8. Vending Machine

28.3K 3.2K 139
                                    



"Mount Fuji?"

"Iya. Besok pagi baru lanjut ke Tokyo."

"Bolak-balik, dong? Bikin badan pegel aja." Keluhnya dari sana.

"Namanya juga paket ekonomis." Gue teken sekalian tuh kata ekonomisnya.

"Kamu hati-hati, ya. Jangan maksain gak pake jaket. Disana dingin banget. Lebih dingin dari Tokyo, bisa minus suhunya. Aku gak mau kamu sakit."

"Iya."

"Aku sayang kamu, Hani."

"Hm."

"Begitu dapat day free kamu langsung hubungi aku ya!"

"Istri kamu gimana?" Tanya gue memastikan.

"Gak apa-apa. Gak akan ketauan kalau kita hati-hati."

Sambungan telfon itu langsung terputus.

Brengsek, kan?

Gue menyimpan ponsel ke dalam saku. Lupain, Han, lupain!

Bus yang kami tumpangi sudah mulai melaju menuju Gunung Fuji. Selepas makan siang tadi mood gue merosot sampe level bawah tanah karena dapat balasan pesan dari si brengsek. Gue gak mau ngomong dan diajak ngomong. Jadinya gue memilih duduk di belakang. Mingkem aja sambil balesin chat dari brengsek. Sengaja sih duduk di belakang, biar Vivi gak tau kalau barusan gue telfonan sama si brengsek.

"Oke teman-teman. Kita mampir ke rest area sebentar ya? Yang mau buang air silahkan, yang mau ngopi boleh, yang mau ngerokok tolong masuk ke smoking area. Sepuluh menit cukup ya?"

"Cukuuuup."

Begitu bus berhenti gue bangkit dan ikut turun. Hanya beberapa orang sih yang turun dan lebih banyak yang laki-laki.

"Kak lo mau ngapain?" Tanya Vivi yang kayaknya gak ikutan turun. Gue lihat Rama pules banget tidurnya, paling mau kelonan lagi ni bocah.

"Pipis." Jawab gue.

"Titip kopi buat Rama, sama cokelat panas ya."

"Hm." Gue nyahut sekenanya aja dah. Males ngomong.

Gue pipis kan. Sepi rest areanya, gak padet kayak di Cipali pas lagi musim mudik. Jorok toiletnya. Gue pernah trauma karena liat wc yang belom disiram, masih ada tambang emasnya, huwek. Dan selayaknya Jepang lah ya toilet umumnya tuh bersiiiih banget, jauh lah sama yang di Indo. Sori-sori aja nih, hehehe.

Setelah itu gue mampir deh ke minimarket, gue lihat laki-laki dari rombongan gue pada ngumpul di depan sebuah vending machine.

"Permisi ya, Pak... hehe" Gue menyapa mereka yang lagi pada ngobrol.

"Oh iya-iya, silahkan..."

"Mau pesan kopi mba?" Tanya salah satu Bapak-bapak itu dengan ramah, dia lagi mencet mencet mesin itu sedangkan gue ngantri di belakangnya.

Gue mengangguk, "Buat adik saya tuh, malas turun katanya."

"Iya nih, anak-anak saya juga males turun, dingin. Terus istri minta yang anget-anget."

Gue senyum menanggapi. Di peluk erat dong Pak, istrinya biar merasa hangat!

"Iya Pak, enak dingin-dingin gini ngopi. Biar hangat." Sahut gue. Ngopi anget apalagi sambil peluk-pelukan kayak Vivi sama Rama, beuh... kalah bed cover!

Awas aja bablas tuh anak dua. Gue lempar ke depan Shinkansen kalau iya.

"Mas Tama sekalian ya? Ini..." Setelah kopinya keluar Bapak itu menghampiri mas Tama yang gak tau ada dimana. Gue gak liat sih.

"Saya traktir, Mas." Ucap bapak itu.

"Repot-repot nih, Pak... terima kasih." Gue bisa dengar jawaban Mas Tama.

Gue masih memilah-milah menu yang terpapar di mesin ini. Banyak banget macemnya. Dan lumayan mahal, cuy, 250 Yen. Lu itung sendiri dah berapa rupiah tuh satu gelas kopi. Lalu gue melihat di atas mesin ini ada semacam layar LCD yang menayangkan proses kopi itu di buat di dalam mesin ini.

"Jadi yang buat kopinya manusia, ya? Semacam operator gitu dong?" Tanya gue sama diri sendiri. Udah rada gila emang.

Tiba-tiba mas Tama berdiri di sebelah gue. "Mesinnya bertugas menyampaikan pesanan, setelah itu yang proses ya si mbak itu. Terus mesinnya juga yang nganterin kopinya keluar. Mesin sebagai media aja." Jelas mas Tama.

"Terus ini gimana caranya?! Saya mau pesen tiga cup tapi beda rasa semua." Semprot gue yang gak ngerti apa-apa. Ndeso emang. Ngakunya doang sering backpacker, padahal mah jiwa nyuruh-nyuruh nya udah mendarah daging sampe gak ngerti pesen kopi sendiri. Lha nyadar?

"Masukin uangnya dulu, terus pilih mana aja yang mau di pesen."

Gue melakukan apa yang diarahkan mas Tama. Kopi satu, cokelat panas satu, dan buat gue matcha latte deh, mumpung di Jepang yekan.

"Gini?"

"Iya."

"Udah...."

"Terus pencet tombol merah."

"Kembaliannya?"

"Nanti keluar dari lubang ini. Recehan biasanya." Dia menunjuk suatu lubang di mesin itu.

Gak lama, gue pun mengambil kembalian itu, dan beneran recehan koin cuy. Nyesel gue gak pake pecahan kecil aja tadi.

"Jangan lupa dihabisin recehnya, kalau sisa gak bisa dituker. Biasanya orang Indonesia remeh soal ini, pas dihitung kurs nyesel deh gak dibelanjain disini."

"Iya ngerti, nanti saya habisin Yen saya semua disini, biar makin kaya deh Jepang." Jawab gue asal.

"Kalau ini vending machine buat rokok ya, Mas Tama?" Tanya Mas Hendra yang memang juga ada disini.

"Iya, Mas. Di Jepang, biarpun rokok dijual bebas di mesin seperti ini, anak kecil gak akan bisa beli."

"Kenapa?" Sela gue ikutan nimbrung sambil nungguin pesanan kopi gue keluar.

"Disini nih..." Dia menunjuk satu kotak persis kayak yang ada di ATM gitu untuk top up e-money. "Ini fungsinya untuk scan kartu identitas. Jadi kalau mau beli rokok harus pakai KTP."

"Oooh..." Gue mengangguk diikuti dengan Bapak-Bapak yang lain. Keren lah Jepang!

Pesanan gue satu persatu keluar. Gue ambil satu-satu. Mampus lah tangan gue udah penuh nih, terus yang punya gue gimana bawanya? Masa gue gigit gitu bawanya?

"Saya bawain sini. Mari pak, mas, segera naik. Kita lanjutkan perjalanan." Ucap Mas Tama mengingatkan kami.

"Makasih." Kata gue pelan banget.

Kami semua sudah berada di bus. Setelah menyerahkan pesanan Vivi, yang memang lagi asyik banget kelonan berdua sama Rama, gue memutuskan untuk duduk di depan lagi. Mau gue awasin mereka! Pokoknya besok gak gue kasih kesempatan nempel-nempel begitu. Enak aja!

"Nih. Suka matcha?"

Oh iya gue lupa minuman gue dibawaain dia.

"Hm. Ini masih jauh gak sih Fujiyama? Capek." Tanyaku terus terang. Capek hati gara-gara si brengsek.

"Nanti dipake coat atau jaketnya! Di atas makin dingin, bisa sampai minus, apalagi hujan begini." Kata Mas Tama.

Anjir mau sedingin apa lagi? Di Odaiba aja tadi gue tremor sampe pingsan.

"Saya gak mau kamu pingsan lagi." Lanjutnya membuat gue jadi keinget samasi brengsek.

Note:

Terima kasih sudah membaca :)

TOKYO, The Unexpected GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang