juga punya tanggung jawab di dalam pekerjaannya, jadi tentu itu juga sangat penting. Walau begitu ia akan sering menghubungi Ima nanti.

"Oh ya, ini aku kembalikan lagi kartu ATM-nya." Ima menatap kartu yang di berikan suaminya, entah kenapa Ilham kembali memberikannya, setelah hari itu ia menagihnya kembali.

"Ambillah." Tawar Ilham.
Ima menggeleng, membuat Ilham mengerutkan keningnya.

"Kenapa? Kamu harusnya senang Ima."

"Ima tidak mau, Ima belum pantas." Sejenak Ilham terdiam, mengamati raut wajah sedih istrinya.

"Kenapa kamu berkata seperti itu?"

Unconditional Marriage  (Akan Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang