Surat Cerai

1.8K 95 11
                                    

Hana sudah pulang, apartemen ini kembali sepi. Hanya helaan napas dari Sarah yang terdengar begitu menggema di ruangan yang cukup luas jika diisi hanya oleh dua orang saja. Seperti nya ia akan melewatkan kembali makan malamnya karena tidak selera. Kemudian ia beranjak ke kamarnya, sudah tidak ada harapan untuk menunggu suaminya pulang.

Sarah memandang jalanan kota yang begitu ramai kontras dengan kehidupannya saat ini, berharap salah satu dari mereka adalah suaminya yang sedang menuju kerumah untuk pulang. Tapi Sarah kembali menggeleng, dia terlalu lelah untuk berharap pada manusia. Kemudian ia menyibak gorden kamarnya, begitu iri pada jalan raya yang begitu ramai oleh manusia-manusia yang terlihat bahagia untuk kemudian meringkuk ditempat tidur, menutup mulutnya dengan kedua tangan dan kembali mengis, manusia memang serapuh ini.

+++

Toktoktokk

Suara ketukan dipintu membuat Sarah mengerenyit heran, suatu keajaiban jika itu Gibran, selama ia tinggal di apartemen ini dia tidak pernah mau berinteraksi apalagi mau mengetuk pintu kamarnya seperti sekarang. Tidak banyak berpikir Sarah langsung membuka pintu nya dan taraaaa Gibran memang berada disana, dengan kaos hitam yang pas ditubuhnya, sama seperti tadi pagi, Sarah yakin Gibran baru datang dan langsung menghampiri nya.

Sarah tersenyum, ini adalah hari ke 45 mereka menjadi pasangan suami istri dan ini adalah hari pertama Gibran menghampirinya untuk berbicara-mungkin

"bisa bicara?" tanya Gibran kaku. Sarah mengangguk cepat, dia tidak ingin menyianyiakan kesempatan ini. Mereka lalu berjalan ketempat yang sama, sofa yang berada di ruang tamu. Kemudian mereka duduk berhadapan, ada rasa canggung yang kentara namun sebisa mungkin Sarah menepisnya. Ia menatap wajah lelah suaminya itu, namun sebelum ia sempat bicara Gibran terlebih dahulu menyela

"gimana kabar kamu?" Tanyanya, yang mau tidak mau berhasil mencetak senyum sumringah di wajah Sarah. Tidak ada gue-elo seakan menjadi point utama saat ini.

"baik mas" hanya itu yang keluar dari bibir Sarah, dia sendiri merutukinya dalam hati, kenapa dari sekian banyak hal yang ingin dia katakan pada Gibran hanya dua kata itu yang mampu ia sampaikan.

Gibran kemudian mengangguk, ada jeda lama saat itu, tak ayal kecanggungan semakin menyelimuti mereka berdua.

Setelah menghela napas panjangnya Gibran menggeser amplop berwarna coklat di meja kearah Sarah. Amplop yang sudah dia bawa sedari tadi.

"buka" perintahnya membuat Sarah mengangguk lalu mengambil amplop yang berisi secarik kertas itu

"ini---" Sarah tidak mampu melanjutkan ucapannya saat melihat keseluruhan isi surat itu

"surat perjanjian cerai" tegas Gibran membuat Sarah semakin menundukan pandangnya

"aku membuatnya tadi di firma hukum perusahaan ayah, kata om Subagio;pengacara ayah, perjanjian itu sudah sangat menguntungan buat kamu Sar. Aku harap kamu bisa menerimanya, dan jika sudah siap kamu tinggal nyerahin itu biar aku yang mengurus semuanya" jelasnya. Ada perasaan senang bercampur sakit disana. Ini pertama kalinya Gibran berbicara sepanjang itu setelah sekian lama dan sakit karena pembicaraan yang Sarah nantikan dari Gibran adalah berisi tentang perceraian menyakitkan ini.

Sarah menatap Gibran sendu, dia tidak percaya lelaki didepannya ini bisa membuat hatinya hancur sehancur-hancurnya dalam sekali terjang. Bahkan Sarah tidak yakin jika Gibran masih punya hati.

"mas Gibran---"

"aku rasa penjelasanku sudah jelas, sekarang kamu bisa terbebas dari semua ini sar. Bukan kah itu yang kamu mau?"

"ngga--"

Gibran tidak mendengarnya, setelah menatap sinis Sarah. Dia masuk kekamarnya begitu saja, tidak membiarkan Sarah mengatakan satu dua patah kata pun. Sarah meringis, memang seharusnya kita tidak berharap pada manusia.

+++

Sudah jam 7.30 tapi Gibran tidak melihat Sarah di ruangan apartemennya. Biasanya Sarah sudah sedang menyiapakan sarapan meskipun tidak akan disentuhnya. Sebelum berangkat ke kampus biasanya dia selalu memastikan bahwa Sarah akan baik-baik saja, namun kali ini ia tidak menemukannya,terpaksa dia mengetuk kembali kamar yang sudah ia wanti-wanti untuk selalu menghindarinya.

Tidak ada jawaban, membuatnya semakin khawatir. Memang Gibran akui bahwa dia sudah sejahat itu pada Sarah tapi dia punya alasan untuk itu. Tak sabar maka ia membuka pintu kamar yang tidak terkunci itu dan melihat Sarah yang meringkuk di lantai. Sedang apa wanita itu?

"Sarah?? Kenapa tidur dilantai" Gibran menghampirinya kemudian menggoncang bahunya pelan, tak ada jawaban

"Sarahh"

Kemudian Gibran melihat bahwa badan wanita itu menggigil. Dia mendengus frustasi, harusnya jika tahu sakit kenapa masih tidur dilantai! Kesalnya dalam hati.

Mau tidak mau Gibran memangku Sarah dan memindahkannya ke tempat tidur yang masih rapi itu, membuat Gibran yakin Sarah tidak tidur di ranjangnya sejak malam tadi.
Setelah meletakannya dengan hati-hati Gibran lalu memanggil dokter yang biasa keluarganya panggil saat ada yang sakit dirumah, Dokter Fauzi. Salah satu dokter yang dinas dirumah sakit orang tuanya.

Setelah memastikan dokter Fauzi akan datang, hal selanjut ya yang ia lakukan adalah mengambil air hangat dan handuk kecil untuk mengompres Sarah, ya ini tidak seberapa, mungkin bisa membantu menurunkan panas dari tubuhnya.

Girban menyimpan kembali ranselnya dan mulai mengompres Sarah. Wanita itu sudah bangun, tapi masih sangat lemah, dia juga terlihat kaget saat Gibran berada disampingnya. Terserah, dia disini hanya untuk membantu-itu saja.

"mas--"

"ssshhh kamu gak boleh banyak gerak dulu" ucap Gibran disela-sela ia mengganti kompresannya

"makasih" ucap Sarah yang entah mengapa begitu menyayat hati Gibran, dia bahkan mengentikan aktivitas memeras handuk kecil yang sudah dicelupkan kedalam baskom berisi air. Lalu dia menatap Sarah yang tersenyum tulus dengan wajah sepucat itu, ada perasaan nyeri di ulu hatinya. Bukan jenis tatapan seperti ini yang Gibran inginkan dari seorang Sarah, dia ingin wanita didepannya ini mengutuknya dengan penuh luapan emosi karena sudah menyakitinya sedalam ini, bukan berterimakasih atas perlaluan kecilnya yang tidak bisa dibandingkan dengan seberapa besar dia telah melubangi hati wanita yang entah sejak kapan menjadi nomor satu di hidupnya.

+++
.
.
.
.

Eakk gw gak yakin ceritanya bisa membuat readers puas. But yahh cuma bisa ngasih segini maaf ya kalau jelek

Btw wdyt about Sakinah Denganmu?


Membosankan kah?

Alurnya jelek kah?

Macem sinetron hidayah di tv ikan terbang kah?

Gak usah dilanjut karena ceritanya gak enak kah?

😁😁
Terimakasih sudah membaca,
Salam dari penulis amatir yang sedang menunggu scene romance dari mas Gibran:v

Btw kangen mas Fik g, gw mah kangen euy--

SAKINAH DENGAN MUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang