Ternyata foundation level maksimum milik Vivi gak bisa membantu banyak. Sisa-sisa nista itu masih kelihatan.
Gue menyesal karena sudah meremehkan cuaca Jepang di bulan Oktober untuk kesekian kalinya. Di hari pertama gue sok-sokan gak pake coat, sekarang hari terakhir gue menyesal gak membawa syal. Kan kalau bawa, gue kagak perlu repot mikir gimana cara nutupinnya.
Gue putuskan untuk menutupi jejak nista itu dengan menempelkan koyo, saran dari Vivi. Ditambah geraian rambut panjang gue yang gue biarkan jatuh menutupi leher.
Panas banget, cuy! Tapi mau gimana lagi?
Selain pakai koyo, gue juga meminta bantuan sunglass gue kali ini supaya kalau nanti berpapasan sama Tama gue bisa pura-pura gak ngeliat.
Gue pun gak ikut sarapan unuk terakhir kali ini. Gue memilih menghabiskan stok mie instant di koper untuk menu sarapan. Gue juga gak mau ikut briefing, bodo amat lah biar Vivi sama Rama aja. Gue nanti langsung masuk ke bis aja dan duduk di deretan paling belakang.
"Duduk sama gue, Vi!" Perintah gue gak mau ditawar.
Vivi nurut, untungnya dia kalem gak bacot kayak tadi pagi. Ketika di bis gue duduk di deket jendela biar doi gak bisa lihat gue. Pokoknya gue mau mendem dulu!
Rama dimana? Dia tidur di pojokan. Ngantuk berat katanya.
"Selamat pagi, teman-teman. Gak terasa yah kita sudah dipenghujung hari di Jepang."
"Waktu pertama datang disambut hujan, ketika pulang juga disambut hujan. Cuaca di Tokyo kali ini memang di luar dugaan, orang-orang pun bingung juga kenapa bulan Oktober bisa sedingin ini. Harusnya cuaca seperti ini baru mulai di November awal. Akibatnya perjalanan kita ke gunung Fuji waktu itu jadi gak maksimal. Puncak gunung Fujinya gak bisa kelihatan karena tertutup kabut."
"Iya, Mas. Tapi pemandangan depan hotel waktu itu indah banget, jadi terbayar lah." Salah seorang Ibu-ibu yang gue gak kenal bicara.
"Semoga di lain waktu teman-teman semua punya kesempatan untuk ke Jepang lagi, ya. Karena sebenarnya masih banyak lagi objek wisata yang lebih keren lagi."
"Ada yang ingin menyampaikan kesan selama di Jepang mungkin?"
Masih dalam balutan kaca mata hitam, gue melirik Vivi yang kelihatan gak semangat. Entah dia sedih karena liburan sudah mau habis atau masih kesal? Tapi terakhir dia ngomong kayaknya Vivi udah gak mempermasalahkan 'itu' lagi, kan?
"Dari yang duduk paling belakang mungkin ada yang mau disampaikan?" Sengaja ya milih dari belakang!
Vivi baru akan mengangkat tangan sebelum Adam yang duduk bareng salah satu adik kembarnya, udah teriak, "Adam mau cerita doooong, Om."
Mungkin Tama berharap gue yang bakal bicara, tapi kan gue lagi pura-pura tidur!
"Oke silakan, Adam mau cerita apa?"
Semua rombongan menoleh ke tempat duduk Adam yang udah siap banget untuk bicara. Ih cerdas banget sih!
"Adam kan mau beli robot yang waktu itu di tunjukkin sama Om Tama, tapi kata Tante Hani robotnya gak boleh dipegang soalnya harganya mahal... terus pas Adam bilang sama Mamah...." merasa nama gue disebut, gue bangun dong. "Katanya harusnya beli aja, kan Mama udah nitip uang. Eh Tante Hani malah nyuruh liat-liat doang." Serombongan pada ketawa termasuk Tama.
Pandangan gue menuju Mamanya Adam yang udah nyengir denger anaknya ngomong. Gue buka kaca mata gue dan melongok sedikit ke samping kursi, "Maaf Buu, saya sama sekali gak tau kalau Adam mau beli robotnya. Soalnya menurut saya emang... mahal banget."

KAMU SEDANG MEMBACA
TOKYO, The Unexpected Guy
Chick-LitSebagai seorang backpacker, Hani sudah tidak asing lagi dengan yang namanya liburan. Gadis itu berharap di tengah hiruk-pikuknya kota Tokyo dia dapat menyelesaikan misi rahasianya . Tapi justru saat liburannya ke Jepang, dia menemukan perbedaan dari...