14. Chit-chating

24.5K 3.3K 136
                                    


           

Di luar perkiraan pagi ini gue bisa melihat sinar matahari di Jepang. Tapi tetap aja dingin. View kamar hotel gue kali ini adalah jalan tol dan jejeran gedung-gedung tinggi. Gue bisa melihat bagaimana sibuknya penduduk Tokyo saat pagi begini, berlalu-lalang lengkap dengan office suit yang kece abis.

Karena hari ini cerah, ada sedikit perombakan pada jadwal kegiatan kami. Mas Tama menyarankan kami untuk mencoba transportasi umum di Tokyo yaitu kereta. Ketika briefing pagi setelah sarapan, dia membagikan kami topi berwarna biru sebagai penanda rombongan.

"Tujuan pertama kita akan ke Yoyogi Park. Saya ingatkan kembali untuk tidak lupa membawa paspor. Di luar negeri paspor itu seperti nyawa kita."

Gue membuka tas untuk memastikan kalau paspor gue gak ketinggalan. Aman.

"Ketika di kereta saya usahakan agar kita berada dalam satu gerbong. Saya perlu bantuan dari Bapak-Bapak untuk ikut mengawasi anggota tur terutama yang membawa anak-anak."

Lalu kami semua siap menuju stasiun dengan berjalan kaki. Stasiun sudah gak terlalu ramai karena sudah lewat jam sibuk.

Saat tiba di tujuan pertama kami, gue langsung menyibukkan diri untuk motret sana sini. Puas banget gue cuacanya bagus gini. Tapi yang bisa gue potret cuma pohon sakura yang lagi garing, gak keliatan kalau ini di luar negeri. Gue berasa kayak lagi di Kebun Raya Bogor jadinya.

Mas Tama berjalan beriringan dengan gue. Hari ini dia pakai long coat hitam, jeans denim, dan sepatu Onitsuka warna putih. Ditambah sunglass yang nyangkut sempurna di atas hidung mancungnya.

Ganteng.

"Kalau mau lihat bunga Sakura datangnya bulan April. Pucuk pertama tumbuh bulan Februari, puncaknya ya pas April. Disini bakal penuh sama turis lokal maupun mancanegara." Jelas Mas Tama.

"Jadi nyesel kesini pas cuaca buruk gini." Umpatku.

"Nanti kesini lagi sama saya." Kata Mas Tama. Gue gak kaget lagi sama modusan dia karena udah mulai bisa menyesuaikan diri dengan sikapnya yang begini.

"Gak ada niat ke Jepang lagi setelah ini. Kapok!" Sahut gue.

"Belum. Nanti pasti ada." Hiiih optimis sekali anda!

"Tapi saya gak mau yang murah gini!" Kata gue menyombongkan diri.

Dia terkekeh. "Kalau gitu nanti sama saya bakalan lebih proper dari ini."

"Mahal ya?" Tanya gue. Seekonomis-ekonomisnya tur gue ini, tetap aja Jepang tuh serba mahal!

Dia hanya mengangkat bahu. "Relatif."

"Yaudah nanti honeymoon aja saya kesini lagi, biar suami saya yang keluar uang!" Gue ngasal sih ini. Terus Mas Tama ketawa ngakak.

"Yaudah nanti saya yang kelar uang." Sahutnya.

"Ngok!"

Mas Tama ketawa ngakak lagi. Murah tawa banget, Mas?

Rombongan udah pada berpencar. Vivi sama Rama udah gak tau lari kemana. Lo pasti tau kampret disebelah gue gak bakal pergi.

"Kamu sejak lulus kuliah di Bandung kerja dimana?" Tanya dia.

Gue menoleh kebingungan. Kok dia tau?

"Kamu jurusan Sastra Inggris kan, kalau saya gak salah?" Gue hanya bisa mengangguk pelan menaggapinya.

"Saya ingat kita satu fakultas. Saya ambil Bahasa Jepang. Saya pernah lihat kamu waktu Festival drama. Kamu tampil jadi penyihir deh kalau gak salah."

"Berarti kamu senior saya?" Tanya gue.

TOKYO, The Unexpected GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang