Dua puluh tujuh

167K 15.5K 6.2K
                                    

Berhenti peduli, sekiranya itulah yang ingin Braga lakukan pada Angel yang nampak begitu rapuh. Namun Braga tidak bisa. Hati kecilnya tidak sanggup membiarkan Angel sendirian memikul beban yang dirasa. Rasa tidak tega kerap muncul saat Braga menginstruksikan pada dirinya untuk berlagak cuek pada Angel.

Seperti saat ini. Saat melihat Angel masuk rumah dengan mata sembab, Braga merasa ada sayatan bersarang di hatinya. Ingin sekali cowok itu meminjamkan dada sebagai tempat Angel bersandar. Namun Braga terlalu pengecut. Gengsinya terlalu tinggi untuk menunjukan kepeduliannya secara langsung pada gadis itu.

"Angel! Buka pintunya!" teriak Braga tidak sabaran dengan suara lantang. Satu tangannya menggedor pintu kamar Angel agar segera dibuka.

"Lo budeg ya? Buka pintunya!"
Braga mundur selangkah. Kedua tangannya masuk ke dalam saku Hoodie yang ia kenakan saat melihat knop pintu bergerak. Itu artinya Angel tengah berusaha membukanya.

"Maaf lama. Ada apa mas Braga?" tanya Angel lirih. Kedua mata gadis itu masih sembab. Wajahnya begitu lesu. Bibir Braga sudah sangat gatal. Sejujurnya ia penasaran apa yang membuat Angel seperti sekarang? Apa tentang Aidan, lagi?

"Cengeng amat jadi cewek! Nggak ada kerjaan lagi selain nangis? Kenapa nangis? Aidan lagi? Cih."

Angel menggelengkan kepala. Pandangannya turun sampai lantai. Menatap ujung sandal jepit yang ia kenakan.

"Kebiasaan. Kalau diajak ngomong selalu nunduk. Nggak sopan! Angkat kepalamu! Jangan nunduk!" desis Braga seraya menarik dagu Angel agar menatap ke arahnya.

"Maaf." Sekali lagi Angel meminta maaf. Braga sendiri heran. Angel mudah sekali meminta maaf padahal tidak melakukan kesalahan.

"Gue beli mie ayam pangsit. Belinya dua, niatnya buat temen gue yang katanya mau mampir. Tapi malah nggak jadi. Makan tuh, daripada dibuang. Kebetulan lo suka kan sama mie ayam pangsit," ujar Braga dengan nada sangat ketus seperti biasa. Cowok itu tak menatap ke arah Angel. Saat ketus seperti sekarang, Braga tidak kuasa menatap Angel karena itu akan meluluhkan hatinya. Saat hatinya luluh, yang ada Braga kesulitan berkata-kata.

"Angel nggak lapar. Buat Raisya aja atau om David."

"Lo nolak niat baik gue? Oke. Fine. Mungkin lo lebih seneng kalau gue ini berlaku jahat, kasar, dan nggak peduli sama lo. Nggak masalah, gue----"

"Ehh, iya. Angel makan deh. Makasih mas Braga masih ingat dan peduli sama Angel. Angel nggak berharap terlalu tinggi sama mas Braga. Cukup mas Braga tetap di samping Angel, udah cukup kok. Tolong jangan tinggalin Angel kayak yang lainnya."

"Ngomong apa sih lo. Udah buruan ke ruang makan. Mie ayamnya udah gue taruh di meja."

Angel mengangguk. Cewek itu menarik gagang pintu kamarnya guna menutup pintu.

"Mas Braga mau kemana?" tanya Angel.
Langkah Braga terhenti di tengah tangga.

"Futsal."

"Oh. Hati-hati di jalan. Mainnya juga hati-hati biar nggak cidera."

"Berisik. Nggak usah pedulikan orang lain kalau peduli sama diri sendiri aja nggak bisa. Banyak-banyakin ngaca Ngel.

Angel memejamkan mata. Dihirupnya oksigen sebanyak-banyaknya untuk memasok kebutuhan paru-parunya. Jemarinya meremas sweater yang dikenakan. Harusnya Angel sudah terbiasa dengan setiap ucapan Braga. Namun selalu saja ia merasa sulit untuk tidak mengambil hati setiap ucapan kakak angkatnya.

The Lady KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang