30. Do we have the same feeling?

26.6K 2.9K 36
                                    

Ingin sekali rasanya gue berteriak ketika gue melihat pantulan bayangan di cermin toilet wanita ini.

Jadi, setelah negosiasi sengit perihal syal itu gue akhirnya kalah. Tama bener banget, bekasnya malah makin merah karena gue tempelin koyo. Gue berkali-kali mengingatkan Tama supaya dia gak kepo lagi, terlebih sampai penasaran pengin lihat wujud asli jejak nista ini kalau sudah gue lepas koyonya.

BIG NO!

By the way, cuuuy! Di ponsel gue ada ratusan pesan dan panggilan tidak terjawab dari Bayu. Gak ada satupun pesannya yang gue baca. Jujur mengabaikan orang yang semalam nampar lo itu berat bagi gue, maunya sih gue jawab terus gue maki-maki, gue keluarin sumpah serapah. Tapi kan gue gak bego, iya kalau berhasil buat Bayu sadar, kalau enggak? Gue takut masih kemakan omongannya dia lagi, percuma aja dong usaha gue, sia-sia kalau gue masih aja bego begini. Gue bisa aja menonaktifkan ponsel, tapi khawatir ada telfon dari Indonesia atau Vivi, jadi hanya gue silent.

Terus bener aja kan, ada yang nelfon. Melalui WA Tama menghubungi gue dan menyuruh untuk segera keluar karena kita mau makan siang. Tanpa menjawab gue melangkah keluar meninggalkan toilet.

"Lho? Tasya kok masih di sini? Mama kamu belum datang?" Tanya gue ketika melihat Tasya masih ada di samping Tama.

"Katanya sudah nunggu di bus."

Tuh kan! Mamanya bohong. Dari awal gue yakin Mba Salma cuma nitipin anaknya supaya bisa jalan berdua sama suaminya.

Bukan gue merasa direpotkan, ya sedikit sih, tapi yang paling gue antisipasi tuh bacotan Tama yang suka nggak pake otak. Ngeri dia tiba-tiba melepas syal yang sedang gue kenakan ini terus tuyul-tuyul pada ngeliat hal yang gak seharusnya dilihat anak kecil.

"Eh itu udah dilepaskan koyonya?" Tanya Tama.

"Hm."

"Kok hm?"

"Udah Tama!"

"Saya boleh liat gak?" Ledek dia membuat gue melotot. Lama-lama dia jadi mesum deh!

Sumpah kalau gak ada Tasya sama Adam disini mah udah gue tampol mulutnya Tama.

"Bercanda bercanda. Serem banget mukanya." Katanya lagi.

"Nggak lucu!" Pekik gue supaya dia sadar dia gak bakat ngelawak.

"Saya kan cuma mau liat. Kalau kamu gak kasih izin untuk dilihat ya gak apa-apa, toh semalam juga sudah lihat."

Gue mendengus emosi, "Jujur nih... Saya gak masalah lagi ya kamu mau bertingkah sekonyol apapun. Tapi ngomong kayak gitu di depan anak kecil sepertinya kurang pantas."

"Lho? Memangnya saya ngomong apa?"

"Kamu dari tadi bahas itu mulu! Pengang tau kuping saya dengernya. Lagian kan kamu yang bikin semuanya jadi begini. Saya gak nyuruh kamu berantem sama Bayu! Saya gak minta kamu bawa masuk ke kamar!" Keluar sudah...

"Jangan emosi gitu lah! Saya juga gak akan sampai kesitu kalau gak kamu izinin." Sahutnya santai. Ya gimana nggak ngizinin kalau setan udah bisik-bisik begituuuuu?

"Kok kesannya dari tadi saya yang salah, saya yang gak berpikir panjang, saya yang bodoh sudah ngizinin stranger kayak kamu untuk nyiu-"

"Kamu masih anggap saya stranger, Hani?"

"Do you have any evidence to support your statement that you're wellknown person in my life? In case... kamu memang temennya Bayu, tapi buat saya kamu itu asing! Saya gak pernah mengenal kamu sebelumnya. Kamu tiba-tiba aja sok akrab sama saya! Tiba-tiba jadi sok manis pinjemin saya payung, nemenin saya jalan-jalan, rangkul-rangkulan, jadi tukang foto, dampingin saya ketemu Bayu! Sok akrab banget!"

TOKYO, The Unexpected GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang