[29] Kolam Tempura

50 15 10
                                    

"ADA perlu apa sampai kita harus mendatangi Chinatown?"

Aku turun dari sepeda saat Aki masuk ke dalam gang kecil yang diapit oleh dua bangunan yang menjual oleh-oleh dan masakan China. Di sana tempat parkir sepeda. Aki turun dari sedal, mengunci sepeda dengan gembok, lalu berjalan ke arahku.

"Untuk bersenang-senang."

Kami pun berbarengan keluar dari gang itu. Seakan tak pernah sepi, jalanan di Chinatown selalu saja penuh dengan orang-orang meskipun ini bukanlah hari libur. Toko-toko yang berjajar di kiri dan kanan, tak luput dari ornamen khas China yang meriah dan warna merah yang cukup memicingkan mata. Aku nyaris saja lupa bahwa kakiku bukan menginjak tanah di Yokohama, melainkan di China.

"Huh? Mengapa aku harus ikut bersenang-senang denganmu? Kan aku yang menyebabkanmu patah hati." Kataku. Di sampingku, Aki menoleh dan tertawa kecil.

Tadi, sebelum kami sampai ke area Chinatown, dia berkata bahwa ia sedang patah hati dan penyebabnya adalah aku.

"Kau juga harus bersenang-senang karena kau baru saja menolak pemuda yang terlahir sekali dalam seribu tahun. Tenang saja, sekali lagi kukatakan, aku yang akan mentraktirmu." Ujarnya sembari tersenyum manis. Lalu, pandangannya beralih ke kiri dan ke kanan, mengamati toko-toko di sekitar kami. "Kau ingin makan apa? Masakan China?"

"Aku rasa, kita tak usah memakan makanan yang berat." Ungkapku, tanpa sengaja tak setuju.

"Memangnya masakan China itu makanan yang berat, ya?" tanya Aki. Wajahnya polos.

Bak seorang guru dari taman kanak-kanak, aku pun menyahut dengan sangat girang, "Iya, Aki-kun..."

Ia diam sejenak, matanya lurus memandang ke depan. Keningnya tampak berkedut-kedut, seakan sedang menggambarkan pergulatan pikiran dari dalam kepalanya. Dengan durasi yang cukup lama akan diamnya ia, ia pun bertanya, "Sebenarnya, apa yang salah dari makanan berat?"

Aku memutar bola mata. Keinginan untuk mengikatnya di tiang gerbang Chinatown terbesit di benakku. Namun, kuurungkan. Selain kami akan dijadikan bahan tontonan oleh para pengunjung yang berlalu-lalang, mustahil bagiku untuk melakukan itu.

"Kita akan makan malam bersama Ibu dan Ayah nanti. Perutku akan penuh sebelum makan malam, dan aku tak mau menyia-nyiakan masakan ibuku saat makan malam berlangsung."

Ia terdiam lagi. Entah kali ini karena apa, namun, ia tampak sedang menimbang-nimbangi perkataanku. Aku pun secepatnya berkata.

"Apa kau bekerja paruh waktu sore ini?"

Ia menggeleng. "Aku mengambil libur hari ini."

"Bagus. Itu berarti kau akan makan malam di rumahku, bukan begitu?"

Kali ini ia mengangguk. "Begitulah... Jadi, Yurika, kau ingin memakan makanan yang ringan?"

"Iya," sahutku. Tak lama, mataku menangkap sebuah kedai yang menjual chukaman di seberang sana. "Kau suka chukaman, Aki?" tanyaku. Ia menoleh. Aku pun menyesal telah menanyakan hal itu, "Aku tahu, kau menyukai semua makanan."

Alisnya saling tertaut, memandangku keheranan. Belum ia menyetujui perkataanku, aku menarik tangannya dan kami telah sampai di depan kedai. Kami disambut oleh seorang pria bertampang ramah yang mungkin usianya baru menginjak tiga puluhan. Ia berada di belakang pengukus chukaman yang seketika mengeluarkan kepulan uap saat ia membuka penutupnya.

"Selamat sore," sapanya sembari tersenyum ramah. "Ingin membeli chukaman?"

Aneh sekali pertanyaan pria itu, memangnya kami datang ke kedainya karena ingin membeli obat pembasmi serangga?

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang