Siang itu, setelah melakasanakan sholat dzuhur di masjid sebuah universitas, Sarah yang baru saja menyelesaikan pembayaran administrasi di kampus barunya itu disibukan dengan kegiatannya mencari sepatu kets krem miliknya yang bertumpuk dengan puluhan sepatu lainnya.
“ekhem” sarah mendongkak mencari sumber suara. Sejenak melupakan kekesalan karena belum juga menemukan sebelah sepatunya yang tersembunyi diantara puluhan alas kaki yang tersebar di anak tangga masjid.
“assalamualaikum” menemukan asal sapaan itu, Sarah menyipitkan matanya. Pandangannya bersebobrok dengan sepasang mata coklat. Cepat mendundukan wajah.
“eh maaf” jawab Sarah singkat sambil kembali asyik menelusuri berpasang-pasang sepatu. Salah satu dari mereka sudah bersalah karena menyembunyikan sebelah sepatunya, pikir gadis itu kesal.
Tetapi lelaki yang menyapanya tak beranjak, malah mengamati. Tak habis pikir dengan sikap acuh yang ditunjukan Sarah, bagaimana mungkin sepatu-sepatu itu bisa lebih menarik perhatian?
Lalu mengertilah dia, dibawah anak tangga terakhir, agak tersembunyi tumpukan semak, sebuah sepatu yang dijinjing wanita itu di tangan kirinya.
“cari ini?” sarah menghembuskan napasnya lega, angan imajinatifnya muncul tanpa di cegah. Seperti dongeng, batinnya. Dari sekian banyak orang yang berada di masjid lelaki itu muncul dan dengan ajaib menemukan sepatunya.
Lelaki bermata coklat yang mengenakan jas hitam berdiri di teras masjid. di benak Sarah dengan segera menjelma pangeran berbaju besi diatas kuda putih.
Hm, kalau saja Vani dan Lulu mendengar ini. Sarah menyembunyikan senyum, untuk pertama kalinya matanya berani mengamati sosok tinggi yang masih memegang sebelah sepatunya. Seharusnya, pikir Sarah masih terjebak dalam dongeng masa kecilnya, lelaki itu mengayunkan pedang bukan sepatu kets miliknya.
“mbak, maaf tapi sepatu saya” ucap lelaki itu sembari menunjuk kearah tanah, seketika lamunannya buyar dengan rasa malu yang luar biasa, Sarah menginjak pentofel milik pria itu.
+++
Sarah Maharani, kini sudah menyandang statusnya sebagai mahasiswa baru jurusan akuntansi di sebuah universitas yang cukup terkenal di Bandung. Sebenarnya jurusan akuntansi bukanlah pilihan yang ia idamkan selama berada di bangku SMA. Mengingat jurusan IPA yang ia banggakan dulu, ia bermimpi sekali untuk menjadi dokter dikemudian hari, namun karena nilai ujian nasional yang seadanya ditambah dengan otaknya yang pas-pasan membuatnya banting setir.murtad, dari jurusan berbau alam ke jurusan berbau sosial. Padahal masih banyak jurusan yang mewadahi ke Ipa-Ipaan selain kedokteran namun Sarah lebih memilih Akuntansi, alasannya karena dia ingin merasa tertantang, bosan selama sekolah dia selalu bertemu dengan kimia, biologi, matematika apalagi fisika, dia sepertinya sudah mual hanya dengan mendengar namanya saja.
Sarah tinggal di Bandung dengan menumpang pada kakak pertamanya yang sudah mempunyai keluarga dan membunyai rumah sendiri. Lebih hemat untuk biaya hidup sekaligus meringankan beban keluarganya karena sekarang ia menjadi tanggungan kakaknya. Rumah itu selalu ramai dengan kakak laki-lakinya, Ridwan yang humoris, kakak iparnya, Parida yang cerewet dan hobi marah-marah, serta Vani anak pertama mereka yang cantik dan si bungsu Akbar yang suka banget sama serial Naruto sehingga sering banget ribut gegara rebutan Channel televisi dengan Mamanya yang notabene penggila sinetron indonesia.
Sebenarnya Sarah tahu kalau Mbak Parida kurang menyukai keberadaannya yang tinggal bersama mereka, mungkin karena alasan biaya, pengeluaran keluarganya akan bertambah jika Sarah tinggal disana, tapi mau bagaimana lagi, ia harus tetap bertahan demi orang tua yang membiayai sekolahnya susah payah. Lagian kakaknya dan keponakannya cukup baik, cukup mengobati hatinya yang selalu panas tatkala sindirian merajalela di rumah itu.
“gimana kabarnya pangeran Ateu?” sosok Vani menyambut Sarah yang baru saja masuk kamar. Ateu adalah sebutan tante pada Sarah dari keponakannya itu.
Vani adalah keponakannya yang sebentar lagi akan menjadi anak SMA. Memang Sarah sempat bercerita tentang kejadian di masjid kampus beberapa hari yang lalu.
“pangeran?” suara lain dengan nada lebih tinggi terdengar. Pasti Lulu, adik kakak ipar Sarah yang terlalu sering berkunjung kerumah ini karena memang rumahnya yang berdekatan, tak heran jika dia selalu tiba-tiba muncul dengan kekepoan tingkat dewanya.
“katanya mahluk kaya kamu nggak pacaran” lanjutnya lagi, ada rasa ingin tahu yang jelas dalam tekanan suaranya.
“bukan pacaran, orang baru ketemu sekali” protes Sarah.
“tapi..” lanjutnya namun dipotong Vani
“tapi apa? Mau langsung merried? Iya? Subhanalloh”
Lulu terdiam, lalu perlahan tampang ingin tahunya muncul lagi
“gimana bisa nikah kalo nggak pacaran?”
Gelak tawa pecah dikamar yang berukuran sedang itu, tampang cengo Lulu membuat Vani maupun Sarah tak kuasa menahan tawanya.
“lagian ateu Lulu gimana sih, kudet banget, gak tau soal ta’aruf emang?” tanya Vani sok tahu
“ish, kek tau aja kamu ta’aruf itu apa. Masih ABG labil juga” Lulu mendelik sebal pada Vani, tapi akhirnya Sarah menjelaskan pernikahan ala aktivis islam—mulai dari proses ta’aruf bukan pacaran, di lanjutkan dengan khitbah aau lamaran, sampai resepsi puncak atau walimah-pada Lulu.
“jadi akhirnya—“ suara Sarah mengatasi celoteh riuh setelah obrolan melantur kemana-mana,
“pangeran dan putri happly ever after...” gadis itu mengerutkan keningnya sejenak, terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan dengan senyum manis,
“setidaknya sampai kematian memisahkan mereka”
Mendengar itu Vani hanya senyum penuh arti, dan Lulu? Hanya garuk-garuk kepalanya yang mendadak gatal.
“pangeran? Putri?”
Sarah mengangguk, tatapan bingung Lulu tak dipedulikannya.
“heh dasar kebanyakan makan dongeng!” tukas Lulu dibalas gelak tawa dan Sarah hanya terenyum, tak terganggu. Dia memang hidup di dunia dongeng. Dan demi dongeng nya dia akan bersabar. Ketergesaan tidak pernah dihargai lebih. Kecuali oleh orang yang lalai. Begitu kata Cleopatra.
Sejak pertemuannya dengan pangeran bermata coklat itu, Sarah merasa ungkapan Cleopatra tidak sepenuhnya benar. Sebab baru sekali bertemu sudah berpikir soal ta’aruf? Wajah Sarah bersemu, tetapi pikirannya tak berhenti. Dengan keyakinan itu dia telah melewati ribuan hari. Kadang memang keingintahuan menggelitiknya. Pangeran mana yang akan Alloh kirimkan untuknya, bila memang kesempatan itu ada sebelum dia menjadi tawanan kematian?
+++
KAMU SEDANG MEMBACA
SAKINAH DENGAN MU
Spiritualjika tak ku temukan cinta, biar cinta yang menemukan ku.