Bus yang kami tumpangi sudah sampai di Odaiba. Mungkin karena hati gue lagi dongkol, perasaan tuh dari Narita ke Odaiba jaraknya sama kayak Jakarta-Tokyo. Lama!
Semua rombongan bersiap-siap untuk turun.
"Kita sudah sampai di Odaiba. Di luar masih hujan ya? Teman-teman sudah siap dengan payung atau jas hujan?" Ucap mas Tama yang entah kapan berdirinya tau-tau udah di tengah megang mikrofon lagi.
"Dibawa gak payungnya?" Tanya dia lagi.
"Bawaaaaa..." Sahut rombongan.
"Alhamdulillah gue bawa. Lo gak bawa, Kak?" Tanya Vivi ke gue.
"Punya gue di koper. Lupa ngeluarin. Lo bawa gak, Ram? Berdua aja sama Vivi." Kata gue sedikit panik. Ya gimana gak panik, kamera gue nanti kehujanan gimana? Gak bisa dipake jadinya.
"Gak bawa dia. Ini kita buat berdua." Jawaban Vivi membuat gue amat sangat kecewa.
Ah tahik banget! Gue melihat lagi keluar jendela, gerimis doang kan? Ya udahlah yaaa...
Begitu turun dari bis, gue beku cuuuy! Dingin banget sumpah. Bangke! Gue tau sih dari pas turun pesawat aja di bandara tadi udah berasa dingin, tapi gak pake angin-anginan yang kenceng kayak gini juga!
Mas Tama menuntun kami menuju tempat yang dijadikan meeting point. Letaknya seperti di dalam sebuah mall, tapi lebih keren dari mall.
Gue gak mau panggil dia mas ganteng lagi untuk saat ini. Pesonanya lagi ketutup mendung!
"Kita punya waktu dua jam untuk keliling Odaiba sebelum makan siang. Jam sebelas lewat lima puluh lima sudah harus kumpul disini lagi ya. Kembali saya ingatkan jamnya disesuaikan dengan waktu Jepang, jangan ada yang pakai waktu Indonesia ya. Bedanya dua jam lebih cepat dari WIB."
Begitu selesai briefing gue langsung ngacir nyari spot foto. Ngacir sendirian. Jalan-jalan menyusuri Odaiba Decks sambil menikmati pemandangan Teluk Tokyo yang diselimuti awan mendung. Sialnya gue gak berani ngeluarin kamera dari case karena gerimis dan gue gak pake payung. Shit! Seorang backpacker amatir, iya gue tau.
Holy shit ketika gue gak sengaja melihat pasangan Jepang yang sedang asik berciuman di tengah rintik hujan begini. Dingin-dingin yekan? Ngotot lagi ciumannya. Kalau aja gak gerimis udah gue foto pake kamera deh, hahaha. Sayang aja belom lunas, takut rusak.
Dari kejauhan rombongan gue udah siap untuk foto bersama di depan replika Liberty. Gue masih jauh, gak kuat jalan cepet-cepet. Dingin, cuy! Langkah kaki gue otomatis melambat. Gue memeluk badan gue sendiri, badan gue semua gemetaran. Ih pengen balik ke bus aja rasanya.
Lalu gue liat Vivi melambaikan tangan ke arah gue. "Kakaaaaak, buruan sini, foto dulu!"
Gue mencoba mempercepat langkah gue untuk menyusul mereka. Ini salah satu yang gak gue suka kalau ikut tur, ribet pake foto bareng-bareng gini. Setelah gue sampai, mas Tama meminta bantuan orang untuk mengambil gambar kami.
"Pakai kamera saya juga dong. Tolong, dia kan pakai payung tuh, sekalian." Kata gue menyodorkan kamera.
Tanpa banyak bicara mas Tama lalu menyerahkan kamera gue kepada orang itu.
Setelah selesai berfoto-foto kami semua bubar lagi. Gue sendiri masih cari spot yang kelihatan Jepang banget. Bagus banget sih gedung-gedungnya, padat tapi rapih. Hujannya berhenti kek, biar kamera gue ada fungsinya ini. Gue gak suka selfie, tapi karena gak ada yang bisa dimintain tolong, mau gak mau gue selfie deh. Terpaksa.
Mana dingin banget, rambut gue udah lepek karena gerimis. Badan gue makin tremor.
"Nih!" Tiba-tiba ada seonggok payung yang udah terbuka di depan gue.
"Apaan nih?"
"Payung."
Ya gue juga tau kalau ini payung, ganteeeeeng. Terus kenapa di kasih ke gue? Biar bisa sepayung berdua juga kayak yang lain? Ogah yah gue masih gengsi.
"Buruan pegang!" paksanya.
"Gak perlu. Makasih." Lalu gue melengos pergi begitu saja. Tapi mas Tama nahan gue.
"Baru hari pertama udah nyari penyakit. Nyesel lho, nanti. Nih pegang! Saya punya satu lagi. Jangan hilang ya!"
Gue mengambil payung itu terpaksa. Yakali hilang, emang iya bakalan gue jual nih payung? Engga kan!
"Sini kalau mau foto mulut keluar asap." Tawarnya mengingat yang tadi belom kelar.
"Eh? Gak usah. Saya selfie aja."
"Udah siniin kameranya! Mumpung di Jepang, lho." Mas Tama mengambil paksa kamera yang gue kalungin di leher. Iya sih, mumpung. Tapi gue malah merasa kalau kalimat mas Tama tuh artinya gue gak akan pernah ke Jepang lagi?
"Sini nih, supaya kelihatan tulisan Odaiba-nya." Katanya mengatur. Gue sih nurut aja yekan kalau demi kebaikan hasil foto. Yang penting mas ganteng ini gak kepo-kepo lagi lah, terutama masalah pribadi.
"Kamu jangan kaku gitu, dong. Rileks aja!"
"Gini?"
Gue berusaha serileks mungkin, tapi tetap aja kaku! Gue gak pake jaket, cuy!
"Gak gitu, kamu malah keliatan kayak mannequin."
Gue paham banget sih maksud mas Tama baik, supaya foto keliatan bagus. Tapi dengan kondisi kedinginan begini mana bisa gue rileks coeg?! Masih bisa berdiri aja sudah bersyukur gue. Belom lagi ini kepala yang mulai nyut-nyutan kena air hujan tadi. Di tambah lagi baju gue yang sumpah demi apapun gak layak dipakai saat suhu mencapai sepuluh derajat celcius gini?
"Saya mau balik lagi deh ke bus. Dingin, gak tahan." Ucap gue jujur akhirnya.
"Kamu gak bawa jaket?"
"Masih di koper."
"Ayo ambil! Saya antar."
Gue udah siap banget tuh melangkah tapi kayak ada yang menahan tubuh gue sampe gak bisa gerak. Gue kaku.
"Mas...dingin."
Lalu semuanya gelap dan gue udah gak tau lagi apa yang terjadi.
Note :
Iya, yang ciuman itu juga benar adanya! Wkwkwk.
Maaf ya... dari awal saya sudah pernah bilang kalau ini pengalaman pribadi, jadi malah kayak curhat gitu.
Selamat menikmati :)
KAMU SEDANG MEMBACA
TOKYO, The Unexpected Guy
ChickLitSebagai seorang backpacker, Hani sudah tidak asing lagi dengan yang namanya liburan. Gadis itu berharap di tengah hiruk-pikuknya kota Tokyo dia dapat menyelesaikan misi rahasianya . Tapi justru saat liburannya ke Jepang, dia menemukan perbedaan dari...