39. One Problem Left

35.5K 3.9K 317
                                    

A.N: Sila cari posisi yang paling nyaman dulu sebelum membaca, karena chapter ini mengandung >3000 kata😅😅

"Tama! Kalau kamu melangkah lebih jauh dari situ, aku beneran gak mau liat kamu lagi!" Jerit gue. Iya ini tuh beneran yang kayak gue teriak gitu, membuat langkahnya terhenti tapi nggak lama setelah itu dia tetep nyuekin suara gue.

Gue kejar dia lalu menyeret paksa supaya dia masuk ke kamar gue lagi, dengan susah payah. Enak aja main pergi-pergi begitu setelah 38 chapter berhasil bikin gue baper! Nggak bisa nggak bisa!

"Kenapa lagi?"

Gue genggam tangannya erat-erat. "Kamu... beneran mau pergi?"

Dia mengangguk.

"Aku...aku... minta.. maaf." Anjir lah susah banget ngomong begini doang.

Dia melepaskan genggaman tangan gue di tangannya.

"Aku bener bener minta maaf, Tama. Aku kelepasan tadi."

"..." Gak ada tanggapan.

Oke, dia bener-bener marah kali ini. Dan itu semua salah gue. Gara-gara gengsi sialan itu semuanya jadi begini. Rasain lu, Hani!

Tama berjalan meninggalkan gue lagi. Bedanya kali ini gue merasa harus buntutin dia. Gue gak mau ditinggalin begitu aja.

Dia menghampiri Ayah dan Ibu gue yang sedang ngobrol sama sanak saudara. Gue udah lemes aja deh ngeliatnya, pasrah, gak ngerti harus gimana lagi kalau dia beneran ninggalin gue.

Ibu terkejut ketika dia berpamitan. Ayah juga sama kagetnya. Mereka berdua ini gue perhatiin kayak udah naro harapan besar sama Tama sejak gue pulang dari Jepang. Mungkin karena mereka nggak perlu mengkhawatirkan hubungan terlarang gue dengan Bayu lagi. Apa lagi Ayah kenal sama ayahnya Tama kan.

"Kok udah mau pulang?"

"Ada pekerjaan mendadak, Bu."

Rasanya gue mau teriak 'Bohooong Ibuuuu, dia bohoooong!'

"Nginep aja nggak apa-apa nanti tidur di kamar Eja." Ayah ngomong gitu tulus banget dari hati. Bukan cuma basa-basi, karena yang gue tau dari mulai Vivi, Rama, Ayah sampai Ibu juga ikut di lobby sama Tama jadi ya wajar kalau mereka welcome, ya kan?

Gue masih nggak paham kenapa tour guide bohongan kayak dia punya skill bikin orang di sekitarnya nyaman.

Kemudian rasa bersalah gue semakin menjadi-jadi. Sudah segitu niatnya dia, harus mengalah sama sifat kekanakan gue. Terus gimana dong ini? Dia udah terlanjur kecewa sama gueee.

"Kerja dia, Yah...."

"Kalau pekerjaannya sudah selesai kan bisa balik lagi, Bu."

"Kasihan lah bolak-balik. Ayah ini gimana...."

"Nanti pas resepsi kalau bisa ya datang lebih awal, Mas! Mau ngukur baju, nanti dipakein seragam keluarga."

Pipinya Tama jadi kemerah-merahan gitu setelahnya. Ya ampun ini kalau gak inget dia lagi ngambek udah gue telen kalik nih orang sangking gue gemesnya!

TOKYO, The Unexpected GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang