[10] Malaikat Dan Setan

75 22 24
                                    

"TUNGGU dulu, Teman Lama." Cegahku, sewaktu pemuda itu akan melangkah masuk ke halaman rumahnya. Ia menoleh ke arahku, alisnya tampak terangkat sebelah. "Yang tadi itu, aku tak bermaksud mengajakmu jalan-jalan."

Tiba-tiba saja kedua alisnya menyatu. "Maksudmu, kau baru saja mengajakku berkencan, begitu?"

Entah mengapa, kata 'berkencan' yang keluar dari mulutnya amat sensitif untukku sehingga pipiku kembali terasa panas. Aku nyaris berteriak dan mendampratnya karena menahan malu. Sebagai gantinya, aku melampiaskan kekesalan—serta malu—dengan mendobrak pagar rumah. Dari sudut mataku, ia terlihat sedang menertawaiku.

Sebelum aku membuka pintu rumah, aku berteriak ke arahnya.

"AKU TAK AKAN PERNAH MAU BERTERIMA KASIH PADAMU, MESKIPUN KAU SUDAH MENTRAKTIRKU TADI! DAN AKU TAK AKAN PERNAH MAU BERBALAS BUDI!"

Ia yang tampak sedang memasukkan kunci ke dalam slot pintu, beralih memandangiku dengan senyum selebar alam semesta. Sekali lagi, ingin sekali kudamprat pemuda itu di depan wajahnya.

Sewaktu aku masuk ke dalam rumah, Ibu dan Ayah berada di ruang makan sembari menatapku dengan tampang kaget. Aku pikir, kekesalanku tadi telah membuat kepalaku ditumbuhi tanduk sehingga mereka amat kaget melihatnya. Namun, bukan itu.

"Yurika, kaukah yang berteriak tadi?" tanya Ibu kepadaku, terdengar dramatis. "Mengapa kau berteriak seperti itu?"

Aku menghela napas dan menaiki tangga tanpa menjawab pertanyaan Ibu. Kepalaku mendadak pening, cepat-cepat aku memasuki kamar dan menjatuhkan punggung ke kasur. Perutku yang penuh terasa nyeri akibat berjalan terlalu cepat.

Saat aku terdiam sejenak mengamati langit-langit kamar, perasaanku tiba-tiba saja terasa mengganjal. Mengingat aku yang telah menghabiskan waktu bersama Aki sepulang sekolah tadi, membuatku berpikir-pikir, mengapa pemuda itu mendekatiku lagi? Bukankah ia pernah berkata bahwa ia sangat membenciku saat kami ketahuan sering bermain bersama lalu diejek berpacaran oleh teman-teman sekelas semasa SD? Lalu, bagaimana dengan kekasihnya di Tokyo? Apa hubungan mereka sudah berakhir?

Sebenarnya, saat kelas tiga SMP, aku pernah menyusul pemuda itu ke Tokyo. Dibantu oleh Paman Kawamura yang memberiku alamat rumah, alamat sekolah, serta tempat yang biasa Aki kunjungi sepulang sekolah. Dan Ryosuke juga yang menemaniku pergi ke Tokyo kala itu. Tetapi, sewaktu kami bertemu Aki di Harajuku, perasaanku bercampur aduk melihatnya menggandeng tangan seorang gadis. Aku merasa ciut waktu itu dan seketika niat ingin menyapanya perlahan memudar. Lagi pula, ia pasti tak akan mengenaliku yang terlalu banyak mengalami perubahan ini.

Atau mungkin, ia sudah melupakanku.

Yang kulakukan saat itu, ingin menjumpainya di Tokyo, bukan karena aku merindukannya sebagai teman lama saja. Aku merindukannnya sebagaimana seorang perempuan merindukan seorang laki-laki yang ia sukai.

Dia.... cinta pertamaku.

Kala itu, aku yakin Aki memiliki perasaan yang sama terhadapku, meskipun ia pernah berkata jika ia membenciku. Dan aku meyakinkan jika ia tak benar-benar membenciku. Tetapi, usai menemuinya bersama seorang gadis di Harajuku, aku tak yakin jika ia masih memikirkanku. Apalagi memiliki perasaan yang sama terhadapku.

Perasaanku semakin terasa mengganjal. Aku mencoba menghalau semua pemikiranku tentang Aki. Tetapi, perasaan semacam itu tak gampang dilenyapkan dari benakku, hingga akhirnya aku menyadari penyebab keganjalan di benakku yang terus mendera-dera selain karena Aki. Aku mendelik menatap jam beker di nakas di samping kasur, jarum jam hampir menunjukkan angka delapan. Buru-buru aku mengeluarkan ponsel dari saku rok, lalu mengetik pesan di ruang obrolanku bersama Ryosuke.

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang