34. Voice Call

26.2K 3.2K 94
                                    

Nyatanya gue gak berhasil menghubungi Tama karena semua kontaknya gak aktif. Vivi datang setelah ayah pulang. Hal pertama yang dia lakukan adalah ngasih kabar mengenai rencana pernikahannya yang dipercepat. Saat bicarain itu mukanya kelihatan pucat pasi. Gue rasa sih karena rasa bersalah, mungkin.

Setelah itu gue minta penjelasan dari dia mengenai Tama yang bisa tahu kontaknya ayah. Pasti dia kan yang ngasih tau.

"Sekarang gue tanya ya Vi sama lo. Mau lo tuh apa sebenernya? Ini kelewatan sih mengingat lo sampai melibatkan ayah." Tuntut gue.

"Dia minta kontak ayah. That's it. Gue aja kaget dia bisa kenal sama ayah. Orang dia mintanya begini, saya boleh minta kontak Pak Angga? Lah yaudah dong gue kasih aja." Jawabnya mulai nyantai. Gak seperti tadi.

"Ya tapi kan-"

"Kakak! Lo jujur aja sama gue. Selama di Jepang tuh lo lebih banyak spent waktu sama dia. Sampe pernah bermalam lagi! Masa lo gak ada perasaan sama sekali gitu ke dia?" Vivi mengambil nafas sejenak sebelum dia mulai lagi.

"Tau gak kenapa gue bisa semangat gini? Masalahnya kak, dia udah seniat itu ceritain semuanya ke gue sama Rama tentang perasaan dia dan keluarganya. Oke gue tau gak boleh percaya begitu aja sama dia, tapi mengenal dia dulu gak salah kan? Terusnya lagi, ternyata dia anak temennya ayah. Dari keluarga baik-baik pula. Lo tega?"

"Vivi-"

"Gue gak minta lo untuk ujug-ujug jadian sama dia sih. Kayak anak kecil itu mah, udah umur segini masih pacar-pacaran! Gue yakin kalian juga udah saling paham, kan? Tapi kenapa lo gak mau buka hati dikiiiiit aja? Jangan jadi cewek jahat kak! Sorry to say ya, lo tuh ignorant banget ke dia gue perhatiin."

"Atau lo masih keinget Bayu ya kak?" Lanjutnya curiga sama gue.

"Dengerin gue dulu!" Pekik gue.

"Oke, gue diem." Akhirnya gue bisa menghentikan Vivi.

Setelah tadi berargumen sama ayah, sekarang lawan lo Vivi. Semangat, Hani!

"Delapan tahun gue sama Bayu." Gue diam sejenak sebelum meneruskan, "Delapan tahun bukan waktu yang singkat, Vi. Dan gue baru aja ditinggalin sama dia setelaah delapan tahun sama-sama. Lo gak pernah tahu rasanya ditinggal nikah kan? Lo gak perlu menata hati lo lagi karena Rama jelas bakal nikahin lo! Enak ya jadi diri lo, gue iri."

Begitu gue mengucapkan itu tiba-tiba Vivi mengambil posisi untuk berlutut disamping ranjang gue. Bahunya gemetar dan gue yakin dia lagi nangis. "Sumpah kak! Demi lo gue bisa batalin pernikahan gue kalau itu mau lo. Gue juga pengennya lo duluan. Gue gak pernah ada maksud buat dahuluin lo kak. Gue minta maaf."

Dan kalimat gue itu berhasil membuat keadaan antara Vivi dan gue semakin akward. Bagus Hani, lo udah bikin adik lo semakin benci sama lo!

Gue turun dari kasur secepat kilat untuk menghentikan Vivi. Mengabaikan nyeri luar biasa di punggung tangan gue karena selang infus gue lepas, kecabut paksa.

"Vi, maaf. Bukan itu maksud gue."

"Nggak kak. Ini tuh selalu kejadian kalau gue mulai bahas tentang itu dan lo jadi emosional. Gue bisa ngerti kak. Gue akan bicara sama Rama dan ayah nanti. Asalkan lo mau maafin gue kak, maafin diri lo sendiri juga."

Vivi bener. Drama kayak gini tuh udah sering banget kejadian. Mungkin ini juga menjadi puncak emosinya gue dan Vivi.

"Vivi udah dong. Jangan gini. Gue gak peduli lagi tentang itu. Semua cuma masalah waktu Vi, udah ada yang ngatur, kok. Kita tuh gak punya power apa-apa buat ngehandle masalah itu. Yang gue mau cuma nengangin diri setelah lepas dari Bayu. Bukan gue gak mau buka hati buat orang lain, bukaaan. Tapi cara Tama deketin gue itu cuma kurang tepat aja."

TOKYO, The Unexpected GuyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang