[39] Pengakuan

51 14 1
                                    

AKI datang ke kamarku dengan kegaduhan luar biasa saat pikiranku sedang melayang jauh entah ke mana—sampai-sampai punggung lemahku yang sedari tadi bersandar di kepala kasur seketika tegap.

"Yurika?! Kau sudah berkemas-kemas? Wah, aku tak sabar menunggu hari esok!" serunya, setelah melewati pintu kamar. Ia pun duduk di ujung kasur.

Sesaat, aku menyadari pemandangan yang kurasa tak nyata di depanku ini. Sosok Aki yang duduk di ujung kasurku, yang mana sedang tersenyum lebar sembari menepuk-nepuk tulang keringku, memintaku untuk segera berkemas. Aku tahu, dia nyata. Aku pun yakin tak sedang berkhayal. Perasaan aneh ini sebenarnya hanya didasari oleh pikiranku yang mengambang.

"Nanti saja," sahutku.

"Mau sampai kapan kau tak mengemasi barang-barangmu?" omelnya. "Sudah pukul sepuluh sekarang dan besok kita harus berangkat pukul delapan pagi. Meski tersisa sepuluh jam lagi, bukan berarti kau tak harus tidur, kan? Kau butuh tidur yang cukup agar tak mabuk darat."

"Aku bisa mengemasi barang-barangku sebelum kita berangkat kok."

Aki menghela napas. "Kau mau aku yang mengemasi barang-barangmu?"

Pemuda itu mengangkat pinggangnya, secepatnya aku menarik ujung kaos yang dikenakan pemuda itu, sehingga ia kembali duduk di tempatnya semula.

"Aku tidak mau siapa pun yang mengemasi barang-barangku." Ketusku. "Terutama pakaian dalam. Aku takut nantinya kau memasukkan semua pakaian dalam ke dalam tasku, bukannya pakaian musim gugur. Lagi pula, aku tak mau ada orang lain yang menyentuh pakaian dalamku."

Ia terpaku menatapku dengan mata yang memancarkan keheranan. "Sesungguhnya aku tak berpikir demikian. Tapi, mengapa kau bisa berpikir sampai sejauh itu?"

Astaga, benar juga! Bagaimana bisa mulutku sepontanitas mengatakan hal-hal seaneh itu. Dari raut wajahnya sekarang, ia pasti sedang menyelidiki isi kepalaku. Pipiku rasanya terbakar karena menanggung rasa malu. Begitu, aku langsung mengalihkan pembicaraan.

"Sebaiknya kau pulang saja," ujarku. "Bukankah kau perlu beristirahat untuk perjalanan besok?"

"Aku akan pulang setelah aku melihatmu berkemas. Ibumu bilang, kau sering ketinggalan 'ini' dan 'itu' saat sedang berpergian...." Aki sekonyong-konyongnya terdiam, matanya mengamati seluruh penjuru kamarku. Saat matanya berhenti padaku, sebelah alisnya terangkat. "Rasanya kamarmu agak sepi ya. Apa ini hanya perasaanku saja?"

Aku ikut mengamati seluruh penjuru kamar. Benar katanya, kamarku terasa sepi meskipun ada aku dan dirinya di dalam ruangan ini.

"Sebenarnya, sudah lama ingin kutanyakan ini padamu,"

Otomatis aku terfokus padanya. Matanya terarah ke samping kiriku, sebelum akhirnya menatapku.

"Ke mana perginya Aiko-chan?"

Beberapa detik kebungkamanku, akhirnya aku membuka suara. "Kusimpan di dalam gudang."

Seakan belum puas, ia bertanya lagi. "Mengapa kau menyimpannya di gudang? Lalu, semua benda-benda yang biasanya terpajang di sisi-sisi kamarmu ini, kau juga menyimpannya di gudang?"

"Ya," jawabku. Begitu, aku dan Aki diselimuti keheningan. Ia memalingkan pandangannya dan seketika menghela napas.

"Berhentilah berbohong. Aku tahu ke mana semua barang-barang itu pergi." Ucapnya tiba-tiba. Meski ia sama sekali tak menatapku, aku tahu ia merasa kesal. "Mengapa kau selalu menyembunyikan sesuatu dariku. Padahal aku tak akan marah bila kau berkata jujur padaku meskipun itu tentang mantan kekasihmu. Tapi, kali ini, aku sudah muak padamu..."

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang