Cuaca di siang ini cukup terik, Ima dan Ilham masih saling diam di dalam mobil, ini pertama kalinya mereka pergi berdua sesekali Ilham menatap Ima dan masih sama Ima sama sekali tidak menatapnya, lama-lama Ilham tak suka dengan segera ia memarkirkan mobilnya.
Ima terdiam, lalu tangannya membuka pintu mobil, belum sempat terbuka lebar Ilham langsung menahan tangannya hingga tak di sangka jarak keduanya sangat dekat.
"Mau kemana? Setelah diam dari tadi main keluar saja," tanya Ilham. Jantungnya berdetak cepat, jarak ini begitu dekat membuatnya sangat gugup.
"Bu... bukanya sudah sampai, Kak?" ucap Ima terbata, Ilham menyadari akan kegugupan Ima dengan segera ia menjauhkan tubuhnya.
"Lihatlah, ini tepi jalan kamu pikir kita mau jalan-jalan di sini."
Ima menyadari perkataan Ilham, dia menatap ke arah luar dan benar ini tepi jalan, tidak ada tempat wisata atau apa pun di sini.
"Maaf, tadi Ima memang sedang melamun." Ima menunduk sedikit membuang nafas dengan kasar.
Ilham diam kembali, dari raut wajah Ima sepertinya ia memang sedang tidak bersemangat, dan mungkin masih soal semalam.
"Jangan pasang wajah seperti itu, hari ini ayo kita habiskan waktu untuk jalan-jalan." Ilham kembali menyetir mobilnya, membuat Ima tidak berpaling muka dari suaminya, sejak pagi Ilham memang berubah bahkan, perlakuannya sedikit manis dari mulai mengobati jarinya, dan menyetujui untuk jalan-jalan ini hal yang tidak bisa di sangka, hari ini walau berat Ima akan mencoba untuk bersikap biasa.
"Kamu mau belanja apa?" tanya Ilham, Ima terdiam saat mobil ini berhenti di sebuah pusat perbelanjaan, ia tidak mengerti, kenapa Ilham membawanya ke tempat ini.
"Kamu bingung ya, kenapa aku membawamu ke sini?" Ima mengangguk."Untuk menyenangkanmu, selama ini aku tidak pernah memanjakanmu, sekarang belilah sesuatu yang kamu inginkan." Tentu ada maksud lain, yaitu untuk menebus rasa bersalahnya karena semalam.
"Tapi, Ima tidak ingin apa-apa."
Berdua denganmu saja aku sudah bahagia.
"Tapi aku memaksa." Ilham sudah membuka pintu, keluar lebih dulu dan di lanjut membukakan pintu untuk Ima. Lagi-lagi Ima hanya bisa menurut saja.
Dia senang Ilham memperlakukannya seperti ini, tetapi di sisi lain dia bingung dan bertanya-tanya, kenapa suaminya berlaku manis seperti saat ini? Tentu saja ini membuatnya penasaran.
"Pilihlah, jangan malu bukannya hobi kamu dari kecil Shopping."
"Tapi, itu dulu, Kak sekarang Ima nggak suka, sebaiknya kita pulang saja ya, Kak." Ima bahkan tidak berniat membeli apa pun.
"Belanja dulu, baru kita pulang."
"Tapi..."
"Sudah ayo!" Ilham berjalan lebih dulu, sedangkan Ima masih berdiri di tempat.
Ima kembali mengikuti suaminya, mengikuti setiap langkahnya, dengan perasaan yang masih tak karuan, kesal, marah, tetapi juga senang. Rasanya bercampur menjadi satu.
"Ilham?" Keduanya terdiam, terutama Ima yang langsung terkejut dengan suara itu. Keduanya menoleh bersamaan. Ima mulai tak tenang, begitu melihat siapa wanita di depannya itu.
"Mita, kenapa ada di sini?" tanya Ilham.
"Anu, aku... kebetulan aku sedang."
"Sayang?" Suara lelaki itu muncul bersamaan dengan orangnya, Ilham mengerutkan keningnya, begitu juga dengan Ima.
"Siapa dia sayang?" tanya lelaki itu yang kini sudah merangkul Mita.
"Dia rekan bisnis sekaligus sahabatku, namanya Ilham." Mita memperkenalkan Ilham kepada lelaki itu, dan langsung mengajak berjabat tangan kepada Ilham.
"Aku Dirga," ucapnya seraya melempar senyum.
"Ilham." Jawab Ilham seraya menerima uluran tangannya. Ilham masih bingung perkataan sayang itu masih menjadi tanda tanya apa hubungan keduanya.
"Apa dia pacarmu?" Tanya Ilham.
"Iya, dia pacarku." Mita menjawab dengan sedikit ragu, Ilham mendadak diam, rasanya begitu tak menyangka, ia pikir Mita masih sendiri karena gadis itu tidak pernah menceritakannya.
"Oh ya, Ilham, Ima kami duluan ya, soalnya masih ada banyak yang harus di beli." Mita menarik lelaki itu untuk berlalu dari hadapan mereka, dan Ilham hanya membalas dengan anggukan.
Ima yang melihat raut wajah suaminya, langsung berpikir bahwa Ilham mungkin saja cemburu melihat Mita dengan pria lain.
"Kak, kenapa malah diam?" tanya Ima.
"Tidak ada yang ingin kamu beli ‘kan? Ya sudah, ayo kita pulang saja." Mendadak dingin. Ima mengerutkan keningnya.
Ima masih berjalan di belakang suaminya, mengikuti langkahnya yang sedikit cepat. Mood suaminya mendadak buruk semenjak bertemu Mita dengan lelaki itu, apalagi namanya kalau bukan cemburu.
Di dalam mobil
Ilham masih belum berkata apa pun, hingga membuat Ima semakin kesal dan bingung. Kalau memang hanya teman, tidak mungkin akan seperti itu. Sedih sekali rasanya, harus melihat raut wajah seperti ini hanya karena gadis yang di cintai ya jalan dengan lelaki lain.
"Kak, sebenarnya Kakak kenapa? Apa Kakak sakit?" tanya Ima memecah keheningan.
"Tidak! " Ilham menjawab dengan dingin.
"Terus kenapa, Kak? setelah bertemu Kak Mita tiba-tiba Kakak begini."
Hening.
"Kakak cemburu, ya?" tanya Ima dengan berani.
Ilham menghentikan mobilnya dengan mendadak. Membuat tubuh Ima terdorong ke depan.
"Kak?"
"Jangan mengajakku bicara, dan dengar, aku tidak cemburu." Perkataannya cukup tajam.
Tetapi raut wajahmu tidak bisa berbohong, Kak.
Terdengar helaan nafas dari Ilham setelahnya ia kembali menjalankan mobilnya. Ima memutuskan menatap ke arah luar, perasaannya sekarang lebih sakit, dengan nada bicara seperti itu di pikir ia tidak tau, jelas sekali bahwa benar cemburu.
"Berhenti!" ucap Ima dengan tegas, dia bosan dengan keheningan ini. Kalau tau ujungnya seperti ini, tidak mau ia di ajak jalan suaminya.
"Aku bilang berhenti, Kak!"
Ilham pun menepikan mobilnya untuk berhenti. Ima sedang mengatur nafasnya, dia tidak bisa lagi tenang.
"Kalau nggak niat ajak aku jalan, ya sudah nggak usah, sudah baik aku di rumah mama saja tadi." Dengan kesal Ima mencoba membuka pintu, tetapi Ilham masih menguncinya, sehingga Ima langsung menoleh menatapnya dengan tajam.
"Bukain, aku ingin turun di sini!"
"Aku minta maaf."
"Kakak nggak bisa bohongi Ima, jujur saja benar bukan Kakak itu cemburu?"
"Kamu ini bicara apa? Sengajakah ingin memancing emosiku." Baru saja meminta maaf, kini sudah membentak lagi.
"Dari sebelum aku bertanya pun, Kakak sudah emosi melihat Mita dengan lelaki lain, Kakak mencintainya, makannya seperti itu, jujurlah tidak usah Kakak sembunyikan." Mata Ima sudah berkaca, entah mengapa rasa sakit semalam pun belum sembuh di tambah harus menyaksikan ini.
"Ya, aku memang mencintai Mita, aku berusaha melupakannya tetapi aku tidak bisa. Mita, hanya dia yang selalu ada di hatiku dan kamu benar, aku cemburu melihat Mita dengan kekasihnya itu, apa sudah puas dengan jawabanku?"
Deg...
Pada akhirnya semua terucap dari mulutnya, tanpa harus repot ia cari tahu. Air mata sudah membasahi pipinya, rasanya masih tak percaya dengan kenyataan bahwa suaminya memang mencintai Mita, dadanya sesak bahkan dunianya seakan runtuh.
"Terimakasih sudah menghancurkan hati ini, cinta sendiri itu sakit, Kak. Aku putuskan untuk menyerah."
Ima dengan emosi memukul kaca mobil, supaya Ilham membukanya.Karena tidak mau tangan Ima terluka ia pun membukanya, setelah itu Ima segera keluar dari mobilnya. Ilham masih mematung dia bahkan tidak berniat mengejar Ima, terbesit rasa penyesalan di hatinya. Betapa bodohnya ia, sampai mengatakan itu di depan Ima.
***
Ima tidak tau dengan kepergiannya ini apa keputusan yang tepat atau bukan, tetapi yang ia inginkan saat ini pergi jauh dari lelaki tak berperasaan itu, lelaki yang bertahun-tahun ia cintai dan sekarang melukai begitu saja.
"Kak, Kak Mita itu cantik ya?"
"Iya cantik."
"Kakak suka sama dia."
"Kamu anak kecil tau apa? Sudah, ayo kita pulang nanti Mama nyariin."
"Kak, Ima tidak tau seberapa cantiknya Kak Mita, Ima berharap suatu saat nanti Ima bisa mengalahkan kecantikan kak Mita, supaya Kakak menyukai Ima." ucap Ima dengan sendu, membuat Ilham malah tersenyum lalu mengacak rambut Ima dengan gemas.
"Kamu yang paling cantik Dek."
"Kalau begitu, kenapa Kakak tidak suka sama Ima?"
"Ya nggak bisa dong Ima kan Adiknya Kakak."
"Ima nggak mau jadi Adiknya kak Ilham, Ima mau jadi pacarnya Kakak." Ima mengerucutkan bibirnya.
"Astaga, dasar bocah menggemaskan, sudahlah ayo naik ke punggung Kakak kita harus pulang, kalau ngobrol terus kapan sampainya?"
"Iya deh." Ima langsung meloncat naik ke punggung Ilham.
"Kakak harus menyukai Ima ya, kalau Ima udah cantik nanti dan janji harus lupain Kak Mita."
"Iya, iya bawel halah bocah-bocah." Ilham tertawa sendiri, sementara Ima merasa senang karena Ilham menggendongnya.
"Hanya masa lalu." Gumam Ima. Dia menangis di dalam angkot, dia tidak bisa menahannya karena rasanya begitu sakit. Sebisa mungkin ia menahan Isakkan supaya tidak terdengar, untungnya penumpangnya tidak terlalu penuh sehingga ia bisa dengan leluasa nangis di pojokkan.
***
"Lo yakin, Ima nggak di sini?" tanya Ilham dengan panik.
"Iya dia nggak datang ke sini, memangnya Ima kemana?" Tanya Revan dengan bingung, lalu Ilham mengusap wajahnya dengan kasar.
"Maafin gue Van, nggak bisa jaga Adik Lo."
"Maksud Lo apa? Jangan-jangan Ima kabur!" Wajah Revan berubah murka.
"Gue pikir Ima pulang ke rumah Lo, makanya gue tenang ternyata sampai malam begini dia belum kembali."
"Pokoknya sekarang juga Lo harus cari Adik gua, ingat! Cari sampai ketemu kalau tidak gue benar-benar tidak bisa memaafkanmu." Revan begitu marah karena mendengar Adiknya menghilang. Ia tidak tau apa yang sedang terjadi, tetapi sepertinya ini adalah masalah serius sampai Ima pergi.
"Ok, gue pasti akan cari Ima, tetapi gue mohon jangan bilang sama nyokap Lo kalau Ima hilang."
"Ok gue nggak bakal bilang, ya sudah sekarang ayo kita cari dia." Untungnya keduanya bicara di teras depan sehingga tidak sampai terdengar ke mamanya.
Sementara itu, Ima tengah berada di Kafe tempat biasa ia kunjungi, entah sudah berapa jam ia duduk di sana, yang jelas sejauh ini perasaannya masih kacau air matanya sudah kering mungkin karena sudah terlalu lama ia menangis, sampai berhenti dengan sendirinya.
Perkataan suaminya masih terngiang-ngiang di telinganya saat dengan mudah berkata bahwa ia masih mencintai Mita, sungguh membuat hati Ima hancur berkeping-keping.
Banyak waktu yang ku buang selama ini, hanya untuk menunggu seseorang yang bahkan tidak mencintaiku. Kenapa jahat sekali kamu Kak, batinnya.
Ima menatap ke arah luar, dari siang sudah berganti malam, secepat itu bahkan tidak membuatnya merasa pegal berada di sini. Tetapi, ia tidak mungkin terus di sini, takutnya malah makin panjang urusannya, bagaimana kalau mamanya sampai tau bahwa ia tak pulang, pasti Ilham yang akan kena marah, dan ia tak mau itu terjadi.
Ilham sendiri masih di perjalanan menuju pulang pencarian Ima nihil tidak ia temukan dari mulai tempat yang tadi di kunjunginya namun Ima tidak ada disana. Ia pun bingung harus mencari kemana lagi, selama ini ia tidak tau dimana saja tempat persinggahan istrinya itu.
"Maafkan aku Ima, semoga kamu baik-baik saja."***
TBC
Jangan lupa Vote+coment dan follow.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Marriage (Akan Diterbitkan)
RomansaCinta masa kecilnya kepada lelaki seusia Kakaknya, yang kini berlanjut saat Ima sudah beranjak dewasa. Ima menagih janji Ilham untuk menikahinya. Sementara usia Ima terbilang masih cukup muda. Namun tidak membuat Ima menyesal akan keputusanya untuk...