9. Menjadi Mandiri

3.8K 215 12
                                    

Ima sudah sampai di rumahnya, walau suasana hatinya sempat memburuk, tetapi ia merasa sedikit lebih baik ketika Rian tadi menemaninya di Cafe, dan ia juga sempat berkunjung ke rumah mamanya yang mengakibatkan ia harus pulang sore hari.

Baru saja ingin menuju pintu, Ima melihat sepatu hak tinggi yang kini tergeletak di depan teras rumahnya, Ima malah penasaran tentang sepatu itu, karena dia tidak pernah punya sepatu macam itu. Kini suasana hatinya kembali berubah, dan pikirannya mulai buyar.

Dengan gemetar Ima segera menuju pintu, dan tidak sabar untuk membukanya. Setelah Ima membukanya ia langsung mematung di ambang pintu.

Dua insan yang sedang ia lihat juga melihat ke arahnya, ternyata wanita yang sedang bersama suaminya sekarang adalah wanita yang sempat ia lihat tadi di Cafe, dengan sangat berani suaminya sampai membawa ke rumah, tiba-tiba ada sesuatu yang menyeruak di hatinya.

"Kamu kenapa baru pulang?" Tanya Ilham lelaki itu sepertinya tidak terkejut dengan kedatangan Ima, berbeda dengan Ima yang terlihat begitu terkejut.

"Dia istrimu, Ham?" Tanyanya. Lalu menatap Ima dari atas sampai ke bawah.

"Iya dia Ima istriku, Ima kenalkan ini Mita, sahabatku sekaligus teman bisnisku," ucap Ilham.

Ima berusaha menyembunyikan apa yang sedang ia rasakan sekarang, yakni rasa cemburu serta marah yang sangat besar.

"Mita." Sambil mengulurkan tangannya.

"Ima." Membalas jabatan tangannya.

"Kamu cantik juga ternyata!" Puji Mita seraya memperhatikan penampilan Ima, lalu kali ini ia tersenyum.

"Ima sebaiknya kamu ke kamar saja sekarang!" Suaranya seolah mengusir, Ima menjadi tak suka.

"Loh kenapa Ima harus ke kamar?" Suara Ima sedikit ketus, apalagi dia masih syok melihat keberadaan wanita ini sedang berduaan dengan suami di rumahnya.

"Aku akan membicarakan sesuatu bersama Mita, dan aku pikir tidak seharusnya kamu tau."

Ima menatap keduanya, di lihatnya sang suami yang wajahnya kini berseri-seri juga wajah Mita yang sama halnya. Ima merasakan hatinya berdenyut sakit, tentu saja ia cemburu walau Ima yakin Ilham, dan Mita tidak ada hubungan apa-apa, tetapi ia khawatir jika Ilham akan terpesona dengan Mita dan sekarang Ima merasa jika posisinya tidak ada artinya, bahkan Ima pulang Ilham malah asyik berbincang.

Ima mencoba menepis segala pikiran buruknya. Ilham itu orang baik bukan semacam playboy, Ilham pasti tidak akan mengkhianatinya.

Dengan terpaksa Ima menurut dan meninggalkan mereka berdua, walau sedikit berat bahkan sesekali menengok ke arah belakang karena penasaran apa yang sedang mereka bicarakan, Ima berhenti seraya menyentuh dadanya.

Kenapa rasanya begitu sakit, ya? Padahal seharusnya dia mengizinkan aku berada di sana. Batin Ima.

***

Mita sampai di ajak makan malam bersama, dan itu membuat Ima semakin tidak nyaman dengan keberadaannya, dia bertamu tetapi sampai lupa waktu.

"Kalau begitu aku pamit ya! Makasih atas jamuannya." Akhirnya Mita memutuskan untuk pulang.

"Sendirian?" Ilham terlihat khawatir.

"Maksudnya?" Mita mengernyit bingung.

"Ini sudah malam, apa kamu berani pulang sendiri? kalau ada apa-apa di jalan, bagaimana?"

"Ya ampun seperti yang tidak tau aku aja, lagian ini kan baru habis magrib aman deh nggak bakal ada apa-apa, nanti juga ada taxi." Mita tersenyum lembut.

Unconditional Marriage  (Akan Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang