32. Narita Airport

25.3K 3.1K 38
                                    

Narita kelihatan lebih sepi dibanding saat pertama gue menginjakkan kaki disini. Langit kota Tokyo juga seakan mewakili perasaan anggota tur gue yang kayaknya berat banget mau pulang, mendung kelabu plus hujan deras. Rasanya kalau bisa sih mereka pengennya sebulan disini. Lain cerita sama gue, yang kayak abis ngelepasin beban berat yang sudah gue tanggung bertahun-tahun. Kepulangan ini seperti titik awal bagi gue.

Gue bersyukur banyak cerita dan pengalaman yang gue dapatkan melalui tur yang katanya low budget ini. Gak hanya tentang tour guide ganteng, masalah gue dan Bayu juga hampir selesai. Kenapa gue bilang hampir? Lo pada gak lupa kan sama ancaman dia?

Vivi menyarankan agar gue lebih dulu masuk ke imigrasi, untuk cari aman aja. Jadi lah gue antri untuk check-in palingr wahid. Tama masih ikut mendampingi, katanya sih sampai di sini tuh bener-bener responsibilities-nya yang terakhir.

Dia gak banyak bicara. Jujur gue senang karena Tama beneran menunjukkan sikap profesionalnya di momen terakhir ini. Setidaknya potensi gue buat baper-baper najis gitu berkurang. Setibanya gue di Jakarta nanti gue mesti buru-buru minta wejangan dari Dirga nih.

"Arigatou gozaimasu..." Ucap gue kepada staff cantik yang sedang melabeli koper yang gue bawa.

"Haik.. arigatou gozaimasu.." Balasnya.

Gue berjalan memasuki antrian imigrasi sendirian meninggalkan Tama. Mungkin rombongan gue yang lain masih pada belanja di duty free. Dan gue benar-benar lupa untuk ngucapin salam sama Tama, malah nyelenong begitu aja. Ya sudah lah, mau gimana.

Gue mencoba menghubungi Vivi, nitip Tokyo Banana semua rasa buat oleh-oleh karena gue belum sempet beli pas di Tokyo.

"Banyak banget sih kak? Buat siapa aja?" Keluhnya dari sana.

"Buat ayah itu. Gue gak tau ayah suka rasa apa, beli aja semuanya. Nanti gue ganti uangnya gak usah khawatir!"

"Iya yaudah."

Gue menghembuskan nafas. Jadi inget Tama lagi deh, kan dia yang nyaranin beli snack khas Jepang buat temen kopi ayah.

Terus ini apa lagi nih? Pas body checking gue dipaksa kudu ngelepas syal yang lagi gue pake? Haduh gimana dong?

"Please... leave it."

Gue gak mau nyari ribut lagi nih sama orang yang bahasa Inggrisnya limited begini, jadi ya udah gue buka aja. Untungnya, cuy, mereka tuh semua profesional. Biar ini bekas nista kelihatan jelas banget, mereka gak peduli kok. Hehehe.

Walaupun keberangkatan gue masih setengah jam lagi, gue merasa lega udah masuk ke imigrasi. Artinya kesempatan buat berhadapan sama Bayu sudah hampir nihil dong? Tapi gue merasa ada yang masih mengganjal. Pengennya tuh balik gitu, terus pamitan sama Tama secara baik-baik juga. Tapi gengsi perempuan kan sulit dikontrol!

"Your attention please... passanger of Japan Airlines on flight numbers... Ms. Anggrahani Kusuma Adinata... please leaving for... would you please...?"

Eh? Sumpah sih ini kuping gue budek beneran apa ya? Itu tadi nama gue dipanggil lewat announcement? Pas pengumuman diulang lagi gue memasang telinga baik-baik, mungkin aja gue salah dengar. Tapi gue terganggu sama panggilan telfon dari Vivi.

"Halo kak? Lo dimana?"

"Gue udah ngantri di imigrasi. Kenapa?"

"Balik balik! It is okay miss because we are in one group? she is my sister..." Ngomong sama siapa Vi?

"No. We need her figure here!" Sahut suara lainnya.

"Halo Vi? Kenapa deh?"

"Lo tunggu aja deket tempat ngecek paspor nanti ada yang jemput lo!"

TOKYO, The Unexpected GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang