4. Ohayou, Tokyo!

33.4K 3.7K 88
                                    



Setelah urusan di imigrasi selesai kami bertiga langsung ngacir nyusul rombongan yang kayaknya udah bete karena kelamaan nungguin gue, Vivi dan Rama. Bodo amatlah, resiko ikut tur.

Terus ada sesosok pria nyamperin gue bawa-bawa bendera dan spanduk.

"Kamu Anggrahani?" Tanya dia.

Gue cuma bisa nganggukin kepala soalnya... cuuuy, ini sosok asli Mas Tama nih? Beneran? Ganteng, cuy! Seumuran gue nih kayaknya, hahaha. Idungnya beneran mancung dan ituuuu yang di pipi apa? Lesung? Ya Tuhan gemesssss. Manis banget.

Dia menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan gue. Nyetrum gak ya?

"Kenalkan, saya Tama. Pemandu grup selama seminggu ke depan." Dia tersenyum, membuat lesungnya tercetak sempurna. Terus tangannya terulur untuk bersalaman.

Gue genggam telapak tangannya yang hangat. "Saya Hani." Duh ini tangan.. lepas jangan nih?

Akhirnya dia duluan yang lepas tangan karena mau salaman sama Vivi dan Rama juga.

"Maaf ya Mas, jadi kelamaan nunggu kami." Ucap gue tulus. Beneran tulus kok ini, bukan modus.

Mas ganteng hanya senyum sekilas. 

"Sudah lengkap ya berarti kita? Total enam belas orang termasuk saya. Empat anak-anak dan sisanya dewasa. Sebelum kita lanjut ke bus, saya hanya mau mengingatkan perihal cuaca di Tokyo empat hari ke depan. Di luar sedang hujan dengan intensitas sedang, suhu kurang lebih dua belas derajat celcius, jadi yang gak tahan dingin silahkan dipersiapkan jaketnya, coatnya, atau apapun yang dapat melindungi dari cuaca dingin." Jelas mas ganteng untuk mengingatkan kami.

"Selama empat hari cuaca di Tokyo akan sedikit berangin dan turun hujan." Lanjutnya.

Orang-orang sibuk pakai segala macem baju hangat. Heboh pokoknya karena kesenengan. Gue santai aja sih, masih bulan Oktober mah kuat aja gue walau cuma pake outter jeans gini. Buat jaga-jaga gue juga bawa long coat, tapi masih gue simpen di koper. Nanti aja kalau kepepet.

"Kalau begitu kita langsung saja menuju halte bus. Tolong diperhatikan temannya ya supaya tidak tertinggal."

Begitu keluar dari bandara, gue merasakan hawa dingin nembus ke tulang. Tapi masih bisa gue tahan lah dinginnya. Sok-sok an sih!

Momen menunggu bus ini digunakan sama rombongan tur untuk mengambil foto. Selfie sana-sini pokoknya mah. Bahkan salah satu rombongan ada yang ngevlog!

Terus gue takjub banget sama orang Jepang yah, saat cuaca lagi sedingin ini mereka mau ngantri loh buat nunggu bis, rapih lagi barisannya.

Terus gue takjub banget sama orang Jepang yah, saat cuaca lagi sedingin ini mereka mau ngantri loh buat nunggu bis, rapih lagi barisannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gila rapih banget!" Gue langsung mengarahkan lensa kamera ponsel untuk mengambil gambar ini.

"Kalau di Jakarta, pada ngeriung depan pintu ya? Terus masuknya pada rebutan."

"Iya, bener banget!" Jawab gue. Eh.. suara siapa tuh barusan?

"Kamu juga naik transportasi umum di Jakarta?" Tanya mas Tama lagi. Kok dia bilang kamu...? Nah gitu dong, gak usah pakek Bu lagi! Masih dua tujuh lho, gue.

"Iyaaaa dong. Saya gak bisa nyetir mobil, motor gak punya. Solusinya ya naik Transjakarta." Jelas gue semangat sambil berbohong dikit karena aslinya mah sama aja kayak rider kalau udah nyetir.

Suasananya jadi canggung setelah gue diam karena dia gak menanggapi gue. Sial. Ini cowok cakep-cakep irit banget kalo ngomong. Kok bisa-bisanya jadi tour guide?

Gue pura-pura aja celingukan nyariin Vivi yang udah sibuk jadiin Rama fotografer dadakan. Udah gue bilang kan itu syaratnya mereka boleh ngintilin gue? Setidaknya mesti ada effort yang dikorbankan meskipun jadi tukang potret doang!

Terus ini masnya gak mau pergi? Mau di samping saya terus tapi diemin saya gini biar beku? Ah elah males gue kalo begini. Gak seru!

"Mas... ngg, tolong fotoin saya, dong." Pinta gue. Sok akrab banget ya? Bodo!

"Boleh, sini." Yesss.

"Keliatan tulisan Narita-nya, yah." Gue menyerahkan kamera DSLR gue ke mas Tama lalu dia menerima kayak setengah hati gitu. Sabar aja gue mah. Heuh untung lu ganteng!

"Satu.. dua.. tiga."

Setelah itu dia memperlihatkan hasil jepretannya, keren sih. "Ih baguuus, lagi dong. Fotoin saya pas lagi ngomong keluar asapnya, candid gitu, ya?"

"Kamu sebelah sini kalau gitu. Supaya kelihatan asapnya." Ucapnya menunjuk tempat yang dianggap bagus.

"Okeeee."

"Sebentar- malah backlight..."

"Terus gimana?"

"Nah.. sudah sudah disitu aja, pas, sip, cantik."

Fak. Apa tuh yang terakhir kata dia? Cantik? Baper jangan, nih? Kagak elah, gitu doang. Hih.

"Siap ya? Satu.. dua- Sorry saya angkat telfon dulu." Dia beralih untuk bicara di telfon sebentar, gue masih nungguin dia. Bukan, bukan karena gue kesem-sem dan kegatelan. Kamera gue masih dipegang dia cuy! Kalo dibawa kabur gimana? Oke gue lebay.

"Busnya sudah mau datang. Ini..." Ucapnya buru-buru sambil menyerahkan kamera ke gue. Yah gajadi deh gue foto candid. Padahal sudah dibilang cantik. Hehehe.

"Oke teman-teman, tolong siap-siap ya. Bus sebentar lagi datang. Dan.. karena supir bus kita orang Jepang asli, mohon untuk tertib saat masuk ke dalam bus, ya? Antri seperti yang kita lihat di depan. Bisa yah?" Kata mas Tama mengingatkan.

Rombongan gue ngumpul lalu mulai berbaris dengan rapih. Gue milih untuk ambil antrian paling belakang, sengaja sih, supaya bisa deketan sama mas ganteng, hehehe. Kemudian satu-persatu rombongan kami memasuki bus.

Seperti yang gue duga, Vivi masih marah sama gue karena Rama gue katain bego, dia gak mau duduk bareng gue dan milih duduk sama Rama di bangku nomor dua di belakang supir. Gue lihat yang lain udah pada duduk sama pasangan masing-masing. Mesti ganjil banget nih jumlahnya? Elah... harus banget gue sendirian gini di belakang?

Gue berjalan gontai ke bagian belakang bus sampai akhirnya ada tangan ibu-ibu yang nahan tangan gue.

"Depan kosong tuh, Mba. Sama masnya aja duduknya."

Sialaaaan. Gue kan jadi seneng, hehehe.

Gue tersenyum sopan sebelum menjawab, "Iya, bu, gak apa-apa saya di belakang aja."

"Iya, sudah di depan aja tuh, jangan sendirian di belakang." Ucap suami ibu tadi ikut-ikutan. Gue sih mau aja, tapi...

"Sini duduk sama saya." Nah, gitu dong. Pasti tau kan itu suara siapa?

"Yaudah kalau dipaksa mah..." Kata gue pasrah.

Gue balik lagi ke depan dengan tampang sok, duduk di depan Vivi. Mas Ganteng sebelah gue malah senyam-senyum, tapi kayak senyum ngeledek. Sehat Mas?

Note :

Mumpung lagi lancar.... hehe

Selamat membaca ^,^

TOKYO, The Unexpected GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang