45

22.3K 1.3K 27
                                    

***

Sudah berjam-jam Vina belum sadar. Vina langsung ditangani oleh dokter saat dia dibawa ke rumah sakit. Vina lumayan kehilangan banyak darah. Untungnya, darah bergolongan darah B tersedia banyak di rumah sakit sehingga mereka tidak perlu orang untuk mendonorkan darahnya.

Vino duduk di dekat pintu keluar-masuknya dokter-dokter. Vino menunggu kabar terkini tentang kondisi Vina. Vino ingin memastikan bahwa Vina tidak apa-apa.

Vania dari tadi tidak berhenti menangis. Vina adalah anak satu-satunya. Mana mungkin dia bisa merelakan anaknya pergi. Vania sangat berharap Vina masih ada.

"Vin!" Panggil Alika sambil menghampirinya.

Alika langsung menarik kerah baju Vino dengan kasar. Matanya sembap akibat menangis dari tadi.

"Kalau sampe Vina gak bangun, gue gak akan pernah maafin lu," ucap Alika dengan air mata yang terus mengalir.

"Al udah!" Nala dan Seli berusaha untuk memisahkan Vino dan Alika. Mereka tidak mau terjadi perkelahian di rumah sakit.

"Kalian tau kan ini salah dia semuanya, Vina gak akan kaya gini kalau dia gak sama Rayna," ucap Alika dengan emosinya.

"Tapi kamu kaya gini gak akan nyelesain masalah Al, tenang dulu," ucap Nala sambil mengusap punggung Alika.

Alika melepaskan kerah baju Vino lalu dia dibawa oleh kedua temannya menjauh dari Vino. Mereka berusaha untuk menenangkan Alika.

Alika mungkin wajar marah kepada Vino. Dia sudah bersahabat dengan Vina dari lama dan mereka masih dekat hingga saat ini. Alika pikir Vino bisa menjaga Vina dengan baik, namun Alika salah.

Kemudian seorang dokter keluar dari ruangan. Vino dan beberapa orang yang dekat dengan Vina langsung menghampiri dokter itu.

"Gimana dok?" Tanya Vino. Dia berharap Vina tidak apa-apa.

"Vina hingga saat ini belum sadar, kami akan berusaha sebisa mingkin," jawab dokter itu.

Seketika tubuh Vino melemas. Vino kembali duduk di bangku. Satu tetes air mata lolos mengalir. Lalu tetesan itu diikuti oleh tetesan-tetesan yang lainnya. Vino sudah tidak tahan menahan semua ini. Vino baru sadar bahwa dia tidak bisa ditinggal oleh Vina.

"Vin," panggil Vania sambil memegang pundaknya.

"Tante maafin saya yah, maaf gak bisa jagain Vina, maaf udah buat Vina kayak gini," Vino langsung meminta maaf. Masih ada sisa-sisa butiran air mata di pipinya.

"Gak papa Vin, kamu mendingan pulang aja, biar tante yang jagain Vina," Vania mengusap-usap bahu Vino. Dia berusaha untuk menenangkannya.

"Gamau tante, saya mau tungguin Vina sampe bangun, saya harus tanggung jawab tante," bantah Vino.

"Udah gak papa kok, orang tua kamu nanti nyariin gimana?" Tanya Vania.

"Gak kok tante, Vino bisa jelasin ke mereka," jawab Vino.

"Besok kamu sekolah loh, nanti tante kabarin deh kalo Vina udah sadar," ucap Vania.

"Tapi tan-" ucapan Vino terpotong.

"Tante udah maafin kamu kok lagian ini bukan salah kamu sepenuhnya, tante ngerti sama yang diceritain kamu, kamu udah bertanggung jawab ko ini," Vania langsung memotong ucapan Vino.

Kini Vino terdiam.

Walaupun Vania sudah berkata seperti itu, tetap saja Vino merasa tidak enak. Sebagian besar ini salahnya, Vino mengakui itu.

"Udah Vin pulang aja," saran Vania sekali lagi.

Vino akhirnya mengikuti saran Vania. Vino belum minta izin kepada orang tuanya, mungkin saat ini mereka sedang mencemaskannya, atau tidak. Entah lah Vino tidak memperdulikan mereka saat ini. Yang saat ini berada di pikirannya hanya Vina.

Backstreet (END & PART MASIH LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang