Tama membawa gue masuk ke dalam kamar hotel dia dan Rama untuk alasan yang tidak jelas. Gue tau gak seharusnya gue kesini. Terlalu beresiko. Apalagi kalau sampai nanti Rama masuk dan liat gue ada di dalam sini. Tapi gue udah gak bisa berpikir lagi sekarang. Tenaga gue sudah terkuras habis gara-gara si brengsek.
Tama meminta gue untuk menunggu di balkon. Lagi, untuk alasan yang tidak jelas, kenapa mesti di balkon?
Dia keluar, mau nyari sesuatu untuk kompres pipi gue katanya. Langit malam di Tokyo kali ini gak begitu bagus. Pasti akan hujan dan suhu semakin turun. Gue gak mau memikirkan keadaan si brengsek. Bodo amat!
Setengah jam kemudian Tama kembali dengan sekantung es batu di tangannya.
"Susah nih nyari es batu disini." Ucapnya jutek.
"Ini kamu dapet dari mana?"
Dia gak jawab. Hanya fokus meletakkan es batu itu di atas pipi gue perlahan-lahan, ngompres yang ada ceplakan tangan.
"DINGIN!!!!" Pekik gue. Gimana gak, cuy, ini Tokyo lagi autumn, malem-malem, di balkon, terus pipi lo di tempel es batu?!
"Tahan lah. Biar gak bengkak!"
"Pake handuk hangat aja deh, dingin banget." Keluh gue.
"Banyak mau!" Bentak Tama yang bikin gue syok. Dia gak pernah kayak gini, cuy!
Gue diam akhirnya. Walau badan sedikit tremor. Paling gak bisa cuy gue kedinginan.
"Lima tahun saya di sini, gak pernah sekalipun terlibat masalah." Ucapnya penuh penekanan. Gue tau dia lagi nyinyir.
"Saya gak nyuruh kamu terlibat dalam masalah." Sahut gue terus terang.
"Kamu minta saya dampingi kamu."
"Tapi saya gak pernah nyuruh kamu buat nonjok anak orang kayak tadi!" Pekik gue.
"Kamu berterima kasih harusnya, saya sudah wakilin kamu menghajar dia."
"Excuse me? Saya hanya minta didampingi, masalah saya hajar dia atau enggak itu urusan saya!"
Dia diam, tapi sengaja neken es batunya kenceng-kenceng ke pipi gue biar makin nyeri.
Bagus. Dia juga ikut kesel sama gue.
"Biar saya aja." Kata gue mengambil alih tapi tangan Tama menepis tangan gue. Gak kasar si, tapi tetep bikin gondok. Dia masih fokus ngeliatin keadaan pipi kiri gue.
"Aw sakit!" Gue meringis kesal membuat dia menghentikan aktivitas itu. "Sini ah biar saya aja yang kompres. Kamu nekennya kuat banget!"
Akhirnya Tama ngalah dan ngasih es batu itu ke tangan gue. Gue tempel pelan-pelan karena, cuy, tenaga cowok gak bisa diremehin! Ini nyerinya sampe kayak migrain lho!
Gue menatap Tama yang sedang nyender di balkon. Mukanya kelihatan banget nahan emosi.
"Tama!"
"Hm?" Dia menoleh.
"Sini deh nunduk!" Suruh gue.
"Mau ngapain?" Tanya dia tapi tetap melakukan apa yang gue suruh.
"Nunduk tapi tetap hadap saya mukanya." Setelah posisinya pas gue menempelkan es batu ke sudut mata dia yang bengkak karena ditonjok Bayu tadi.
Gue masih meyakinkan diri bahwa Bayu melakukan itu karena gue duluan yang mulai. Dia gak mungkin mau nyakitin fisik gue dengan sengaja.
"Kamu pake tonjok-tonjok dia sih tadi, jadi ditonjok balik deh." Kata gue yang menyesal sudah menyuruh Tama ikut nemenin gue tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOKYO, The Unexpected Guy
ЧиклитSebagai seorang backpacker, Hani sudah tidak asing lagi dengan yang namanya liburan. Gadis itu berharap di tengah hiruk-pikuknya kota Tokyo dia dapat menyelesaikan misi rahasianya . Tapi justru saat liburannya ke Jepang, dia menemukan perbedaan dari...