[32] Aku Harap Hari Ini Tak Pernah Ada

59 15 3
                                    

RYOSUKE mengirimkanku pesan singkat di Minggu pagi hanya untuk memintaku mengambil buku catatan Ilmu Kemasyarakatan milikku di rumahnya. Beberapa hari yang lalu ia meminjam buku catatanku dan baru saja selesai disalin tadi malam.

Ingin sekali aku memaki pemuda itu. Tidak bisakah ia saja yang datang ke rumahku dan mengembalikan buku catatan itu langsung kepadaku? Mengapa ia terus saja memintaku untuk datang ke rumahnya?

Kuabaikan pesan itu dan melanjutkan kegiatan bermalas-malasan dengan menonton acara komedi di televisi. Lawakan yang dibawa oleh seorang pria kurus berambut kribo tak membuat perutku menggelitik hingga terpingkal-pingkal seperti biasanya. Entah karena aku sudah terlalu sering menonton acara komedi di hari Minggu sehingga aku merasa bosan.

Pada akhirnya, aku hanya merebahkan punggung di sofa sembari mengamati langit-langit ruang tengah. Aku mencoba mengenyahkan wajah Ryosuke dari pikiranku, perlahan mataku terasa berat. Tanpa sadar aku tertidur, kemudian terbangun mendengar suara Ayah yang baru saja pulang dari pemancingan.

Aku pikir, hanya lima menit saja aku tertidur. Tahu-tahu, saat melihat jam di dinding ruang tengah, benda itu telah menunjukkan pukul tiga sore. Aku duduk sebentar di sofa sembari mengumpulkan nyawa yang melayang-layang, lalu mengambil ponsel di atas meja pendek. Pesan singkat dari Ryosuke masih terpampang di layar ponsel.

Aku mendengus sebal. Tak ada pilihan lain selain menuruti pesan dari pemuda itu.

Secepatnya aku membersihkan diri dan berkemas-kemas. Memakai pakaian yang terlalu sederhana, lalu mendatangi rumahnya dengan menumpangi kereta bawah tanah seperti biasanya.

Untuk kali pertamanya, kekesalanku semakin berlarut-larut saat berdiri di depan sepasang pintu berwarna kelabu itu. Butuh tiga kali aku menekan tombol interkom, pintu tersebut pun terbuka, menampakkan seorang pemuda dari baliknya.

Seperti biasanya, pemuda itu menyambutku dengan senyum menawannya. Tapi, lagi-lagi aku tak butuh senyumannya itu.

"Aku pikir kau tak akan datang." Katanya, "Apa kau baru saja membaca pesanku?"

"Ya," sahutku, sekenanya.

Ia mempersilahkanku masuk. Aku pun masuk ke dalam rumah, menutup pintu di belakangku, melepaskan sepatu dan menyusunnya di rak sepatu, kemudian mengekori pemuda itu sampai ke dapur.

"Kau mau teh?" tanya Ryosuke.

Aku diam saja dan pemuda itu langsung mengisi cerek dengan air keran. Barangkali ia berpikir bahwa diamnya aku adalah jawaban dari pertanyaannya. Selesai mengisi air, cerek ia tenggerkan di atas kompor, lalu dinyalakannya api dari kompor.

"Aku tak mau teh," kataku, pada akhirnya. "Aku mau buku catatanku."

Ia menatapku dengan alis terangkat sebelah.

"Aku ingin cepat-cepat pulang ke rumah." Kataku lagi.

Ia masih menatapku. Entah apa yang dipikirkan pemuda itu, aku pun tak tahu. Kuharap ia mengerti dengan apa yang kurasakan sekarang. Namun, bukannya mengerti, ia malah berkata, "Baiklah, tapi tunggu sebentar di sini. Aku akan mengambilnya. Bukunya ada di kamar."

Aku tak habis pikir dengan pemuda itu. Bukankah biasanya ia tahu itu.... Ia selalu tahu jika perasaanku sedang bercampur aduk. Ia tahu jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Tapi, mengapa kali ini ia tak menyadarinya? Seakan-akan ia lupa dengan hari kemarin dan buta untuk membaca isi hatiku.

Ryosuke tak biasanya seperti ini...

Sewaktu ia memunggungiku dan akan meninggalkan dapur, segera aku menarik lengannya. Otomatis pemuda itu berbalik badan dan kembali menatapku. Kini tergambar kebingungan dari raut wajahnya.

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang