[30] Kalung Perak Berbandul Bunga Lily

58 16 8
                                    

MESKIPUN aku sadar bahwa aku masih menyukai Aki, bukan berarti aku segera menelepon Ryosuke sepulang dari Chinatown, lalu mengatakan bahwa hubungan kami harus segera diakhiri. Pada nyatanya, aku malah disergap rasa bersalah ketika aku memikirkan Aki dan dirinya dalam waktu bersamaan.

Tetapi aku tak boleh gegabah.

Seperti apa yang dikatakan Nagahama-san beberapa hari yang lalu kepadaku, jika ia berada di situasi seperti ini, ia tak akan menuruti keegoisannya hanya karena memilih cinta pertamanya dan melepaskan kekasihnya, kalau ternyata kekasihnya jauh lebih besar mencintainya ketimbang cinta pertamanya.

Pagi itu, aku hampir saja tersedak teh saat Ibu membukakan pintu depan dan meneriakiku sambil berkata, "Ryosuke datang untuk menemuimu".

Seakan baru saja mendengar pengumuman Perang Dunia Tiga, aku langsung melecat dari kursi dan berlari meninggalkan ruang makan, layaknya para tentara yang akan bertempur.

Aku berhenti tepat di belakang Ibu. Dari ambang pintu, tampak Ryosuke sedang berbicara bersama Ibu. Ia mengenakan mantel selutut yang menutupi kemeja birunya dan sebagian celana jeans berwarna hitam. Kedua orang itu pun menyadari kehadiranku. Ibu menoleh ke belakang, senyumnya masih mengembang. Ryosuke menatapku dengan memamerkan senyum menawannya—percayalah, senyumnya lagi-lagi selalu saja menawan. Namun aku malah melongo memandangnya.

"Dia baru saja selesai sarapan," kata Ibu kepada Ryosuke, "Ryosuke-kun, ayo, masuklah." Ajak Ibu kemudian. Ia pun meninggalkan kami begitu saja.

Ryosuke beralih memandangku. Kini ia tampak keheranan. "Ada apa denganmu? Kau baru saja minum teh?"

Pandangan Ryosuke turun dan berhenti tepat di dadaku. Rupanya, tangkai cangkir masih diapit oleh jari jempol dan jari telunjukku. Cangkir kosong itu terangkat di depan dadaku. Oh, astaga! Betapa bodohnya aku...

Pandanganku kembali beralih kepadanya, "Kau? Ada apa denganmu, sehingga bertandang ke rumahku sepagi ini? Bukankah kencan kita akan dimulai pada pukul sebelas?"

"Sebenarnya ini sudah pukul sepuluh. Aku datang ke sini untuk menjemputmu."

"Aku tahu itu. Tapi, kau tak pernah bilang padaku bahwa kau akan menjemputku ke rumah untuk pergi kencan."

"Aku ingin memberitahumu tadi malam, tapi aku lupa. Memangnya apa yang salah jika pacarmu datang ke rumah dan menjemputmu untuk pergi kencan?"

"Masalahnya aku belum berkemas-kemas, Ryosuke... dan—"

"Apa kita akan berdebat di ambang pintu sampai sore nanti?" ia menyela.

Aku menghela napas pendek sambil memutar bola mata. "Jangan salahkan aku jika kau merasa telah melewati ribuan tahun saat menunggu seorang gadis berkemas dan berdandan." Cetusku. Aku menyuruhnya masuk.

Ia pun melewati ambang pintu dan mengucapkan, "Ojama shimasu", yang kusahut dengan kata, "Kau sangat mengganggu". Selesai ia menutup pintu di belakangnya dan melepaskan sepatu, ia mencubit lenganku—maksudku, ia tidak benar-benar mencubit lenganku, ia hanya menarik lengan long sleeve yang kukenakan—dan aku segera menepis tangannya dari lenganku.

Sebelum aku membawa Ryosuke ke lantai dua, aku pergi ke dapur dan meletakkan cangkir kosong di bak cuci piring. Sementara Ryosuke menghampiri ayahku—omong-omong, Ayah baru saja selesai dengan urusan merawat tanaman-tanamannya di pekarangan belakang rumah—dan menyapanya.

Kami berhenti di depan pintu kamarku dan aku berbalik badan, hendak memberitahukan sesuatu kepadanya.

"Kau boleh masuk ke kamarku setelah aku mengganti pakaian."

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang