[4] Tolong, Aku Butuh Pintu Ke Mana Saja

118 29 54
                                    

USAI menempelkan kartu pembayaran di alat sensor mesin pembayaran, aku duduk di kursi belakang dan menempel di sisi kiri jendela. Ternyata, pemuda itu juga turut duduk di sampingku. Aku berusaha untuk tidak mengacuhkannya. Namun, selama bus membelah jalanan, pemuda itu kembali membuatku kesal. Ia melepaskan earphone-ku dari telinga, lalu ditariknya kedua pipiku—gerakkannya terlalu gesit, sampai-sampai aku sendiri tak dapat mengelak. Aku menjerit, benar-benar menjerit!

"Mengapa kau begitu amat dingin?" ucapnya. Keningnya sesekali mengernyit, sementara aku memukul-mukuli lenganya agar tangannya menjauh dari pipiku. "Kita ini tetangga! Kita juga satu sekolah sekarang! Tidak bisakah kau sedikit bersikap ramah saja terhadapku?"

"Mana... aku... peduli..." Percayalah padaku, sulit sekali rasanya berbicara. "Aku mohon... jauhkan tanganmu... dari pipiku, sialan!"

Kini, aku mencengkeram lengannya. Sayangnya, kuku-kukuku tidak begitu amat panjang, lengannya pun terbalut oleh blazer, keinginan untuk mencakari kulitnya pun gagal.

Namun, aku tak harus repot-repot memikirkan cara lain untuk menyelamatkan pipiku, tangannya mengendur dari pipiku, lalu jatuh ke bawah. Aku langsung mengusap pipiku yang rasanya seperti baru saja dibakar. Perihnya bukan main!

"Kau.... tidak boleh memaki," ujarnya.

Matanya yang takut-takut melirik ke sekitar kami. Kulihat, semua orang di dalam bus memperhatikan kami dengan tatapan menuding. Supir bus yang duduk di depan pun juga turut memandangi kami melalui spion depan.

***

Pemuda itu terus menyerukan namaku setiap kali aku berjalan mendahuluinya. Di depan gerbang sekolah pun begitu, di dalam gedung utama pun begitu, dan di gedung lantai tiga pun begitu. Karenanya, aku yang sebelumnya tak pernah menjadi pusat perhatian setiap pasang mata, sekarang seluruh mata mengarah padaku—terutama pada pemuda itu. Bahkan sesampainya di lantai empat, tepat di depan kelas, ia berseru bak Tarzan yang kaget melihat betapa tingginya Yokohama Landmark Tower.

"Oh! Jadi ini kelasmu, Yurika?!" serunya.

Matanya berbinar mengamati tulisan 3-5 di papan kecil di atas pintu kelas, sementara murid-murid di sekitar menyaksikannya dengan reaksi keheranan. Aku meyakinkan jika pemuda itu benar-benar tinggal di hutan sebelumnya.

"Bagus." Katanya, "Aku harus ke ruang guru sekarang. Sampai bertemu lagi, Yurika!"

Seberisik apa pun suara di sekitar berkat murid-murid yang berbisik-bisik, suara riangnya mampu mengalahkan itu semua.

Usai ia melambaikan tangan dan pergi begitu saja, aku menyadari sesuatu yang tak beres di sekitar. Orang-orang di sekitar memandangiku, tatapan mereka seakan sedang mengintimidasiku. Entah mengapa, keinginan untuk tak mengacuhkannya malah menjadi bumerang bagi diriku sendiri.

"Hei, Yurika. Siapa pemuda tadi?"

Aku menoleh ke asal suara. Ternyata, Nagahama-san sudah berdiri di ambang pintu. Aku mengangkat bahu dan segera melewatinya. Tetapi Nagahama-san mengekoriku hingga aku duduk di bangkuku. Ia duduk di bangku depan, lalu menyelidiki raut wajahku, seakan wajahku baru saja menyimpan sesuatu yang mencurigakan.

Rasanya tak enak dipandangi seperti itu. Aku pun beralih mengeluarkan buku-buku dari dalam tas.

"Kusut sekali wajahmu. Ada apa?" ia pun membuka suara.

"Aku hanya kelelahan." Ungkapku, tanpa menolehnya. Aku lelah karena pemuda tadi.

"Agaknya, aku mengenal pemuda itu," katanya. "tapi, aku tak ingat kapan pernah mengenalnya."

Aku mencoba untuk tidak menyahut perkataannya.

Selang beberapa saat, murid-murid yang sebelumnya berada di luar kelas, berhamburan masuk ke dalam kelas dan duduk di bangku mereka masing-masing. Aku dan Nagahama-san langsung membenarkan posisi duduk kami. Tak ada suara di kelas selain suara tumit sepatu menghentak lantai mendekati pintu.

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang