Sarah side
Hari ini adalah hari H pernikahanku, semua keluarga kerabat masing-masing keluarga sudah berada di venue pernikahan Bumi Sangkuriang yang ada di daerah Ciumbuleuit Bandung, venue ini khusus di pesankan Mami Ana. Meski agak tidak enak dengan keluarga pihak pria karena mereka menanggung semua persiapan ini namun aku tetap senang, bersyukur dan tidak mencoba untuk menolak saat Mami Ana merekomendasikan tempat ini. Tidak munafik, karena memang aku sangat memimpikan pernikahan seperti ini.
Suasana semakin khidmat saat seseorang membaca ayat suci Al-Quran, kali ini adalah surat Ar-rahman. Suaranya sangat merdu, tiba-tiba teringat sebuah impianku dimana aku ingin diberi mahar hapalan Surat Ar-rahman.
Suaranya terdengar familiar. Aku pernah mendengarnya
"Re, ini siapa?" tanyaku hati-hati
"Fikri" ucapnya membuatku terdiam. Aku sebisa mungkin untuk tidak menitikan air mata.
Setidaknya aku sudah tahu suara mengaji siapa yang aku kagumi setiap mendengar nya Di masjid kampus dulu. Dan itu hanyalah sebuah masalalu.
Kemudian tibalah inti dari acara sakral ini. Aku mendengar Apa menuntun Gibran untuk mengucapkan akad pernikahan. pertahananku melebur bersama rintik air mata yang keluar dari mataku, seiring dengan riuh nya satu suara dari tamu undangan mengucapkan kata 'sah' sebagai tanda bahwa pernikahanku dengan Gibran sudah resmi. Gibran mengucapkan akad nya tanpa cela hanya dalam satu tarikan napas. Membuatku terharu sekaligus bahagia. Hari ini adalah hari yang paling bersejarah dalam hidupku kedepannya statusku akan berbeda. Aku akan menjadi seorang istri dan ya, aku masih harus banyak belajar.
"wah Gib, gila ya lo gak ada kabar tau-tau ngirim undangan"
"Semoga sakinah mawaddah warrahmah ya, Gibran Sarah"
Satu persatu teman-temanku dan Gibran dari kampus menyalami kami diatas pelaminan. Semua berbahagia disini. Seperti tidak pernah terjadi insiden sebelumnya kami semua melebur dalam kebahagiaan sampai pada satu titik dimana aku melihat Fikri hanya diam tanpa ekspresi, dia hanya duduk sendiri disudut dengan tatapan menerawang. Tampak kontras dengan suasana bahagia yang tercipta diacara ini. Kemudian tatapanku beralih pada orang yang duduk tepat disampingku, Gibran yang sekarang sudah berstatus menjadi suamiku. Dia tampak memasang senyum bahagia disana sambil memperhatikan tamu undangan sesekali mengangguk ketika ada yang menyapanya.
Ah benar! Aku sama sekali belum memulai percakapan dengannya selama ini. Bagaimana bisa itu terjadi saat kami akan menjalin sebuah ikatan?
"Mas Gibran" ucapku, entah kenapa kata itu yang keluar pertama kali dari mulutku, sebenarnya agak sedikit malu dan canggung mengatakannya. dia menoleh untuk kemudian tersenyum, senyumnya sangat manis dan aku baru menyadari bahwa Gibran setampan itu, dengan setelan jas yang membalut tubuh gagahnya membuatnya terkesan sangat manly dan tanpa sadar membuatku terpesona. Sihirnya sangat kuat membuatku menelan kembali apa yang ingin aku sampaikan dan akhirnya hanya berbalas senyuman.
Disini aku mulai menyadari, bahwa Fikri dengan sepenggal kisahnya dulu hanyalah sebuah singahan untuk belajar soal ketegaran. Seperti tempat singgahan umumnya, tidak akan pernah menjadi sebuah akhir dari perjalanan, untuk itu aku harus menemukan rumah untuk pulang mencari tempat ketenangan, keamanan dan kenyamanan selamanya, dan sepertinya aku sudah menemukannya, aku sudah sampai dirumah dengan selamat, Gibran Reksa Dewangga, adalah rumah untukku. Aku akan menjaga dan merawat rumahku dengan segenap hati dan tenaga yang kumiliki. Aku akan menjadikan rumah ini untuk jalanku menuju surga Alloh. Apapun rintangannya nanti, aku akan mencoba untuk tetap kuat tabah dan aku ingin menjalani asam garam kehidupan hanya dengannya seseorang yang tuhan kirimkan untuk melengkapi hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAKINAH DENGAN MU
Spiritualjika tak ku temukan cinta, biar cinta yang menemukan ku.