Cowok yang tengah berjalan santai menyusuri lorong kampus, melirik ke arah jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 9.15. Meskipun ia sudah terlambat sejak 15 menit yang lalu nampaknya cowok yang tidak adalah Aidan tidak merasa bersalah, takut, atau khawatir akan keterlambatan yang bisa saja mendatangkan bencana baginya. Tentu keterlambatan tidak bisa ditolerir oleh sebagian dosennya. Namun Aidan tidak peduli. Ia sudah terlanjur terlambat dan apapun resikonya ia akan tanggung. Toh, memutar balik waktu tidak bisa ia lakukan. Jadi untuk apa melakukan penyesalan?
Tanpa mengetuk pintu kelasnya, Aidan menerobos masuk dengan santainya. Dosen berumuran lima puluh tahunan dengan perawakan pendek dan perut yang membuncit nampak tengah berdiri di dekat papan tulis. Tangannya yang semula sibuk menulis sembari terus berbicara, kini terdiam menatap ke salah satu mahasiswanya yang baru saja datang. Mahasiswa dengan celana di bagian lutut sobek dan kaus panjang berwarna hitam dengan gambar tengkorak di bagian dada. Tatanan rambut panjang di bagian dahinya yang selalu tak pernah rapi.
Aidan mengabaikan bisikan teman sekelasnya yang pasti sedang membicarakannya.
"Kenapa baru berangkat? Kamu pikir ini kampus punya bapakmu? Berangkat seenaknya, pulang semaunya sendiri. Sadar tidak jika kelakuan kamu tidak mencerminkan sedikit pun ke arah yang baik. Aidan! Orangtua kamu pasti sangat sedih kalau tahu anaknya yang tengah diperjuangkan ternyata seperti ini" ujar pak Azhar, dosen Aidan."Saya sudah tahu kalau kelakuan saya semuanya buruk. Tidak perlu repot-repot mengingatkan. Dan jangan bawa-bawa orangtua saya. Bapak tidak tahu apapun. Berhenti sok tahu," sahut Aidan membuat pak Azhar menggelengkan kepala.
"Keluar dari kelas saya!" perintah pak Azhar dengan lantang membuat beberapa mahasiswi yang tidak memperhatikan interaksi Aidan dan pak Azhar, terkejut dengan suara menggelegar itu.
"Tidak perlu pakai tenaga. Saya tidak tuli dan saya memang tidak berniat mengikuti kelas bapak," ucap Aidan lalu membalikkan badannya dan segera keluar dari kelasnya dengan perasaan biasanya. Pengusiran terhadap dirinya sudah sering Aidan alami. Bukan hal baru lagi baginya.
Langkah Aidan terhenti tatkala melihat Angel dan seorang cewek yang Aidan ketahui namanya adalah Rachel, berjalan beriringan berlawanan arah dengannya. Pandangan Aidan dan Angel terkunci satu sama lain. Aidan tahu, Angel pasti ingin menanyakan mengapa Aidan tidak masuk ke kelasnya.
"Temui gue di kamar mandi," ucap Aidan pada seseorang yang ia hubungi lewat telepon. Seseorang itu adalah Angel yang jaraknya semakin dekat dengannya.
***
"Bolos lagi? Apa sih maunya Aidan? Kalau kerjaannya cuma bolos mending nggak usah kuliah. Cuma ngabisin duit aja. Aidan mikir dong gimana susahnya orangtua Aidan nyari duit buat biayain Aidan kuliah. Tapi Aidan malah kayak gini! Nggak ngehargain jerih payah orangtua. Lagian buat apa sih bolos? Dipikir kalau bolos itu keren?" sembur Angel yang marah lantaran mengetahui Aidan bolos untuk yang kesekian kalinya.
Cowok yang tengah dimarahi oleh kekasihnya itu tersenyum tipis. Punggungnya bersandar di dinding kamar mandi dengan tangan terlipat di dada menatap geli ke arah cewek yang tengah marah padanya.
"Lebih cantik kalau lagi marah," ujar Aidan membuat Angel bersemu merah. Wajahnya tidak mampu menyembunyikan semburat merah yang muncul dengan sendirinya.
"Aidan kebiasaan deh, kalau lagi dimarahin malah baperin orang yang lagi marah biar marahnya hilang. Ngeselin! Kesel deh kalau ngurusin Aidan. Disuruh jangan bolos aja susahnya minta ampun. Kebiasaan buruk kok dipelihara."
"Cerewet," ujar Aidan singkat seraya mengacak-acak rambut di dahinya agar berantakan.
"Itu rambut dipotong bisa nggak? Udah panjang gitu masih aja dipelihara."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lady Killer
Teen Fiction[ tanpa edit ] Aidan Alexander playboy, bertindak semau sendiri, dan tidak suka ucapannya dibantah. Angelina Arfina. lemah lembut, penyabar, selalu menuruti perkataan Aidan. Mereka backstreet. Yang Angel tahu tentang Aidan adalah cowok baik, peny...