[22] Bimbang

55 16 25
                                    

SETELAH sejam lamanya aku berdiri di depan ruang Klub Orkestra, Ryosuke memunculkan diri dari balik pintu bersama seorang pemuda berperawakan tinggi dan kurus. Sesuatu berwarna hitam yang mencuat dari balik punggung mereka, dapat kupastikan bahwa itu case cello. Mereka tampak asyik berbicara, sehingga ia tak sadar jika aku berada tak jauh darinya. Tetapi, beruntunglah si pemuda berperawakan tinggi dan kurus itu menoleh ke arahku, lalu menyapa. Ryosuke pun ikut menoleh. Dari raut wajahnya, ia terlihat kaget.

"Hei, Okazaki-san. Kau menunggu Ryosuke, ya?" ujarnya. Ia tersenyum kepadaku dan berganti tersenyum kepada Ryosuke. Sementara Ryosuke masih terperangah menatapku.

"Hei, Mizuno-kun," aku balik menyapanya dan tersenyum. "Ya, aku menunggunya."

"Wah, kau tak boleh membuat seorang gadis menunggumu." Seloroh Mizuno-kun. Ia pun menepuk pundak Ryosuke, lalu berpamitan dan meninggalkan kami.

Sebenarnya, pemuda itu tak tahu amat tentang hubunganku dengan Ryosuke. Yang ia tahu, aku adalah teman Ryosuke sedari SD yang senang menemui Ryosuke di depan ruang Klub Orkestra. Dan saat di tahun pertama di SMA, kami pernah sekelas. Maka dari itu ia juga mengenalku.

Saat Ryosuke menghampiriku, orang-orang yang sebelumnya berada di ruang Klub Orkestra, kini memunculkan diri dari arah pintu. Lorong pun dibanjiri oleh para anggota klub orkestra yang melewati kami.

"Biasanya kau memberitahuku melalui pesan singkat jika ingin menemuiku."

"Kau terkejut ya?" godaku. Ia malah tertawa kecil.

Sebenarnya, aku sengaja tak mengirimkannya pesan. Aku hanya tak mau jika nantinya ia membalas pesanku dengan kata-kata, 'Aku akan pulang sangat sore. Jadi, jangan menungguku. Pulanglah ke rumah'.

"Tapi, sudah berapa lama kau menungguku di sini?"

"Itu bukan masalah." Sanggahku. "Pokoknya aku ingin bermain ke rumahmu sore ini."

Kami berjalan menelusuri lorong, lalu berhenti di loker sepatu untuk mengganti uwabaki dengan sepatu.

"Yurika," panggilnya. Aku menolehnya. Ia sudah selesai memasang sepatu. "Mungkin... kau tak bisa berlama-lama di rumahku."

"Kau sibuk?" tanyaku. Ia mengangguk.

"Sebenarnya aku sudah menjadwalkan latihan untuk konser di bulan November nanti bersama Aida-sensei." Ujarnya. "Sepulang ini aku harus latihan."

"Bersama Aida-sensei? Di rumahmu?" tanyaku lagi, memastikan.

"Tidak. Aida-sensei tak bisa ke rumahku hari ini. Jadi, aku latihan sendiri."

Aku tersenyum. "Tak masalah kok," Kataku. "Lagi pula, aku juga ingin melihatmu bermain cello." Sebelum pemuda itu mengatakan sesuatu, aku langsung berkata, "Aku berjanji tak akan mengganggumu."

Ryosuke diam sejenak sembari menatapku, seakan ia sedang menimbang-nimbangi perkataanku tadi. "Aku mungkin saja tak mempedulikanmu." Ujarnya.

Aku memutar bola mata, berpura-pura sebal. "Aku kan sudah terbiasa."

Pemuda itu malah terkekeh.

***

Selama bus membelah jalanan dan berhenti di sebuah halte. Kami tak berbicara lagi setelah ia membicarakan tentang kemenangan tim orkestra sekolah dalam perlombaan orkestra antarsekolah, dan aku mengucapkan 'Selamat' kepadanya. Aku, maupun Ryosuke, sama sekali tak mau menyinggung masalah kencan kami yang batal di hari Minggu kemarin.

Sesampainya di rumah, ia menjerang air dari cerek, lalu membuatkanku teh. Kami duduk di sofa yang berada di ruang tengah sambil menonton berita dari televisi.

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang