Pagi ini Ima terbangun lebih pagi dari biasanya, membantu mamanya di dapur setidaknya dengan ini membuatnya bisa melupakan kejadian semalam.
"Ma?" Panggil Ima.
"Iya, Nak, ada apa?"
"Apa kisah cinta Mama dengan Ayah dulu bahagia? Pernikahan mama atas perjodohankan?" Mamanya menoleh sejenak, lalu kembali melanjutkan aktivitas memasaknya.
"Sangat bahagia, walau kami di jodohkan, tetapi perlahan bisa saling mencintai juga."
Mama saja yang di jodohkan bisa bahagai, kenapa aku tidak? Aku menikah atas keinginanku yang aku pikir kami saling mencintai, tetapi buktinya salah satu belah pihak tidak mencintaiku.
"Oh ya, kenapa kamu malah menanyakan itu?"
"Ima cuma mau tau aja, ma. Semoga saja Ima dan Kak Ilham juga bisa seperti kisah cintanya, mama," ujarnya dengan memasang raut wajah sendu.
"Itu pasti, Nak. Apalagi kamu dan Ilham menikah atas suka sama suka, mama jamin akan bahagia. Oh ya, buruan pikirkan soal keturunan, biar rumah tangga kalian tambah bahagia."
Ima langsung terdiam, kalau sudah membahas soal ini ia pun tidak bisa berkata-kata lagi.
Sementara itu, tanpa mereka sadari Ilham tengah menatap keduanya dari dekat pintu, Ilham mendengar semua percakapan Istri dan mertuanya, untung saja Ima tidak menceritakan dengan masalah yang sedang terjadi.
***
Mereka telah selesai sarapan, sejak tadi Ima maupun Ilham saling diam tidak ada yang memulai percakapan padahal, mereka duduk bersebelahan, membuat mamanya merasa ada yang aneh hanya saja ia tidak berani untuk menanyakan.
"Oh yah, sepertinya kami harus segera pulang, maaf, Ma sudah merepotkan," ujar Ilham.
"Ahh tidak apa, jangan sungkan, mama senang malah kalau kalian sering menginap disini." Seraya tersenyum.
"Senang gimana? Terus Mama tega buat anak Mama yang satu ini harus menelan ludah tiap hari jika melihat pasangan ini." Timpal Revan membuat Mamanya tertawa.
"Makannya, kamu juga cepat nikah, biar tidak menelan ludah tiap hari." Diiringi tawa. Mendengar itu Revan kembali bungkam, paling malas mendengar perkataan cepat nikah, bagaimana mau menikah pasangan pun tidak ada.
Ima dan Ilham hanya menyimak
Melihat Mama dan Kakaknya, padahal sebenarnya tidak ada yang pernah terjadi apapun di dalam rumah tangganya jadi apa yang Kakaknya pikirkan tidak akan pernah terjadi. Waktu itu hanya kebetulan dengan posisi seperti itu.***
Mereka berdua sudah berada dalam mobil, belum ada yang memulai percakapan begitu juga dengan Ima, dia memilih untuk diam membuat Ilham merasa ada yang berbeda.
"Aku turun disini saja!" Pinta Ima mobil berhenti dengan segera ia membuka pintu mobil.
"Kamu mau kemana? Kita bahkan belum sampai rumah," ucap Ilham, Ima menatap suaminya sejenak.
"Bukan urusan Kakak." Ima berkata dengan dingin, setelahnya ia segera keluar dari mobil berjalan begitu saja membiarkan suaminya yang kini mungkin sedang bertanya-tanya kenapa Ima seperti itu.
Ilham tidak mengejar, ia membiarkan Ima turun mungkin memang Ima masih kesal dengannya, dia butuh waktu sendiri dulu.
Drrrt!
Pandangannya langsung teralihkan karena mendengar dering ponselnyam. Setelah di cek ada satu pesan masuk dari Mita, sejenak ia terdiam, mengingat soal pertemuannya dengan Mita, hadia itu bahkan sudah punya pacar tetapi selama ini tidak pernah menceritakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditional Marriage (Akan Diterbitkan)
RomantizmCinta masa kecilnya kepada lelaki seusia Kakaknya, yang kini berlanjut saat Ima sudah beranjak dewasa. Ima menagih janji Ilham untuk menikahinya. Sementara usia Ima terbilang masih cukup muda. Namun tidak membuat Ima menyesal akan keputusanya untuk...