29. Awal atau Akhir

1.3K 77 8
                                    

Cahaya dari balik jendela menyapa paginya dengan tak sopan. Cahaya itu masuk lewat celah jendela yang terbuka, Ima mengerjapkan matanya dengan cepat. Segera mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang supaya matanya tidak bertatapan langsung dengan cahaya itu.

Sejenak ia menatap atap kamarnya, mencoba mengingat soal kejadian semalam. Pipinya langsung memerah, dilihatnya tubuh yang kini tertutup oleh selimut, dan ternyata masih sama tanpa sehelai benang pun.

"Ini bukan mimpi 'kan?" Sambil menepuk pipinya. "Rasanya sakit, berarti ini nyata." Ia terlihat begitu senang sampai berguling-guling di ranjangnya.

"Kamu kenapa?" Pertanyaan itu sukses menghnetikan tingkah konyolnya.

Ilham yang kini baru saja keluar dari kamar mandi terlihat sangat menggoda, apalagi dengan tubuhnya yang bertelanjang dada. Ima lagi-lagi terdiam membayangkan tentang semalam, momen yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.

"Ima? Kenapa malah diam saja?" ucapnya lagi. Ima langsung tersadar dari lamunannya, dipegangnya dengan erat selimut itu, tetapi Ilham malah menahan tangannya.

"Aku malu, Kak," ucap Ima sambil menunduk tidak berani lagi menatap wajah suaminya.

"Aku sudah melihat semuanya, kenapa kamu harus malu? Ayo buka!" Sambil menggoda. Ima menggeleng dan tetap memegang erat selimutnya.

Pria itu tidak kehabisan akal ia menggelitiki tubuh Ima sampai akhirnya berhasil menyibakkan selimut itu, Ima langsung menutupi bagian pentingnya dengan kedua tangannya.

"Kak, apaan sih? Kembalikan selimutnya!" Pinta Ima. Ilham justru menciumnya lagi, sehingga membuat Ima langsung lemas.

"Kamu tidak mau mengulangnya lagi?" tanya Ilham setelah melepas ciumannya. Ima masih terlihat malu.

"Memangnya Kakak mau lagi?" tanyanya dengan pelan.

"Menurutmu?" Ilham segera naik ke atas ranjangnya lalu menindih tubuhnya. Ima lagi-lagi hanya bisa pasrah dan adegan itu kembali terulang di pagi hari ini. Mungkin karena ini adalah pengalaman pertama sehingga rasanya ingin lagi dan lagi.

***

"Jangan pernah mengecewakan aku lagi, Kak. Kini aku sudah benar-benar terikat denganmu," ucap Ima yang kini sedang berada di pelukan suaminya, permainan sudah selesai dan kini sedang beristirahat dengan saling berpelukan.

"Ya, aku janji tidak akan mengecewakanmu lagi, kamu bisa pegang kata-kataku, bahwa mulai sekarang aku hanya akan mencintaimu."

Ima sedikit mendongak untuk melihat wajah suaminya, di elusnya bibir Ilham lalu ia menciumnya.

"Aku pegang janji kamu, Kak. Awas saja kalau berani ingkar lagi, seperti yang Kakak katakan dulu." Sindirnya seraya tersenyum.

"Memangnya itu di sebut ingkar? Toh buktinya sekarang aku benar-benar menikahimu."

"Ya, kan mulanya Kakak tidak mau." Seraya mengerucutkan bibirnya.

"Sudahlah tidak usah di bahas, lebih baik sekarang kita tidur lagi, aku masih mengantuk."

"Memangnya Kakak tidak berangkat kerja?" tanya Ima.

"Gampang itu, nanti aku berangkat agak siang, soalnya hari ini aku ingin tetap di sisimu." Ilham mengeratkan pelukannya, sehingga Ima pun tidak berkata apa pun lagi, ikut memejamkan matanya.

Setelah lima belas menit mereka tertidur, kini keduanya sudah kembali beraktivitas, bahkan Ilham sudah siap untuk berangkat kerja.

"Aku berangkat kerja dulu ya!" ucap Ilham berpamitan, tak lupa mencium kening Ima.

Unconditional Marriage  (Akan Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang