[42] Mercusuar

63 14 2
                                    

SEMENTARA Ryosuke masih berjalan, aku menghentikan langkah sembari menatap punggungnya dengan pandangan mengabur. Sesaat aku terisak dan langsung menyeka air mataku dengan ujung lengan jaket. Tapi, semakin aku menyekanya, titik air mata semakin berjatuhan. Ada segerombolan penyesalan yang mendadak menyerang dadaku. Seandainya hari itu, saat Aki memberikan tiket konser musik klasik, dan aku menerimanya, setidaknya Ryosuke masih merasa bahwa seseorang yang penting baginya turut hadir dalam hari terakhirnya menyentuh cello. Meskipun aku dan dia sudah tak bersama seperti dulu, setidaknya aku ada di sana. Lagi pula aku sudah pernah berjanji untuk mendatangi konser terakhirnya. Setidaknya lagi, aku mampu membuatnya sedikit merasa lebih baik, karena aku telah menepati janji yang telah dibuat.

Seakan menyadari jika aku tak lagi berada di sampingnya, Ryosuke berbalik badan. Ia menghela napas pendek dan mendekatiku dengan kening yang berkerut.

Ia berdiri di hadapanku, tangan kanannya terulur mengusap anak sungai di pipiku.

"Maafkan aku." Sesalku, masih terisak. "Seharusnya aku menepati janjiku."

Pemuda itu hanya tersenyum tipis.

"Sekarang aku mengerti dengan ucapanmu waktu itu, saat aku menunggumu berdandan sebelum kita pergi kencan." Katanya, masih mengusap pipiku. "Wajahmu seperti bencana sekarang."

"Kau yang membuat wajahku seperti bencana," keluhku.

Ryosuke menurunkan tangannya dari wajahku, ia tersenyum kecil.

"Lihat!" tunjuknya, saat kami kembali berjalan bersisian. Pandanganku mengarah dengan apa yang ia tunjuk, sebuah bangunan mercusuar. "Kau mau ke sana?"

Tanpa sadar aku mengangguk.

Selama kami berjalan menuju mercusuar, tak ada satu pun dari kami yang mau membuka suara. Hanya ada suara air laut menghempas pasir pantai, suara gulungan ombak yang pelan, dan burung-burung yang bernyanyi di atas langit. Sembari membenarkan rambutku yang terbang akibat angin laut, aku sempat-sempatnya melirik pemuda di sampingku itu. Dari profil wajah menyampingnya, ia tampak begitu tenang, berbeda dengan wajahnya yang terakhir kali kulihat.

"Ryosuke, satu pertanyaan lagi," aku melanjutkan permainan kami. "Apa kau mencintaiku?"

Langkah kami masih mantap menuju mercusuar, sementara angin semakin menerpa rambut kami. Saat Ryosuke menolehku, seketika ujung jemariku terasa sejuk. Aku pun tak mengerti mengapa kata-kata itu bisa keluar begitu saja dari bibirku. Ketimbang aku yang begitu gugup, Ryosuke menatapku seakan aku telah menjadi ikan piranha.

"Aku tak bisa menjawabnya karena pertanyaanmu sudah lebih dari lima." Katanya, yang terdengar seperti mengejek.

"Kau sengaja menghindarinya." Sindirku.

"Bukankah sekarang giliranku mengajukan pertanyaan?" Ia mengalihkan pembicaraan.

"Silahkan."

Saat bangunan mercusuar sudah di depan kami, Ryosuke berhenti ke tepian dermaga, lalu menghadap ke arahku. Ia tak langsung berbicara, matanya terpaku menatapku. Barangkali ia baru saja menyiapkan lima pertanyaan untukku. Namun, ketika pertanyaan pertama tercetus dari bibir tipisnya, isi kepalaku seakan mendadak kosong.

"Seandainya aku mengajakmu kembali seperti dulu lagi, kau mau?" Karena aku tak kunjung menjawab, pemuda itu kembali berkata, "Apa kau sedang berpacaran dengan Aki?"

Aku menggeleng.

"Lalu?"

"Aku tak suka hubungan kita yang ditutup-tutupi di depan orang lain,"

"Berpacaran sungguhan, maksudku," jelasnya. "Bagaimana?"

Aku pun mengangguk. Lalu menghela napas usai menelaah pertanyaannya tadi, "Meskipun itu hanya seandainya."

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang