[20] Janji Yang Batal

57 17 15
                                    

PAGI di hari Minggu, aku sudah menunggu kabar dari Ryosuke. Namun, sedari tadi ponselku sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda pesan masuk, apalagi panggilan telepon. Aku bahkan harus merelakan tidur pagiku dan bangun lebih awal. Aku juga sempat sarapan pagi bersama kedua orangtuaku—biasanya aku selalu ditinggal sarapan oleh mereka karena tidurku selalu melewati jam sarapan.

Ini masih pukul sembilan lewat tiga puluh. Kudengar dari lantai bawah, Ibu sedang bersenda gurau dengan seorang laki-laki—bukan Ayah, ayahku baru saja pergi ke pemancingan. Suaranya berat dan tidak asing didengar.

Karena televisi belum dinyalakan, aku dapat mendengar percakapan mereka, dan Ibu berkata seperti ini, "Yurika ada di kamarnya. Tumben sekali Gadis Kecilku itu bangun pagi-pagi di hari libur. Kami bahkan sempat sarapan bersama".

Kemudian lawan bicara Ibu tertawa-tawa.

Aku menegapkan tubuh dari kepala kasur saat terdengar bunyi seseorang menapakkan kakinya ke setiap anak tangga. Lalu terdengar bunyi ketukan dari luar pintu. Dengan malas-malasan, aku beranjak dari kasur dan mendekati pintu. Aki muncul dari baliknya setelah kubuka.

Seperti biasa, senyumnya selebar alam semesta dan secerah sinar mentari pagi. Aki mengenakan sweater berwarna biru dan celana training panjang berwarna abu-abu. Ada handuk berwarna putih tergantung di lehernya. Rambutnya yang kecokelatan tampak basah. Ia pasti baru saja selesai lari pagi.

Setelah agak lama menatapnya. Aku baru menyadari jika matanya agak sipit dan kulitnya kuning.

"Jika tahu kau bangun pagi, aku akan mengajakmu berlari mengelilingi komplek."

"Aku tak suka lari pagi."

"Bukankah kau suka olahraga? Mengapa kau tak suka lari pagi?"

Aku memutar bola mata. "Suka olahraga bukan berarti harus suka semua jenis olahraga. Orang yang pandai lempar peluru pun bukan berarti pandai memukul bola voli."

"Kau selalu bangun kesiangan di hari libur."

Sebenarnya, mengarah ke mana sih pembicaraan ini?

"Ada apa sih kau ini, tiba-tiba datang ke rumah." Aku mengalihkan pembicaraan.

"Aku tak tahu ingin melakukan apalagi di hari Minggu yang cerah ini." Ujarnya, "Aku sudah lelah bermain PSP untuk membunuh waktu kosongku. Menunggu jam kerjaku pun masih sangat lama... Oh, omong-omong, aku lupa memberitahumu kemarin. Aku bekerja paruh waktu di kedai Paman dan jam kerjaku dimulai dari pukul lima sore hingga toko tutup, tapi Nenek bilang, aku tak seharusnya pulang semalam itu...."

Aku menghela napas. Sabar mendengar ceritanya.

"Karena Nenek ingin aku pulang ke rumah sebelum pukul sembilan malam. Nenek bilang, aku harus memiliki waktu istirahat yang cukup. Kerja paruh waktuku pun ada lima hari dalam seminggu. Paman bilang, aku bebas memilih hari apa saja untuk tidak bekerja. Asalkan hanya dua hari tak bekerja dalam seminggu."

Lalu ia selesai bercerita. Ia tersenyum. Aku masih menatapnya. Ia tak kunjung-kunjung berbicara lagi, malah memasang raut wajah bingung.

"Dan karena itu.... aku bisa mendapatkan uang sendiri tanpa bantuan Ibu atau Ayah..." ia kembali berbicara dengan tampang ragu. "Aku sudah mandiri sekarang."

Tiba-tiba saja kepalaku terasa pening. Aku memijat pelipisku dan mencoba mencerna semuanya, tetapi semua yang dikatakan pemuda itu sangatlah berbelok dari pertanyaanku.

Wah, bagus sekali, waktuku terbuang sia-sia.

Aku menarik napas. Berusaha sabar. "Kau hebat." Aku tak benar-benar memujinya. "Tapi, aku bertanya alasanmu datang ke rumahku sepagi ini."

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang