[12] Aku Selalu Memaafkanmu Kok

82 21 31
                                    

KAMI meninggalkan taman dan pulang ke rumah saat matahari tersisa satu per tiga.

Tadi, sewaktu Aki akan meniup lilin, anak-anak yang bermain di rumah prosotan menaruh rasa penasaran dengan apa yang dilakukan Aki. Mereka pun berhamburan menghampiri kami. Dengan perasaan gembira yang tergambar di wajah mereka, sorak-sorai nyanyian 'Selamat Ulang Tahun' dan tepuk tangan membubung ke udara. Aki tampak senang karena anak-anak kecil ikut memeriahi acara ulang tahun dadakannya. Aku sendiri malah tertawa-tawa melihatnya. Oh, dan Aki juga membagikan kue yang telah dipotongnya kepada anak-anak kecil dengan menggunakan mangkuk ramen instan. Ia juga mengingatkan anak-anak kecil itu untuk membersihkan tangannya terlebih dahulu sebelum menyentuh kue.

Di sepanjang perjalanan pulang, Aki yang menenteng kantong plastik di masing-masing tangan tak henti-hentinya mengatakan jika ia sangat gembira karena anak-anak kecillah yang menyanyikan lagu 'Selamat Ulang Tahun' untuknya. Dia bilang, ini kali pertamanya ia merayakan ulang tahun sekonyol itu, mengingat ulang tahun kedelapan belasnya yang dimeriahi oleh anak-anak berumur lima dan enam tahun.

Senyum dan tawanya menghiasi setiap langkah kaki kami—yang secara anehnya aku tak lagi merasa terganggu, aku bahkan mendengarkan setiap celotehannya mengenai klub sepak bolanya semasa ia SMP.

Tungkai kami berhenti tepat di depan rumahku. Aki berbalik badan untuk melihatku. Sembari tersenyum, ia berkata, "Bye, Gendut." Tangan kirinya yang memegang kantong berisi ramen instan terangkat dan melambai padaku. Kantongnya pun terayun-ayun.

Aki memunggungiku dan kembali melangkah. Saat menatapi punggungnya, entah mengapa kakiku malah melangkah ke arahnya. Saat ia akan memasuki halaman rumah, buru-buru aku mensejajarkan langkah dengannya.

Pemuda itu menolehku dan terkaget. Masih berjalan, ia menatapku dengan kening yang mengernyit dalam, seakan-akan sedang menunjukkan pergulatan pikiran dari dalam kepalanya.

"Apa yang kaulakukan, Yurika?" tanyanya, masih keheranan.

Aku melirik kantong plastik putih yang berisi ramen instan. "Aku hanya ingin makan ramen itu." Kataku. "Agaknya, kau tak mampu memakan semua ramen itu."

"Sebenarnya aku mampu memakan semua ramen ini dalam waktu singkat." Ujarnya, sembari menggoyang-goyangi kantong berisi ramen instan tersebut. "Tapi.... Yah, jika kau ingin, aku tak masalah." Kemudian ia tersenyum dan mempersilahkanku masuk ke dalam rumah setelah ia membukakan pintu.

***

Aku dan pemuda itu diliputi keheningan berkepanjangan usai ia meletakkan dua mangkuk berisi ramen yang telah diseduhya di atas meja makan. Aku yang duduk berhadapan dengannya pun merasakan betapa canggungnya suasana di antara kami. Entah mengapa, menunggu mi yang melunak seperti telah melewati ribuan tahun lamanya.

"Kupikir kita memerlukan penutup untuk ramen-nya... agar cepat melunak." Ucapnya, memecahkan keheningan. Rupanya, ia memikirkan apa yang kupikirkan.

Ia pun mencelat dari kursi dan mendekati kabinet dapur, kemudian kembali ke meja makan bersama dua buah piring berwarna putih. Sebelah alisku terangkat memperhatikan dua piring tersebut menutupi masing-masing atas mangkuk, tak habis pikir dengan apa yang telah dilakukan pemuda itu.

Aki kembali duduk bersamaan dengan kecanggungan yang kembali menyelimuti kami. Agar aku tak terjebak dalam kecanggungan yang menyia-nyiakan waktu, aku pun mengamati setiap penjuru di sekitarku.

Rumahnya sunyi dan sepi, sama halnya dengan rumah Ryosuke. Kulihat di dinding di samping kulkas, terpampang sebuah pigura yang berisi diriku dan Aki berumur sembilan tahun bersama Kak Naoki dan Kak Natsu—omong-omong Kak Natsu ini adalah anak laki-laki pertamanya Paman Kawamura, semasa ia SD, ia tinggal bersama Nenek Hanako—yang berumur dua belas tahun. Sudah lama sekali rasanya tak melihat foto itu. Tiba-tiba saja sudut bibirku tertarik.

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang