[15] Kekalahan Di Lapangan Basket

81 19 21
                                    

MESKIPUN kami telah berjanji akan bertemu saat makan malam, Aki tak memunculkan dirinya sampai sekarang. Di tengah-tengah makan malam, Ibu dan Ayah juga bertanya-tanya ke mana perginya pemuda itu kepadaku, dan kujawab "tak tahu", karena memang aku tak tahu.

Jadi, kuputuskan untuk pergi ke sebuah lapangan basket di dekat komplek usai makan malam. Tak lupa aku memakai sweater tebal berwarna merah jambu dan celana training panjang, menguncir rambutku dengan getah rambut, lalu memeluk bola basket.

Hanya ada aku sendiri di lapangan basket tersebut, bersamaan dengan bayanganku menggiring bola. Lampu-lampu di tepian lapangan masih saja tak mau menyala, sehingga lampu-lampu jalananlah yang sedikit membantu penerangan di sana.

"Yurika, kaukah itu?"

Aku menghentikan gerakkanku yang siap menembak bola ke ring. Aku menoleh ke asal suara. Rupanya Aki.

Pemuda itu menyeret sepedanya ke tepian lapangan, kemudian memarkirnya. Ia pun berjalan memasuki lapangan.

Sekarang, berdirilah ia di depanku. Tanpa sadar, bola basket yang tadi kupegang terturun ke bawah.

"Kau tak ikut makan malam bersama kami." Kataku.

"Paman memerlukanku untuk membantunya di kedai tadi sore," ujarnya. "Jadi, aku sekalian makan malam di sana." Aki mengernyitkan dahi, tangannya terangkat mengusap tengkuknya. "Maafkan aku karena tak memberitahumu. Ibu dan ayahmu pasti mencariku, ya?"

Aku mengangkat bahu. "Mereka terus bertanya, 'Ke mana Aki? Ke mana Aki?' kepadaku, sampai-sampai aku ingin pergi dari rumah saja." Jawabku, berpura-pura merasa muak.

Aki terkekeh sembari melirik bola di tanganku. "Takayama-kun bilang, kau jago dalam bermain basket."

Tangannya pun menggapai bola dari tanganku, sehingga benda itu telah berpindah tempat.

"Ayo, kita bermain basket." Ajaknya.

Alis sebelahku tertarik ke atas saat melihatnya memantul-mantulkan bola di lantai bersemen dengan ujung jemarinya. Ingin sekali kutanyakan, sudah berapa banyak yang ia ketahui tentangku dari Takayama-kun—yang merupakan teman sekelas kami. Tetapi, pertanyaan itu kuurungkan saat ia kembali berbicara.

"Dari raut wajahmu itu, kau terlihat seperti sedang meremehkanku." Ungkapnya, ada rasa jengkel yang terdengar dari nada bicaranya. Padahal, aku tak bermaksud meremehkannya. "Aku menantangmu."

"Menantangku?" ulangku, meyakinkannya. Setelah ia mengangguk, aku malah tertawa. Kini, barulah aku sungguh meremehkannya. "Tak ada yang bisa mengalahkanku, meski dia seorang laki-laki."

Tampak seringaian dari bibir pemuda itu. Ia mengangkat bahu, "Lihat saja nanti. Pokoknya, yang kalah akan mentraktir yang menang makan di McDonald's."

Ia mulai menggiring bola ke tengah-tengah lapangan dengan langkah yang pelan dan aku berjalan sejajar mengikutinya.

"Huh? McDonald's lagi?"

"Mengapa? Kau tak mau? Atau sebenarnya kau takut?"

"Takut?" aku berhenti melangkah bersamaan dengan langkah pemuda itu. Bola masih memantul-mantul di lantai. "Tentu saja tidak! Aku terima tantanganmu."

"Baik. Pertandingan kita berlangsung selama setengah jam. Dimulai dari sekarang."

Setelah bersiap dan memberi aba-aba, pemuda itu melambungkan bola ke udara. Dengan gerakkan gesit, aku mendapati bola itu dan langsung menggiringnya menuju ring—sebenarnya ada dua ring, namun kami sepakat memakai satu ring saja. Aki mengejar dan menghadangku, ia berusaha menangkap bola yang kupantul-pantulkan ke kiri dan ke kanan. Tampak sekali jika ia kesusahan menggapai bola.

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang