[07] Terbawa Perasaan

126 23 0
                                    

***

Sewaktu jam istirahat tiba, Farika sudah melipir ke Toilet.

Rivalda sendiri tidak menemani, karena ia masih dalam mode badmood dan ditambah mager untuk saat ini.

Hmm, mungkin ucapan Farika tadi pagi memang benar. Ia juga galau karena Secret Admirer nya.

Yang sampai saat ini belum mengiriminya Oreo dan surat.

Padahal ia bisa kembali goodmood seperti biasa kalau sudah memakan Oreo.

Rivalda merasa sangat bosan, ia melirik ke arah empat laki-laki yang sedang sibuk sendiri-sendiri.

Farhan dan Irsyad yang sedang mengerjakan tugas yang sebetulnya baru saja diberikan dan dikumpulkan minggu depan, sementara Rio dan Nandito sedang mengobrol.

Hmm, untuk hari ini Catur memang memilih keluar kelas. Mungkin, ingin apel ke kelas pacarnya--Cindy, X IPS-2--.

Rivalda beranjak, entah mengapa nalurinya membawanya ke arah depan pintu.

Tak mungkin kan kalau Rivalda tiba-tiba datang dan duduk di samping Irsyad atau Farhan, ataupun ia tiba-tiba ikut menimbrug obrolan Rio dan Nandito.

Ia hanya berdiri di depan pintu sembari memandangi lalu-lalang beberapa siswa yang melewati koridor di depan kelasnya.

Farika lama banget sih. Rivalda mendumel dalam hati.

"Ehm." Seseorang berdehem di depan Rivalda.

Rivalda tidak menyadari sejak kapan ada seseorang di hadapannya.

Begitu memandangi seseorang yang berdehem tadi, Rivalda terkejut.Benar-benar terkejut.

Devan. Devan Mahendra Putra. Seseorang yang membuatnya terbelenggu dalam kegalauan akhir-akhir ini, sedang berdiri di hadapannya dengan memegang sebuah dokumen yang tidak diketahui Rivalda apa isinya.

"Aldo dimana ya?"

Deg. Suaranya. Menyejukkan hati.

Ah, Rivalda terpesona.

"Emm, di ruang OSIS kayaknya." Rivalda menjawab dengan berusaha untuk tidak--istilahnya-- salting.

"Lah, gue tadi dari sana, nggak ada tuh."

"Ya mana gue tau," ujarnya, sok ketus.

"Oh, hmm ini gue nitip proposal kasihin ke Aldo ya."

Rivalda mengangguk.

"Makasih ya," ucapnya disertai seberkas senyum yang baru saja ia tunjukkan kepada Rivalda sepersekian detik yang lalu.

Rivalda tidak menjawab. Tentu saja ia terpesona dengan senyum Devan.

Ah, kalau-kalau Devan memberikan senyum itu kepadanya setiap hari. Mungkin, Rivalda akan didiagnosa terkena diabetes miletus karena kelebihan terkena kadar glukosa yang terdapat dalam senyum Devan.

Devan sudah berlalu, namun bayangannya masih terlihat jelas dalam pandangan Rivalda.

Senyumnya. Suaranya. Matanya. Rambutnya. Ah, semua yang dimiliki Devan terlihat begitu sempurna bagi Rivalda.

Hmm, berlebihan memang.

***

"Udah kali senyumnya Da." Farika, yang sudah bosan dengan untaian senyum Rivalda yang tanpa henti semenjak jam istirahat pertama tadi hingga kini jam istirahat kedua.

"Hmm."

"Sekarang kasihin ke Aldo lah dokumennya, keburu anaknya ngilang lagi." Bukan sahabat namanya kalau tidak tahu apa-apa mengenai apa yang telah terjadi pada sahabatnya.

Rivalda tentunya sudah melapor kepada Farika tentang kejadian tadi.

"Oh, iya."

Rivalda mengambil dokumen yang dititipkan Devan di bawah kolong meja.

Ketika mengambil dokumen, ia juga tak sengaja mengambil sesuatu.

Hmm, mungkin saja Oreo.

Dan ya, memang betul itu adalah Oreo.

Rivalda terlihat semakin sumringah dan dengan cepat membaca surat yang tertempel rapi di atasnya.

Teruntuk Kamu Penikmat Biskuit Oreo,

Jangan galau lagi ya. Saya jadi tidak bisa menikmati senyum kamu.

Mohon maaf, saya belum bisa menunujukkan identitas saya di depanmu.

Benar-benar pejantan pecundang ya saya ini.

Entahlah, begitu lemahnya saya di hadapan kamu.

Dari Saya, Penikmat Senyummu Yang Masih Malu.

***

[oreo & sepucuk surat]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang