[25] Kecemburuan Yang Tak Terlihat

60 16 14
                                    

HUJAN telah mengguyur wilayah Kanto sejak jam lima pagi. Selama musim gugur masih berlanjut, adanya hujan sepagi itu membuat udara semakin menggigit kulit. Beruntunglah Ibu menyerukan namaku dan memberikan jaket sebelum aku meninggalkan halaman rumah.

Hanya saja, yang membuatku sebal saat hujan di pagi hari, sepatu dan kaos kakiku lembap karena percikan air hujan. Payung pun jadi tak begitu amat berguna jika hanya melindungi bagian atas tubuh saja. Barangkali aku butuh payung yang dikombinasikan dengan jas hujan.

Aki, seperti biasanya, berjalan bersisian denganku. Ada payung berwarna hitam yang melindungi atas kepalanya. Ia sama sekali tak terusik dengan ujung celana panjang dan sepatunya yang basah. Ia masih saja menertawakan obrolan kami bersama Ibu dan Ayah saat di meja makan tadi malam.

"Apa boleh buat jika orangtuamu yang memintaku untuk menjadi anak ketiganya. Aku dengan senang hati menerimanya kok." Ujarnya. Lalu, ia terkikik-kikik.

Tentu saja pembicaraan itu sangat menggangguku. Aku tak mau punya saudara seperti dirinya. Dia gila. Barangkali keluargaku bisa ketularan gila.

"Berhentilah bermimpi menjadi saudaraku, Aki." Ketusku. "Kau gila. Keluargaku terdiri dari orang-orang normal. Kau tak boleh menodai orang-orang tak berdosa dengan kepolosanmu yang dipenuhi kedustaan."

"Ibumu bilang, ia akan segera menambahkan namaku di kartu keluarga mereka nanti." Ujarnya lagi, tanpa mengindahkan perkataanku. "Wah, jadi nanti namaku Okazaki Aki." Lalu ia terkikik-kikik lagi.

Aku menghela napas kesal, lelah rasanya membicarakan hal itu sejak kemarin malam. "Terserah kau saja."

Ia yang sedang terkikik-kikik, bak disambar petir langsung berhenti, langkahnya pun juga ikut terhenti. Begitu raut wajahnya menjadi keruh. Aku ikut berhenti dan memandangnya heran. Aku pikir ia sedang ingin buang air.

"Jika aku telah menjadi bagian dari keluargamu nanti, itu berarti kita akan menjadi saudara?"

Aku memutar bola mata. "Menurutmu, kau akan menjadi pengasuhku, begitu?"

"Tidak.... kurasa aku harus segera memberitahu Bibi Keiko jika aku tak bisa menjadi anak angkatnya..." ia lagi-lagi tak mengindahkan perkataanku dan berbicara sendiri.

Otomatis alisku bertaut, masih terheran dengan sikapnya. "Sebenarnya kau ini kenapa sih? Sebentar-bentar ingin menjadi bagian dari keluargaku, sebentar-bentar tak mau."

"Hanya saja..." kini ia melirikku, keningnya tampak berkedut-kedut. Aneh sekali orang ini. "Pokoknya susah dijelaskan. Aku tak mau menjadi saudaramu."

"Mengapa demikian?"

Ia mengalihkan pandangan dan kami kembali berjalan. "Tidak bisa."

Dan aku tak peduli lagi tentang pembicaraan bodoh itu.

"Omong-omong, bukankah lebih baik jika kita pergi ke sekolah dengan mengendarai sepeda ketimbang menaiki bus?" ia mengganti topik obrolan. Kami baru saja melewati gerbang sekolah dan hujan masih senantiasa menggempur bumi.

"Dengan cuaca seperti ini, memangnya bisa kau mengendarai sepeda? Bisa-bisa kau basah kuyup."

"Sekarang sudah abad ke-21. Jas hujan telah diciptakan sejak puluhan tahun lalu. Mengapa sih kau masih berpikiran seperti manusia purba?"

Benar juga katanya, mengapa aku tak kepikiran sampai ke sana.

"Jika bus telah diciptakan untuk mempermudah manusia sebagai alat menjangkau wilayah, mengapa kita harus mengendarai sepeda yang sejatinya kau hanya mendapati lelah karena terlalu lama mengayuh pedal. Sementara bus, kau hanya duduk di kursi penumpang dan menunggu hingga sampai ke tempat tujuanmu." Balasku, tak mau kalah. Aku pun baru sadar jika kata-kataku tadi sangatlah keren.

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang