[25] Rio

133 21 0
                                    


***

Karena tidak mau ketinggalan pelajaran banyak, Rivalda memutuskan untuk pergi ke sekolah hari ini. Dirinya sudah merasa cukup sehat.

Walau, rohaninya bertolak belakang dengan jasmaninya itu.

Kemarin, Rivalda menyuruh keenam teman sekelasnya --yang menjenguknya-- untuk segera pulang. Ia sudah tidak banyak peduli dengan si secret admirer.

Yang masih menjadi beban pikiran Rivalda sekarang adalah sahabatnya --Farika--.

Farika sama sekali tidak mengiriminya pesan setelah kejadian itu. Rivalda jelas mengerti kalau sahabatnya itu tengah marah besar.

Matanya sembab hanya karena semalaman ia menangisi Farika. Iya, Rivalda jauh-jauh lebih peduli dengan Farika dibanding Irsyad yang katanya adalah orang yang selama ini mengiriminya oreo beserta surat-surat nan romantis itu.

Dari arah belakang, seseorang menepuk pundak Rivalda pelan.

Rivalda pun melihat seseorang yang kini ada di sampingnya --yang juga telah menepuk pundaknya tadi--.

"Rio?"

Rio, seseorang di samping Rivalda itu tersenyum.

"Haii Rivalda, udah sembuh?"

"Alhamdulillah."

"Ehm, gue pengen ngomong sesuatu bisa?"

"Boleh, di kelas aja ya."

"Jangan, kita ke kantin aja!" ujar Rio sembari menarik tangan kiri Rivalda begitu saja.

"Eh tapi tas gue?"

"Udah gpp. Emang berat ya? Kalau berat sih lo gue gendong aja ya."

"Jangan ah, lagian enggak kok ini nggak berat." Rivalda meyakinkan.

"Iya, kata Dilan mah yang berat rindu ya," ujar Rio disertai kekehan pelan.

"Yeu mabok Dilan dasar."

Rio tidak menjawab, hanya tersenyum sekilas. Kemudian, mereka berdua berjalan lurus menuju kantin yang terletak sangat jauh dan berbeda jalur dengan ruang kelas mereka.

***

"Mau ngomong apa?" tanya Rivalda setelah mereka berdua --dirinya dengan Rio-- berada di kantin dan duduk berhadap-hadapan.

"Eung.. Ini lo mau pesen makan dulu atau gak usah?"

Rivalda kontan menggeleng.

Lantas hening, Rivalda melirik Rio. Lelaki itu seperti sedang mengumpulkan niat untuk mengatakan sesuatu kepadanya.






"Gue suka sama lo," ujar Rio akhirnya.

Tepat saat mengucapkan 4 kata tersebut mata Rio menatap lurus ke arah Rivalda.

Rivalda sudah tentu terkejut.

"Tapi itu dulu, sebelum gue sadar kalau ada orang yang lebih pantas buat lo dan dia sama kayak lo," tambahnya.

Rivalda menangkap, sama yang dimaksud Rio itu adalah sama dalam artian satu kepercayaan.

"Lo ingat nggak, waktu kelompok di rumah gue lo nyuruh kita ke rumah Irsyad aja?"

Gadis dengan hoodie pinknya yang tebal itu mengangguk.

"Gue panik waktu itu, gue takut lo lihat mereka semua."

Rivalda menaikkan alisnya.

"Maksudnya?"

"Selama ini, mayoritas anak kelas khususnya seluruh anak laki-laki bantuin Irsyad buat jadi secret admirer lo, Da. Setiap hari mereka gantian beli oreo buat dikasih ke lo dan bahkan bantuin Irsyad buat bikin isi suratnya. Ya, kita semua tahu lah Irsyad itu orangnya pendiam dan susah buat ngungkapin apa yang dia rasain, jadi harap maklum ya."

Rivalda speechless. Tidak menyangka kalau anak kelasnya sampai segitunya.

"Lo gak ikutan?"

"Awalnya sih enggak, hal ini sih yang bikin hubungan gue sama Irsyad merenggang. Ya walaupun gue sama dia sebelumnya juga nggak sedekat itu. Tapi lama-lama gue sadar dan gue bersedia bantuin Irsyad. Karena gue tau kalau Irsyad itu serius sama lo. Jujur aja, lo juga suka kan sama Irsyad?"

Rivalda menunduk, ia sudah seperti maling yang tertangkap basah.

"Tapi Farika suka sama Irsyad."

"Cih, hari gini lo masih mikirin orang lain," ujar Rio seperti mengentengkan.

"Farika bukan orang lain Yo, dia sahabat gue."

"Farhan suka sama dia, beres kan?"

"Tapi, Farika nggak suka Farhan." Rivalda terus saja mengelak.

"Ck, udahalah Da gue capek. Sekarang gue kasih waktu lo buat renungin ini semua."

"Bentar lagi bel Yo."

"Tenang, kata Nandito Pak Djumari kosong."

Pak Djumari kosong menandakan jam pertama dan kedua free di kelas Rivalda.

Dan, Rivalda mulai merenung seperti apa yang diperintahkan Rio.

***

Dear, Rio..........

[oreo & sepucuk surat]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang