[43] Sebelum Malam Natal

59 13 4
                                    

BERITA pagi di televisi bilang, memasuki akhir Desember, setiap harinya suhu udara akan semakin turun. Memang benar, hari ini aku hampir saja membeku di depan sepasang pintu berwarna kelabu bersama tas berisikan dorayaki buatanku sendiri.

Berpuluh-puluh menit lamanya aku menunggu, salah satu pintu ditarik seseorang dari belakang. Dari celah, tampak seorang pemuda berpenampilan berantakan dengan piyama kusut yang masih membaluti tubuhnya, begitu juga dengan rambut hitam pendeknya yang tampak berdiri bak bulu singa. Matanya yang berat, menyipit memandangku, tangannya terangkat menggaruk belakang kepalanya.

Aku nyaris memaki di depan wajahnya.

"Baru datang?" tanyanya, suaranya terdengar serak dan berat, khas orang baru bangun tidur.

"Hampir satu jam." Keluhku, sengaja menekankan kata-kata terakhir.

Sementara aku mendorong pintu, pemuda itu mundur dan membiarkanku masuk.

"Kau lupa ya dengan janji kita?"

"Memangnya ini sudah pukul berapa?" ia bertanya balik. "Bukankah kau yang datang terlalu awal dari jam janjian kita?"

"Sudah siang hari, Ryosuke, dan kau baru saja bangun tidur!" pekikku.

Usai aku menutup rapat pintu di belakang, kudorong pinggangnya hingga ia tersandung undakan. Beruntunglah wajahnya tak mendarat ke lantai karena tangannya amat tangkas menggapai dinding untuk menahan tubuhnya yang limbung.

"Tidak bisakah kau bersikap lebih lembut terhadap pacarmu sendiri?" kesal Ryosuke.

Aku membuntutinya sampai ke dapur usai melepaskan mantel dan menggantungnya di penggantung.

"Bila kelakuan burukmu itu kau buang, aku bisa melakukannya."

Ryosuke pun berlalu menuju kamar mandi setelah ia menawarkanku untuk ikut mandi bersamanya, dan aku tentu saja menolak tawarannya dengan rasa jijik—sejujurnya aku tak benar-benar merasa jijik.

Kuletakkan tas kecil berisi sekotak dorayaki di atas meja makan, dan kulihat ada sepiring nasi serta lauk-pauk yang dibungkus dengan plastik. Kupikir Ibu Ryosuke-lah yang membuatkan makanan tersebut untuk anak laki-lakinya itu, yang seharusnya makanan tersebut dimakan saat sarapan bersamanya. Aku pun memanaskan makanan tersebut dengan microwave sembari menunggu Ryosuke selesai mandi.

Semenjak tangan kiri Ryosuke tak dapat digerakan dan membuatnya tak bisa bermain cello, kebiasaan buruk Ryosuke yang sebelumnya tak pernah ada, kini malah terpampang nyata. Contohnya sekarang ini; di setiap hari libur, ia akan bangun dari tidurnya pada siang hari—itu pun bila aku mengirim pesan dan meneleponnya berkali-kali, mengingatkan akan janji yang biasanya kami buat di setiap hari libur. Padahal kalian pun pasti tahu bahwa Ryosuke merupakan pemuda yang disiplin, yang mana selalu bangun pada pukul enam pagi.

Sewaktu-waktu, aku tak bisa menahan diri saking kesalnya dan langsung bertanya penyebab dari kelakuan buruknya itu, ia pun menjawab bahwa ia sering terjaga setiap malam hanya untuk menonton pertunjukan sulap di YouTube, menonton film dari DVD, dan termenung dalam waktu yang lama bersama lantunan musik klasik. Ia bilang, ia tak tahu mau melakukan apalagi selain ketiga itu, ditambah belajar untuk masuk perguruan tinggi. Ia bisa saja lebih cepat tertidur karena telah lelah mengingat banyak partitur dan menekan senar cello, lalu bangun lebih awal di hari libur hanya untuk mengulangi dengan apa yang ia kerjakan semalam. Karena ketiga kegiatan itu tak membuatnya selelah bermain cello, maka dari itu ia lebih sering terjaga hingga subuh hari.

Begitu, aku tak pernah lagi menanyakan itu.

Usai Ryosuke mandi dan berkemas-kemas, ia pun datang ke ruang makan setelah aku membuat teh. Ia menarik kursi dari dalam meja, lalu duduk. Di hadapannya telah tersedia makanan—yang seharusnya menjadi sarapan paginya—yang telah kupanaskan serta sepiring dorayaki buatanku.

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang