[9] Dia Bilang Aku Cantik

101 24 29
                                    

SETELAH menghabiskan seluruh pesanan dan beristirahat sebentar, aku dan Aki pergi ke pusat perbelanjaan dengan diet coke di tanganku. Sebenarnya, diet coke yang kupesan hampir tak kusentah karena telah tergantikan oleh McFloat. Maka dari itu, aku membawanya. Lagi pula, jika kubiarkan di atas meja, akan menjadi sangat sia-sia. Kami kan membelinya dengan uang, bukan dengan daun ginkgo.

Omong-omong soal uang, saat kutanya berapa uang yang harus kuganti di McDonald's kepada Aki, ia bilang bahwa aku tak perlu menggantinya. Ia memang sedang ingin mentraktirku. Aku pun tak mengatakan apa-apa lagi setelahnya.

Aki mengajakku berjalan-jalan ke tempat barang-barang elektronik. Sewaktu kami melihat-lihat mesin cuci, ia berkata bahwa ia ingin sekali mengganti mesin cuci milik neneknya yang telah usang dengan yang baru. Ia juga ingin membelikan neneknya sebuah alat penyedot debu. Katanya, penyedot debu milik neneknya sudah tidak dapat digunakan lagi. Sayangnya, ia tak memiliki banyak uang untuk mengabulkan keinginannya itu.

Usai berjalan-jalan di pusat perbelanjaan tanpa membeli satu barang pun, aku berniat ingin pulang. Namun, sewaktu kami akan menyeberangi jalanan, pemuda bodoh itu malah menarik pergelangan tanganku. Dan aku terpaksa tak jadi menyeberang.

"Kau lapar?"

Sebelah alisku terangkat, "Lapar?" ulangku.

Ia mengangguk. "Omong-omong, kau tahu di mana kedai udon milik pamanku?" tanyanya.

Aku mulai mencurigai pemuda itu.

"Jangan bilang kalau kau ingin mengajakku makan di kedai udon milik pamanmu itu." Selidikku.

"Tidak kok. Aku hanya bertanya saja."

***

Nyatanya, pemuda itu malah membawaku pergi ke kedai udon milik pamannya di Nishi Ward.

Aku berhenti melangkah tepat di depan noren kedai. Aki yang telah lebih dulu melewati noren juga ikutan berhenti dan melongokkan kepala dari balik tirai berwarna merah itu.

"Aku tak mau makan lagi." Tuturku, takut-takut jika ia kembali memesan banyak mangkuk udon nantinya. "Jadi, aku hanya menemanimu saja."

Aki hanya manggut-manggut.

Saat kami memasuki kedai, aroma gurih dari sup udon membuat perutku mendadak kosong. Padahal, sebelumnya perutku terasa amat penuh berkat Big Mac, cheeseburger, dan kentang goreng.

Kuamati sekitar ruangan ini. Sedari dulu, interior di kedai ini tak pernah berubah. Ada dua meja persegi panjang untuk duduk lesehan yang menempel di dinding; empat tempat duduk dengan kursi untuk dua orang di tengah-tengah ruangan; ada juga dua tempat duduk dengan empat kursi masing-masing yang juga berada di tengah-tengah ruangan; juga banyak kursi di meja konter. Setengah dindingnya menggunakan kayu dengan cat berwarna cokelat kekuningan yang tampak di pernis, sebagiannya lagi menggunakan kertas dinding berwarna krem. Ada pigura foto yang menampilkan sebuah keluarga dengan ayah yang berada di atas motor bersama kedua anaknya, lalu ibunya duduk di bawah tanah menyandari motor sembari memangku seorang bayi. Foto itu diambil sekitar puluhan tahun yang lalu—terlihat dari fotonya hanya mengandalkan warna hitam dan putih. Lalu, ada beberapa tanaman imitasi yang berada di setiap sudut ruangan dan tirai-tirai berwarna putih serta lampion berwarna merah membatasi dapur dengan ruang makan yang menggantung di langit-langit.

Aku dan Aki duduk di kursi yang menghadap konter. Dari balik kaca yang berembun, seorang pria kurus bertampang ramah memunculkan diri. Mulanya ia menyapa kami sembari tersenyum, tetapi raut wajahnya mendadak berubah. Ia mendelik memandangi kami secara bergantian, lalu berhenti di Aki.

Season To Choose YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang