[24] Putus Demi Kebaikan Masa Depan

57 17 13
                                    

BENAR kata Ryosuke.

Selama di kereta, aku memakan semua cokelat yang ia berikan kepadaku dan aku kembali merasa bahagia sekarang. Entah mungkin sebenarnya aku bahagia karena ia telah memeluk dan mengecup keningku di depan stasiun.

Sewaktu meninggalkan peron dan keluar dari stasiun, kudapati Aki sedang duduk di atas sedal sepedanya di parkiran. Ia tampak sedang menanti-nanti seseorang dari gerbang stasiun. Saat mata kami tak sengaja bertemu, pernapasanku rasanya tertahan, lalu jantungku berdentum keras. Kebahagiaanku yang belum sampai sejam mendadak runtuh. Aku langsung mengalihkan pandangan dan meninggalkan halaman stasiun.

Aku pikir, ia masih menunggu di sana. Rupanya ia mengejarku bersama sepeda yang dikendarainya.

"Yurika!" pekiknya.

Aku tak bisa melangkah lebih jauh lagi, apalagi berlari. Ia sudah terlanjur berada di sampingku, menyeimbangi gerak sepedanya dengan langkahku.

"Aku menjemputmu. Kita akan makan malam bersama ibu dan ayahmu." Katanya. "Ayo, naiklah."

"Aku pulang dengan berjalan kaki saja." Sahutku. Aku tak berani meliriknya. "Pulanglah duluan."

"Mengapa? Bukankah lebih baik kau naik sepeda bersamaku agar lebih cepat sampai ke rumah? Jadi, ayo—"

"Aku harus pergi ke suatu tempat." Kilahku cepat. Aku sekilas meliriknya. Keningnya tampak berkedut-kedut.

"Akan kutemani kau ke sana."

"Tidak usah! Aku bisa pergi sendiri."

Aki tak menyahut lagi. Aku masih melangkahkan kaki di trotoar, sementara ia masih menyeimbangi gerak sepedanya di sampingku. Aku menolehnya dan akan memintanya untuk segera pulang, namun ia lebih dulu membuka suara.

"Apa kau menghindariku karena aku memelukmu kemarin?"

Langkahku terhenti. Begitu juga dengan ia yang menghentikan gerak sepedanya. Ia menatapku dengan raut wajah yang tak dapat kubaca. Tapi, perkataannya memang benar. Aku menghindarinya karena ia sembarangan memelukku kemarin.

"Kau membuatku merasa tak nyaman karena itu," jawabku. "Aku tahu, kau sedang bercanda saat itu dengan memelukku, tapi aku tak terbiasa dengan candaan semacam itu. Aku tak terbiasa dipeluk orang lain. Maka dari itu, aku jadi merasa tak nyaman jika bersamamu."

Setelah berlama-lama ia menatapku dengan keheningan, ia menunduk sesaat dan menarik napas saat mengangkat kepala. Sudut bibirnya sedikit naik. "Aku minta maaf, jika perbuatanku kemarin benar-benar membuatmu merasa tak nyaman," katanya. Buku-buku jemarinya yang kokoh tampak memutih karena menggenggam erat stang sepeda. "Tapi, aku memang merindukanmu. Sampai-sampai aku ingin selalu memelukmu setiap kali melihatmu."

Ada kesungguhan yang terdengar dari ucapannya. Wajahnya pun tak menunjukkan tanda-tanda jika ia sedang bergurau. Hanya sebuah senyuman tipis yang barangkali sengaja ditampilkan karena keterpaksaan.

"Hei, kau memaafkanku, kan?"

Aku mengangguk. "Aku memaafkanmu kok."

Ia terkekeh sesaat. "Dari raut wajahmu itu, kau seperti sedang menolak permintaan maafku." Ujarnya, ia menghela napas, "Baiklah, kalau kau tak mau memaafkanku, aku—"

Saat kakinya bersiap menginjak pedal, buru-buru aku duduk di boncengan belakang dan menggenggam erat kedua sisi jaketnya. Ia menolehku. Aku mengangkat bahu.

"Sekarang aku terlihat seperti sudah memaafkanmu, bukan?" kataku. "Ayo, kita pulang ke rumah."

"Kau harus pergi ke suatu tempat, bukan begitu?" ujarnya. "Akan kuantar kau terlebih dulu ke sana, lalu kita pulang ke rumah."

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang