[5] Sesuatu Yang Tak Pernah Kumengerti

101 28 9
                                    

USAI homeroom, pemuda itu masih saja mengomel tentang aku yang telah membohonginya dengan mengatakan bahwa rasa kari buatan di kantin tak jauh berbeda dari rasa kari buatan ibuku. Ia juga tak henti-hentinya bertanya, kenapa aku tega membohonginya. Hal itu malah membuat sakit di kepalaku semakin mendera-dera.

"Kau tak boleh mengikutiku." Cegahku, saat ia mengekoriku berjalan di koridor lantai satu. Omelan pemuda itu berganti menjadi memandangiku dengan kening yang mengernyit.

"Bukankah kita akan pulang bersama?" tanyanya, "Kenapa aku tak boleh mengikutimu, rumah kita kan berdekatan?"

"Bukan begitu," ujarku.

Biar bagaimanapun aku harus mencari alasan agar tak pulang bersama pemuda itu. Lagi pula, aku harus menemui seseorang sekarang ini. Kulihat di ujung koridor beberapa gadis yang mengenakan seragam basket baru saja melewati sepasang pintu berwarna cokelat. Aku kembali melirik pemuda itu, ia tampak menanti-nanti ucapanku selanjutnya.

"Aku ada latihan sore ini," kilahku, "jadi, aku tak bisa pulang bersamamu."

"Maksudmu, latihan basket?" pandangannya ikut beralih ke arah gadis-gadis berseragam basket. Tak lama ia berkata, "Baiklah. Aku akan menunggumu," dengan entengnya.

"Jangan!" tolakku. Aku kembali berkilah, "Aku akan pulang bersama teman-temanku, lalu pergi ke suatu tempat. Kalau kau ikut, kau malah mengganggu kami. Kau pulang saja."

Ia memandangiku lama, sama seperti ia memandangiku sewaktu aku membicarakan kari buatan kantin. "Kau punya teman, Yurika?" tanyanya, setelah sekian lama.

Aku mendengus. Pertanyaan macam apa itu?

"Baiklah. Aku akan menunggumu di rumah." Ucapnya. Ia berjalan mundur sembari tersenyum lebar, lalu berbalik meninggalkanku.

Aku menghela napas lega. Syukurnya pemuda itu gampang sekali dibodohi.

***

Koridor lantai satu tampak penuh dengan kedatangan anggota-anggota klub orkestra yang baru saja pulang dari perlombaan orkestra antar sekolah. Masing-masing mereka membawa bermacam-macam alat musik yang dibalut dengan case berwarna hitam. Sewaktu seorang pemuda bertubuh gembrot berjalan cepat sambil mengangkat drum di atas kepala, cepat-cepat aku menepi—bahuku bahkan sudah menempel dengan dinding. Takut-takut jika pemuda gembrot itu menyenggolku lalu drum yang ia pegang terjatuh menghantam kepalaku.

Aku menghela napas panjang usai pemuda gembrot itu melewatiku.

Langkahku melambat saat menyadari seorang pemuda berjalan sejajar denganku. Aku menolehnya. Ryosuke, ternyata. Ia tersenyum kecil padaku.

"Drum itu tak akan menimpa kepalamu. Pemuda itu tak seceroboh yang kau bayangkan kok." Ujarnya. Suaranya pelan dan terdengar lembut, pipiku seketika memanas karenanya.

Kami berdua berhenti melangkah, membiarkan orang-orang melewati kami. Sewaktu ia berdiri sejajar di hadapanku, sampai sekarang aku masih tak percaya bahwa pemuda itu jauh lebih tinggi ketimbang aku. Padahal, sewaktu kami duduk di bangku SD, puncak kepalanya hanya sehidungku. Sekarang, aku sendiri yang harus repot-repot mengangkat wajah hanya untuk menatapnya.

"Kau tak masuk ke dalam?" tanyaku, sembari melirik orang-orang yang masuk ke dalam ruang klub orkestra.

"Memangnya kau mau menunggu?"

Aku kembali beralih padanya, kulihat case cello menggantung di belakang punggungnya. "Aku sudah terbiasa menunggumu." Sahutku.

"Baiklah." Katanya, "Tak sampai lima menit."

Aku mengangguk. Senyum seketika mencekah di wajahku. "Lima menit." Aku mengingatkan. Ia pun berjalan meninggalkanku lalu menghilang setelah melewati pintu geser.

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang