25.Menjadi Benci

6.1K 223 11
                                    

Ima mencoba menghubungi mamanya, tetapi sama sekali tidak di angkat, entah perasaannya hari ini sangat tidak tenang, karena tidak biasanya mamanya mengabaikannya seperti ini.

Ima memutuskan untuk menghubungi Kakaknya, dan tidak menunggu waktu lama, sang Kakak mengangkat panggilannya.

"Hallo, Kak!"

"Iya Hallo, kenapa Ima?"

"Kak, Mama kemana? Kok tidak mengangkat teleponku, ya?" Hening sesaat tidak ada jawaban.

"Kak, kenapa malah diam?"

"Ponselnya lagi di matikan mungkin, soalnya mama lagi sibuk." Revan yang berada di seberang sana, memejamkan mata sejenak.

Maafkan Kakak Ima sudah membohongimu, ini semua karena aku tidak mau membuatmu sedih.

"Oh, lagi sibuk, ya udah deh."

"Kalau ada yang di sampaikan lewat Kakak, saja."

"Tidak ada sih, cuma kangen saja, ya sudah nanti malam kalau ada waktu Ima kesana deh, Kak."

"Jangan! "

"Lho kenapa, Kak?" Ima mengernyitkan dahinya.

"Hmmm, mama lagi sibuk soalnya, terus katanya ada sedikit masalah, jadi sebaiknya kamu jangan ke sini, nanti takutnya malah bikin nambah pikiran."

"Ah begitu ya, baiklah, lain kali aja Ima ke rumahnya." Setelah itu Ima mengakhiri panggilannya, rasa khawatirnya terbalas sudah, ia sedikit senang karena Ibunya baik-baik saja, walau pun tidak mendengar suaranya.

***

Tidak ada yang menyenangkan hari ini, hanya berdiam diri menunggu suami pulang, dan tak lupa menyiapkan makan malam yang ia sendiri tidak yakin kalau rasanya enak.

"Selesai, makan malam sudah ku hidangkan, semoga Kak Ilham cepat pulang." Setelah selesai menyiapkan makan malam, Ima memilih menunggu di ruang tamu di temani dengan acara televisi duduk dengan santai, hingga tidak lama pintu terbuka, menampilkan suaminya yang lagi-lagi pulang dengan wajah kusut, Ima menghampiri.

"Tumben sekali Kakak pulang cepat, oh ya, Ima sudah masak lho, Kak, ayo kita makan!" Ilham menahan tangannya hingga membuatnya masih diam di tempat.

"Kenapa Kak?" Ima menatap bingung, karena suaminya menatap dengan tatapan dingin.

"Ikut aku!" Belum sempat Ima berkata, Ilham sudah menarik tangannya membawanya menuju kamar mereka, Ima kebingungan sendiri karena Ilham mencengkeram tangannya dengan erat.

"Kak?" Memanggil dengan suara lembut, tapi suaminya tidak menjawab, Ima menghempas lengan Ilham dengan sedikit kesal, membuat Ilham menatap ke arahnya.

"Kenapa denganmu, Kak? Kenapa selalu berubah-ubah seperti ini?"

Ima kembali merasa sedih belum ada satu hari, suaminya sudah kembali seperti ini, padahal tadi pagi dia begitu memperlakukannya dengan lembut.

Ilham tidak menjawab, dia memilih untuk membuka dasinya tetapi pandangannya terus ke arah Ima.

Suasana terasa mencengkam sangat tidak bersahabat, Ima mencekal gaun tidurnya dengan kuat, Ilham sudah membuka pakaian atasnya sehingga kini sudah bertelanjang dada.

Dengan gerak cepat, Ilham menarik pinggang Ima sehingga menyatukan tubuh keduanya, pria itu mengecup bibirnya, jauh dari kata kelembutan. Ima masih membelalakkan mata, dia kesusahan menghadapi suaminya yang tiba-tiba menciumnya ini.

Ilham terus membawanya sampai akhirnya terjatuh di atas ranjang, tubuh Ima terkunci di bawah kekungan suaminya, pria itu terus mencumbunya, tetapi Ima dengan sekuat tenaganya segera mendorong tubuh Ilham, dan berhasil membuat ciuman keduanya terlepas. Keduanya saling bertatapan, Ima sudah berkaca sekarang.

Unconditional Marriage  (Akan Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang